Penis envy adalah teori yang dikeluarkan oleh Sigmund Freud terkait perkembangan psikoseksual perempuan. Penis envy pertama kali muncul pada 1924.[1] Teori ini mengatakan bahwa wanita memiliki kecemasan dan merasa inferior karena tidak memiliki penis seperti pria. Versi lain menyatakan bahwa penis envy adalah keadaan di saat perempuan mendambakan penis laki-laki itu hilang. Buah pikiran Freud ini kemudian mendapatkan tanggapan dari para para feminis dan ahli psikoanalisis lain, seperti Karen Horney, Otto Fenichel, Ernest Jones, Erik Erikson, Jean Piaget, Juliet Mitchell dan Clara Thompson. Mereka kemudian memberikan kritik dan melakukan penyempurnaan teori.[2][3][4]

Teori sunting

Ketertarikan Freud terhadap teori tentang penis mulai diperkenalkan dalam artikelnya berjudul "On the Sexual Theories of Children" (Teori Seksual Anak-anak) yang ditulis pada 1908.[5] Kendati tidak disebutkan pada edisi pertama dari 'Three Contributions to the Theory of Sex' yang rilis pada 1905, hal itu termuat dalam sinopsis "On the Sexual Theories of Children" yang ditambahkan pada edisi ketiga pada 1915.[6]

Freud beranggapan bahwa anak laki-laki mengalami kompleks Oedipus. Oedipus sendiri adalah tokoh dalam mitologi Yunani yang memiliki kemiripan dengan cerita rakyat Indonesia, Sangkuriang. Sangkuriang diceritakan telah membunuh ayahnya dan ingin menikahi ibunya sendiri namun akhirnya gagal. Sementara itu dalam mitologi Oedipus diceritakan bahwa Oedipus telah membunuh ayahnya dan kemudian menikahi ibunya sendiri. Ketika anak laki-laki mengalami hal ini, ia memiliki kecenderungan untuk menginginkan ibunya dan secara tak sadar ingin mengganti ayahnya. Namun karena kehadiran ayah, ia pun takut dikebiri atau hukuman kasastri. Oleh karena itu ia akan menahan perasaan seksual kepada ibunya, berhenti melawan ayahnya dan kemudian melakukan identifikasi diri atau proses peniruan terhadap ayahnya. Jika hasil identifikasi dirinya kurang baik, maka ia akan membenci ayahnya.[7]

Sebaliknya, Freud beranggapan bahwa anak perempuan menginginkan ayahnya dan tanpa disadari ingin mengganti ibunya. Namun berbeda dengan anak laki-laki yang takut akan hukuman kasastri, anak perempuan justru mengembangkan perasaannya menjadi iri karena tidak memiliki penis seperti anak laki-laki. Jika anak laki-laki mengalami kompleks Oedipus, anak perempuan akan mengalami kompleks Electra. Electra sendiri berasal dari cerita Yunani yang merupakan watak Agamemnon yang telah mempengaruhi saudara laki-lakinya untuk membunuh ibu agar dapat kawin dengan ayahnya.[7]

Teori penis envy lahir tak terlepas dari latar belakang keluarga Freud yang terlahir dari Amalie Nathanson, ibu Freud yang menjadi istri ketiga dari Jakob Freud. Istri Jakob yang pertama telah meninggal dunia sedangkan keberadaan istri keduanya tidak diketahui secara pasti. Latar belakang keluarganya tersebut kemudian memotivasinya untuk mengembangkan teori yang berkaitan dengan peran ayah.[7]

Referensi sunting

  1. ^ "Definition of PENIS ENVY". www.merriam-webster.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-13. 
  2. ^ "Penis envy | World Problems & Global Issues | The Encyclopedia of World Problems". encyclopedia.uia.org. Diakses tanggal 2017-12-13. 
  3. ^ "Penis envy definition and meaning | Collins English Dictionary". www.collinsdictionary.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-13. 
  4. ^ "penis envy | Definition of penis envy in English by Oxford Dictionaries". Oxford Dictionaries | English. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-14. Diakses tanggal 2017-12-13. 
  5. ^ Sigmund Freud, On Sexuality (PFL 7) p. 195-6
  6. ^ Freud, On Sexuality p. 112-4
  7. ^ a b c Semiun, Yustinus (2006). Teori Kepribadian Dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 44–45. ISBN 9792111271.