Penitensi (Inggris: penitence), silih atau laku tobat (Inggris: penance), adalah penyilihan atau pertobatan atas dosa-dosa yang telah diperbuat seseorang sesuai dengan istilah yang digunakan dalam Sakramen Tobat / Rekonsiliasi dan Pengakuan Dosa dalam Gereja Katolik, Ortodoks, dan Anglikan. Penitensi juga memiliki peran dalam pengakuan dosa non-sakramental di kalangan Lutheran dan Protestan lainnya. Kata penance berasal dari bahasa Prancis Kuno dan Latin paenitentia; keduanya berasal dari akar kata yang sama yang berarti pertobatan, suatu hasrat untuk memperoleh pengampunan karena rasa sesal. Penitensi dan pertobatan, serupa dalam makna asli dan asal mula kedua kata tersebut, telah menjadi simbol pandangan yang bertentangan atas hakikat pertobatan, yang timbul dari kontroversi mengenai masing-masing manfaat dari "iman" dan "perbuatan baik".

La Penitente, karya Pietro Rotari.

Terdapat beragam variasi dan turunan kata dalam banyak bahasa. Dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik (Kompendium KGK) terjemahan bahasa Indonesia, digunakan kata "silih" untuk kata Inggris penance;[1] sementara KGK terjemahan Indonesia saling mempertukarkan kata "silih"[2] dan "penitensi"[3] untuk kata Inggris penance.

Kekristenan sunting

Kebiasaan religius sunting

 
Teguran Nabi Natan dan penitensi Raja Daud (Mazmur Paris, f. 136v, abad ke-10).

Kebiasaan melakukan silih atau bertobat dapat diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang diperbuat umat itu sendiri, yakni tindakan-tindakan yang dengan sendirinya disebut silih atau penitensi. Aktivitas pertobatan atau penitensial sangat umum selama masa Prapaskah dan Pekan Suci. Dalam beberapa tradisi budaya, minggu tersebut, yang mana memperingati Sengsara Kristus, dapat berupa silih seperti flagelanisme atau bahkan penyaliban-semu secara sukarela. Adven juga merupakan suatu masa di mana, dalam batas tertentu, penitensi umum dilakukan. Tindakan disiplin diri digunakan sebagai tanda pertobatan. Tindakan disiplin diri yang lebih ringan misalnya menyediakan waktu khusus untuk berdoa, membaca Alkitab, atau buku-buku rohani lainnya. Contoh tindakan disiplin diri yang lebih berat yaitu berpuasa, abstinensi, berpantang minuman beralkohol atau rokok, atau penyangkalan diri yang lain. Flagelasi diri dan mengenakan cilice lebih jarang dilakukan. Tindakan-tindakan semacam itu terkadang disebut mortifikasi atau mematikan keinginan daging, suatu frasa yang berasal dari Roma 8:13: "Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup."

Tindakan-tindakan tersebut juga dikaitkan dengan sakramen. Dalam Kekristenan awal, penitensi publik dikenakan pada peniten (orang yang melakukan penitensi), yang mana berat atau ringannya bervariasi menurut tingkat keseriusan dari pelanggaran yang beroleh pengampunan. Pada masa kini tindakan penitensi atau silih yang dikenakan dalam kaitannya dengan sakramen untuk tujuan penyembuhan dapat berupa suatu rangkaian doa, sujud, atau perbuatan yang dimaksudkan untuk memperkuat perilaku positif peniten atau untuk menghambat apa yang negatif. Tindakan yang dikenakan itu disebut penitensi atau epitemia.

Dalam sakramen sunting

Katolik Roma sunting

 
Suatu bilik pengakuan modern dalam Gereja Katolik Latin. Peniten dapat berlutut pada tempat yang disediakan atau duduk di kursi (tidak terlihat), menghadap sang imam.

Dalam Gereja Katolik Roma, penitensi atau silih umumnya dikaitkan dengan Sakramen Tobat (atau Rekonsiliasi, Pengampunan, Pengakuan Dosa),[4] yang mana merupakan salah satu dari dua sakramen penyembuhan.[5] Melalui imam pelayan sakramen ini, yang bertindak bukan atas namanya tetapi atas nama Allah, pengakuan dosa dilakukan kepada Allah dan absolusi diterima dari Allah.[6] Hal penting dalam sakramen ini adalah tindakan oleh peniten (pemeriksaan batin, penyesalan dengan tekad untuk tidak berbuat dosa lagi, pengakuan, dan melakukan berbagai perbuatan untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh dosanya) dan imam (penentuan perbuatan-perbuatan reparasi yang perlu dilakukan, dan absolusi).[7] Semua dosa berat perlu diakui dalam sakramen ini, dan sebelum dapat menerima Komuni Kudus, sementara pengakuan dosa ringan dianjurkan juga.[8]

Tindakan penyilihan atau penintensi yang diberikan imam membantu peniten untuk mengatasi keegoisannya, agar mempunyai keinginan yang lebih kuat untuk mengejar kesucian hidup, lebih dekat dengan Yesus, serta menunjukkan cinta dan kasih sayang Yesus kepada sesamanya.[9] Hal ini merupakan bagian dari penyembuhan yang diberikan Sakramen Tobat, sebagaimana dinyatakan dalam KGK 1459: "Dosa melukai dan melemahkan pendosa itu sendiri, serta hubungannya dengan Allah dan sesama. Absolusi menghapuskan dosa, namun tidak mengatasi segala gangguan yang disebabkan oleh dosa. Setelah dibangkitkan dari keadaan berdosa, pendosa masih harus memulihkan kesehatan rohaninya secara penuh dengan melakukan sesuatu yang lebih: ia harus 'melakukan silih' atau memperbaiki kesalahan akibat dosa-dosanya."[10] Semuanya ini dapat dilakukan dengan doa, tindakan kasih, atau suatu perbuatan asketisme Kristen.[11] Ritus sakramen ini mensyaratkan bahwa "jenis dan cakupan penyilihan seharusnya sesuai dengan kondisi pribadi setiap peniten sehingga masing-masing dapat memulihkan suatu keteraturan yang mana ia terganggu, serta melalui obat yang sesuai ia dapat disembuhkan dari penyakit yang dideritanya."[12]

Meskipun bimbingan rohani tidak selalu dikaitkan dengan Sakramen Rekonsiliasi, namun hal tersebut telah menjadi salah satu pengaturan utama dalam sakramen ini selama berabad-abad, memungkinkan seorang Kristen menjadi lebih peka terhadap kehadiran Allah, memperdalam hubungan pribadinya dengan Kristus, dan bekerja sama dengan karya Roh Kudus dalam kehidupannya.[13]

Ortodoks Timur sunting

 
Imam Ortodoks Rusia sedang mendengarkan pengakuan sebelum Liturgi Suci.

Dalam Gereja Ortodoks Timur, Sakramen Tobat biasanya disebut Misteri Suci Pengakuan. Dalam Ortodoksi, tujuan dari misteri sakramental Pengakuan Suci adalah menjembatani rekonsiliasi dengan Allah melalui sarana penyembuhan.

Penitensi, yang dikenal sebagai epitemia, diberikan dengan maksud terapi, karenanya berlawanan dengan sifat dari dosa yang telah dilakukan. Epitemia bukanlah suatu hukuman atau sekadar suatu tindakan saleh, tetapi secara khusus ditujukan untuk penyembuhan penyakit rohani yang telah diakui peniten. Sebagai contoh, apabila peniten melanggar Perintah Kedelapan dengan mencuri sesuatu, maka imam dapat meresepkan agar ia mengembalikan apa yang dicurinya (jika memungkinkan) dan memberi sedekah kepada kaum miskin secara lebih teratur. Suatu perbuatan atau kebiasaan diobati dengan perbuatan/kebiasaan yang berlawanan dengannya. Jika peniten menderita kerakusan, aturan puasanya akan ditinjau dan mungkin ditingkatkan. Maksud dari sakramen ini tidak pernah untuk menghukum, tetapi untuk menyembuhkan dan memurnikan. Pengakuan dosa juga dianggap sebagai suatu "baptisan kedua", dan terkadang disebut sebagai "baptisan air mata".

Dalam Ortodoksi, Pengakuan dipandang sebagai sarana untuk mendapatkan kemurnian dan kesehatan rohani yang lebih baik. Pengakuan tidak hanya sekadar menyatakan hal-hal berdosa yang diperbuat orang tersebut; hal-hal baik yang dilakukannya atau sedang dipertimbangkannya juga dibahas. Pendekatan ini menyeluruh, mengkaji keseluruhan hidup peniten tersebut. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan bukanlah untuk memperoleh keselamatan, tetapi merupakan bagian dari suatu pengobatan psikoterapi untuk mempertahankan keselamatan dan kemurnian. Dosa diperlakukan sebagai suatu penyakit atau luka rohani, yang hanya dapat disembuhkan melalui Yesus Kristus. Keyakinan Ortodoks adalah, dalam Pengakuan, luka-luka dosa dari jiwa disingkapkan dan diobati dalam "udara terbuka" (maksudnya Roh Allah; kata Yunani untuk Roh (πνευμα) dapat diterjemahkan sebagai 'udara yang bergerak' atau angin).

Lutheran sunting

Berdasarkan Pengakuan Iman Augsburg, Gereja Lutheran membagi pertobatan menjadi dua bagian: "Pertama adalah penyesalan, yaitu kengerian yang menyerang hati nurani melalui pengetahuan tentang dosa; yang lainnya adalah iman, yang mana terlahir dari Injil, atau dari absolusi, dan percaya bahwa di dalam Kristus, dosa-dosa diampuni, menghibur hati nurani, dan membebaskannya dari rasa ngeri."[14] Kalangan Lutheran menolak ajaran yang menyatakan bahwa pengampunan dosa diperoleh melalui penitensi atau silih, bukannya iman.[15]

Kepercayaan India sunting

Dalam beberapa agama yang berasal dari India, tindakan-tindakan penyangkalan diri (puasa, berbaring di atas batu yang terjemur Matahari, dan sebagainya), terutama sebagai bagian dari cara hidup asketis (sebagai rahib atau 'orang bijak') dengan maksud untuk mencapai suatu tingkat kesadaran batin yang lebih tinggi (melalui kelepasan dari hal-hal duniawi, bukan sebagai hukuman atas kesalahan), atau anugerah dari para dewa, dipandang sebagai penitensi atau silih. Dalam agama Hindu, silih banyak dibahas dalam susastra Dharmasastra.

Meher Baba, seorang guru spiritual India, menyatakan bahwa "Jika silih dipraktikkan dan dikembangkan dengan saksama, maka pasti menghasilkan penarikan kesadaran atas cara-cara berpikir dan berperilaku yang tidak dikehendaki, serta membuat seseorang dapat menerima suatu kehidupan dalam kemurnian dan pelayanan."[16]

Referensi sunting

  1. ^ "Kompendium Katekismus Gereja Katolik"; (Inggris) "Compendium of the Catechism of the Catholic Church". no. 301, 303. Libreria Editrice Vaticana, 2005.
  2. ^ Konferensi Waligereja Indonesia. Katekismus Gereja Katolik. no. 827, 924, 1459, 1466 (edisi ke-2007, Cetakan ke-3). Flores: Nusa Indah. ISBN 979-429-291-6. 
  3. ^ Konferensi Waligereja Indonesia. Katekismus Gereja Katolik. no. 1459, 1460, 1480, 1494 (edisi ke-2007, Cetakan ke-3). Flores: Nusa Indah. ISBN 979-429-291-6. 
  4. ^ (Inggris) "Celebration of the Christian Mystery Compendium of the Catechism of the Catholic Church, 296". Vatican.va. Diakses tanggal 2012-09-20. 
  5. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church, 1421". Vatican.va. Diakses tanggal 2012-09-20. 
  6. ^ (Inggris) "Catholic Apologetics on Catholic Truth – Penance". Catholic-truth.info. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-03-03. Diakses tanggal 2012-09-20. 
  7. ^ (Inggris) "Celebration of the Christian Mystery Compendium of the Catechism of the Catholic Church, 302-303". Vatican.va. Diakses tanggal 2012-09-20. 
  8. ^ (Inggris) "Celebration of the Christian Mystery Compendium of the Catechism of the Catholic Church, 304-306". Vatican.va. Diakses tanggal 2012-09-20. 
  9. ^ (Inggris) Rinaldo Ronzani, Conversion and Reconciliation (St Paul Communications 2007 ISBN 9966-08-234-4), p. 89
  10. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church, 1459". Vatican.va. Diakses tanggal 2012-09-20. 
  11. ^ (Inggris) J.A. DiNoia et al., ''The Love That Never Ends'' (Our Sunday Visitor Publishing 1996 ISBN 978-0-87973-852-5), p. 69. Books.google.com. Diakses tanggal 2012-09-20. [pranala nonaktif permanen]
  12. ^ Rite of Penance, 6 c
  13. ^ (Inggris) Gary W. Moon, ''Spiritual Direction and the Care of Souls'' (InterVarsity Press 2004 ISBN 978-0-8308-2777-0), p. 64. Books.google.com. Diakses tanggal 2012-09-20. 
  14. ^ (Inggris) Augsburg Confession, Article XII: Of Repentance, Bookofconcord.org, diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-11, diakses tanggal 2012-09-20 
  15. ^ (Inggris) Rev. Mark Loest (2 Oktober 2009), Blest Halloween!, The Lutheran Church—Missouri Synod, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-02, diakses tanggal 2015-10-20 
  16. ^ (Inggris) Baba, Meher (1995). Discourses. Myrtle Beach: Sheriar Press. p. 44. ISBN 978-1-880619-09-4.

Bibliografi sunting

Pranala luar sunting