Penghapusan biseksual

Penghapusan biseksual atau kadang disebut pula sebagai bisexual invisibility atau bi-invisibility adalah tidak atau kurang diakuinya, diragukannya, dan/atau diabaikannya identitas biseksual seseorang.[1][2][3] Bentuk-bentuk penghapusan ini di antaranya dengan mengabaikan, mendiskriminasi, dan mengantagoniskan seseorang yang biseksual. Pelaku penghapusan ini biasanya adalah orang-orang heteroseksual maupun mereka yang gay dan lesbian.[1][2] Diskriminasi terhadap biseksual juga dapat berbentuk pengakuan biseksualitas terhadap wanita biseksual tetapi mengesampingkan identitas biseksual pada pria yang mengaku demikian.[2][4]

Bendera komunitas biseksual

Respons terhadap biseksualitas sendiri terbelah berdasarkan kelas sosio-ekonomi orang yang mengaku biseksual tersebut. Di kalangan selebriti Amerika Serikat, biseksualitas dianggap sebagai politik seksual yang progresif. Namun di luar lingkaran tersebut, apalagi jika orang yang mengaku biseksual bukan berkulit putih, biseksualitas dipandang sebagai sebuah fase di mana orang yang mengaku biseksual pada akhirnya akan memilih menjadi heteroseksual atau gay/lesbian secara eksklusif dan sebuah pilihan aman jika tidak ingin mengakui bahwa dia gay/lesbian.[5]

Kajian akademis sunting

The Epistemic Contract of Bisexual Erasure sunting

Salah satu kajian akademis terkait penghapusan biseksual yang cukup signifikan dan komprehensif adalah "The Epistemic Contract of Bisexual Erasure" oleh Kenji Yoshino dari New York University Law School. Yoshino menuliskan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan penghapusan biseksual yakni: kepentingan untuk melakukan stabilisasi orientasi seksual (dilakukan oleh kaum heteroseksual dan homoseksual), kepentingan untuk mempertahankan seks sebagai tolok ukur pembeda dalam suatu masyarakat (dilakukan oleh kaum heteroseksual), dan kepentingan untuk mempertahankan norma monogami (dilakukan oleh kaum homoseksual). Kaum heteroseksual menyadari bahwa mereka memiliki privilese dalam tatanan masyarakat dan berupaya mempertahankan privilese tersebut, sementara itu kaum homoseksual melihat identitas mereka sebagai alat politik. Keberadaan kaum biseksual dianggap mengganggu ekosistem tersebut.[6]

Kajian akademis lainnya sunting

Tulisan Yoshino sangat berpengaruh pada karya-karya akademis lainnya yang membahas biseksualitas dan isu penghapusan biseksual.[5][7] Rodriguez, misalnya, mengembangkan gagasan Yoshino bahwa biseksualitas mendobrak pemahaman tradisional akan seksualitas dan biner gender.[5] Tujuh tahun sebelum Yoshino menerbitkan tulisannya, akademisi hukum Ruth Colker mengadvokasikan keberadaan yurisprudensi biseksual.[8] Dua tahun kemudian, Naomi Mezey melanjutkan diskusi akan pentingnya yurisprudensi biseksual yang melindungi kepentingan biseksual dalam ranah hukum yang mana putusan-putusan hukum di Amerika Serikat masih bias pada kepentingan kaum heteroseksual dan, secara terbatas, homoseksual.[9]

Dampak penghapusan sunting

Penghapusan biseksual berdampak pada ekonomi, status hukum, dan kesehatan seorang biseksual.[1][7][10]

Ekonomi sunting

Penelitian akademisi di Kanada menunjukkan bahwa penghapusan biseksual berdampak pada pendapatan kaum biseksual. Beberapa responden dalam penelitian tersebut menyatakan enggan beralih ke pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi karena tempat kerja mereka saat ini lebih suportif terhadap identitas seksual mereka meski pendapatan yang diterima lebih rendah. Minimnya akses jaminan sosial terhadap layanan kesehatan mental dan pendapatan yang rendah tersebut membuat kaum biseksual tidak dapat mengakses layanan kesehatan mental secara memadai. Pada akhirnya, hal ini hanya menjadi lingkaran setan bagi kaum biseksual. Sekitar 25 persen kaum biseksual di provinsi Ontario hidup di bawah garis kemiskinan.[11]

Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat juga tidak jauh berbeda dari Kanada. Menurut kajian yang dilakukan akademisi di University of California Los Angeles, pria biseksual memiliki pendapatan 10-15 persen lebih rendah daripada pria heteroseksual sementara pria gay hanya berpendapatan sekitar 2-3 persen lebih rendah daripada pria heteroseksual. Wanita biseksual berpendatan hampir 11 persen lebih rendah daripada koleganya yang heteroseksual sementara wanita lesbian hanya berpendapatan sekitar 2,7 persen lebih rendah.[1] Sekitar 24 persen pria biseksual memiliki pendapatan rumah tangga di bawah garis kemiskinan federal.[12]

Hukum sunting

Seorang biseksual dari negara yang tidak ramah terhadap kaum LGBT dapat menghadapi penghapusan biseksual dari petugas imigrasi maupun aparat penegak hukum lainnya di negara di mana dia mencari suaka, misalnya dengan permintaan pembuktian bahwa dia melakukan hubungan seksual sesama jenis. Penolakan permohonan suaka dapat berdampak pada hidup dan matinya sang pemohon suaka biseksual di mana ancaman persekusi bisa saja menanti di negara asalnya.[7]

Dalam kasus Garcia-Jaramillo v. INS, sang pencari suaka ditolak permohonannya karena petugas imigrasi menganggap bahwa perkawinannya dengan orang yang berbeda jenis kelamin hanyalah sebagai kawin kontrak agar dia bisa tinggal di Amerika Serikat mengingat sejarah seksual sang pemohon yang kerap berhubungan dengan orang-orang dengan jenis kelamin yang sama. Petugas imigrasi tidak mempertimbangkan bahwa ada kemungkinan sang pemohon adalah biseksual. Kasus sejenis juga menimpa pencari suaka asal Jamaika Orashia Edwards yang ditolak permohonannya oleh Britania Raya atas dasar dia pernah kawin dengan seorang wanita sebelumnya meski saat mengajukan permohonan tengah menjalani hubungan sesama jenis.[7]

Kesehatan sunting

Orang biseksual cenderung lebih mempertanyakan identitas seksualnya daripada orang gay atau lesbian akibat diskriminasi yang dihadapi kaum biseksual. Selain itu, orang biseksual cenderung mengantisipasi upaya penghapusan biseksual terhadap dirinya dan ini mengakibatkan stres dan depresi serta keinginan bunuh diri yang lebih tinggi daripada di kalangan heteroseksual dan homoseksual.[1][10] Feinstein dan Dyar bahkan menyimpulkan bahwa tingkat gangguan pada kesehatan mental dan penyalahgunaan narkotika di kalangan biseksual lebih tinggi daripada di kalangan heteroseksual dan homoseksual.[10]

Untuk menghindari diskriminasi, orang biseksual juga enggan menjabarkan kehidupan seksual mereka secara terbuka sehingga tidak mendapat pemberitahuan tentang praktek-prakek seks aman secara memadai. Hal ini mengakibatkan program pencegahan penyebaran penyakit kelamin menular seperti HIV belum cukup maksimal dalam memenuhi kebutuhan kaum biseksual.[1]

Kaitan dengan identitas seksual lainnya sunting

Ada kekhawatiran di kalangan aktivis biseksual bahwa kehadiran identitas-identitas seksual baru seperti panseksualitas, omniseksualitas, poliseksualitas, dan fluiditas seksual merupakan upaya untuk menghindari penggunaan kata "biseksual". Dosen psikologi di Open University Inggris Meg-John Barker menilai bahwa kehadiran identitas-identitas seksual baru bukan upaya penghapusan biseksual melainkan perluasan dari istilah biseksual. Menurutnya, biseksual berfungsi sebagai kata umum sementara istilah seperti panseksual merupakan kata khusus.[13]

Pranala luar sunting

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f San Francisco Human Rights Commission. "Bisexual Invisibility: Impacts and Recommendations" (PDF). 
  2. ^ a b c Stange, Mary Zeiss; Oyster, Carol K.; Sloan, Jane E. (2011-02-23). Encyclopedia of Women in Today's World (dalam bahasa Inggris). SAGE. hlm. 158–161. ISBN 978-1-4129-7685-5. 
  3. ^ "Erasure of Bisexuality". GLAAD (dalam bahasa Inggris). 2014-09-20. Diakses tanggal 2020-06-07. 
  4. ^ Tuller, David (2011-08-22). "No Surprise for Bisexual Men: Report Indicates They Exist". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2020-06-07. 
  5. ^ a b c Rodriguez, J. M. (2016). "Queer Politics, Bisexual Erasure: Sexuality at the Nexus of Race, Gender, and Statistics" (dalam bahasa Inggris). 
  6. ^ Yoshino, Kenji (2000). "The Epistemic Contract of Bisexual Erasure". Stanford Law Review. 52: 353–461. 
  7. ^ a b c d Marcus, Nancy (2015-12-01). "Bridging Bisexual Erasure in LGBT-Rights Discourse and Litigation". Michigan Journal of Gender & Law. 22 (2): 291–344. ISSN 1095-8835. 
  8. ^ Colker, Ruth (1993). "A Bisexual Jurisprudence". Law and Sexuality: A Review of Lesbian and Gay Legal Issues. 3: 127. 
  9. ^ Mezey, Naomi (1995). "Dismantling the Wall: Bisexuality and the Possibilities, of Sexual Identity Classification Based on Acts" (PDF). Berkeley Women's Law Journal. 10 (1): 98–133. 
  10. ^ a b c Feinstein, Brian A.; Dyar, Christina (2017-3). "Bisexuality, minority stress, and health". Current sexual health reports. 9 (1): 42–49. doi:10.1007/s11930-017-0096-3. ISSN 1548-3584. PMC 5603307 . PMID 28943815. 
  11. ^ Ross, Lori E.; O'Gorman, Laurel; MacLeod, Melissa A.; Bauer, Greta R.; MacKay, Jenna; Robinson, Margaret (2016-05-01). "Bisexuality, poverty and mental health: A mixed methods analysis". Social Science & Medicine (dalam bahasa Inggris). 156: 64–72. doi:10.1016/j.socscimed.2016.03.009. ISSN 0277-9536. 
  12. ^ O'Hara, Mary Emily. "Study: Bisexual Community Faces More Poverty Than Lesbians and Gay Men". them. (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-07. 
  13. ^ Hinsliff, Gaby (2019-02-14). "The pansexual revolution: how sexual fluidity became mainstream". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2020-06-07.