Penampakan pada perjalanan ke Emaus

Penampakan pada perjalanan ke Emaus adalah salah satu penampakan awal Yesus pasca kebangkitan setelah penyaliban-Nya dan penemuan makam kosong.[1][2][3] Baik Perjumpaan pada jalan menuju Emaus maupun Perjamuan Malam di Emaus sebagai peristiwa setelahnya, yang menggambarkan acara makan yang dilangsungkan Yesus dengan dua orang murid setelah perjumpaan di jalan tersebut, merupakan subjek populer dalam karya seni.

Yesus dan kedua murid Di Jalan Menuju Emaus, karya Duccio, 1308-1311, Museo dell'Opera del Duomo, Siena.

Catatan Alkitab sunting

 
Altobello Melone - Jalan ke Emaus

N. T. Wright memandang narasi terperinci perjalanan Emaus dalam Lukas 24:13-35 sebagai salah satu sketsa terbaik adegan alkitabiah di dalam Injil Lukas.[4] Jan Lambrecht, dengan mengutip kata-kata D.P. Moessner, mengatakan: "Kisah Emaus merupakan salah satu 'pencapaian sastra yang paling indah' dari Lukas."[5] Narasi ini mendeskripsikan perjumpaan dalam perjalanan ke Emaus dan perjamuan malam di Emaus, serta menyatakan kalau seorang murid bernama Kleopas sedang berjalan menuju Emaus bersama seorang murid lainnya ketika mereka bertemu Yesus. Mereka tidak mengenali Dia, dan membahas kesedihan mereka seputar peristiwa-peristiwa yang belum lama terjadi bersama dengan Dia. Mereka kemudian membujuk-Nya untuk tinggal bersama mereka, dan mereka akhirnya mengenali Dia pada saat acara makan bersama di Emaus.

Tema sunting

Meskipun dapat dikatakan bahwa pokok bahasan utamanya adalah membuktikan peristiwa Kebangkitan melalui penampakan atau kemunculan Yesus, narasi ini tampaknya tidak mengatakan apa-apa tentang membuktikan peristiwa tersebut. R. W. L. Moberly mengemukakan bahwa "kisah ini paling baik dipahami sebagai suatu pemaparan tentang isu hermeneutis en [discernment], yang secara khusus berfokus pada pertanyaan 'Bagaimana seseorang mengenali (discern) Kristus yang bangkit?'"[6] Alfred McBride mengatakan bahwa narasi Emaus berkaitan dengan "evolusi kesadaran kedua murid, dari keputusasaan karena kematian Kristus menuju keimanan akan kebangkitan-Nya". Narasi ini digunakan untuk mengetahui pertumbuhan rohani Kristiani, dipandang sebagai suatu model perjalanan atau peziarahan seorang Kristen menuju keimanan yang lebih dalam dan sebagai suatu sarana untuk membantu orang lain melakukan perjalanan yang sama.[7]

Paralel sunting

Injil Markus 16:12-13 berisi laporan serupa yang mendeskripsikan penampakan Yesus kepada dua orang murid ketika mereka sedang berjalan di negeri itu, kira-kira pada saat yang sama seperti dalam narasi Injil tersebut,[8] kendati tidak menyebutkan nama murid-murid itu ataupun Emaus sebagai tujuannya:

Sesudah itu [Yesus] menampakkan diri dalam rupa yang lain kepada dua orang dari mereka, ketika keduanya dalam perjalanan ke luar kota. Lalu kembalilah mereka dan memberitahukannya kepada teman-teman yang lain, tetapi kepada merekapun teman-teman itu tidak percaya.[9]

Dikemukakan juga bahwa kisah sida-sida dari Etiopia (Kisah 8:26-40) merupakan suatu "paralel yang paling banyak dibahas" dari narasi Emaus, karena terdapat beberapa kesamaan yang dapat dikenali di antara keduanya.[10] Jan Lambrecht mengatakan, "Setiap peristiwa mencapai puncaknya pada suatu ritual, pemecahan serta pembagian roti di Emaus dan pembaptisan sida-sida Etiopia dalam perjalanannya. ... Apa yang tetap menjadi suatu tema umum dalam kedua cerita tersebut adalah hubungan hermeneutis antara Kitab Suci dan peristiwa [kehidupan] Yesus. Kitab Suci harus ditafsirkan dalam terang 'kabar baik tentang Yesus' (Kisah 8) dan peristiwa-peristiwa [kehidupan] Yesus hanya dapat dipahami dalam terang Kitab Suci (Lukas 24)."[11]

Murid yang tidak disebutkan namanya sunting

Menurut sejumlah tradisi, terdapat banyak kemungkinan nama untuk murid yang menyertai Kleopas. Beberapa di antaranya telah dikemukakan: Simon/Simeon, menurut beberapa dokumen dan manuskrip; Ammaon/Amaon, menurut Santo Ambrosius, yang mungkin merupakan kesalahan ejaan untuk "Simeon"; Natanael, menurut Panarion karya Santo Epifanius; Nikodemus, menurut Injil Yohanes apokrif berbahasa Arab; Lukas Penginjil, menurut Kitab sang Lebah; Filipus Diakon; Yakobus, saudara Yesus; putri atau juga istri dari "Kleopas", bila ia dipandang sebagai orang yang sama dengan Klopas.[12][13]

John Gillman, dalam sebuah Festschrift untuk Jan Lambrecht, menuliskan bahwa "Kegagalan Lukas mengidentifikasi pendamping Kleopas dengan nama ataupun jenis kelamin mungkin merupakan strategi mengundang pembaca untuk mengidentifikasi dirinya secara tidak langsung dengan orang tersebut, dan karenanya untuk melakukan perjalanan tersebut sebagai pendamping Kleopas."[14]

Perjalanan ke Emaus sunting

Ketika Yesus menjumpai kedua murid itu, mereka sedang menyusuri jalan menuju Emaus, larut dalam diskusi yang sungguh-sungguh dan serius. Pada saat itu mereka tidak dapat mengenali Yesus, memandang-Nya sebagai orang asing. Dalam Homili-Homili tentang Injil (Hom. 23), Santo Gregorius Agung mengatakan:

Pada kenyataannya, mereka tidak memiliki iman akan Dia, namun mereka berbicara tentang Dia. Oleh karena itu Tuhan menampakkan diri kepada mereka, tetapi tidak memperlihatkan suatu wajah yang dapat mereka kenali. Dengan cara ini Tuhan menyingkapkan diri di luar, kepada mata tubuh mereka, [sesuai] apa yang mereka lihat di dalam, di mata hati. Sebab di dalam hati mereka mengasihi sekaligus meragukan Dia; dengan demikian Tuhan hadir di luar untuk mereka, namun tanpa menyingkapkan identitas-Nya. Karena mereka berbicara tentang Dia, Dia menyingkapkan kehadiran-Nya kepada mereka, tetapi karena mereka meragukan Dia, Dia menyembunyikan penglihatan akan wajah-Nya yang dapat mereka kenali.[15]

Yesus membiarkan mereka bercerita tentang kegelisahan dan kepedihan mereka, membiarkan mereka bersedih hati dan meratap melalui pengungkapan akar permasalahannya. Yesus secara empatik mendengarkan mereka, yang mencurahkan keraguan dan kemelut yang mereka hadapi, serta menggunakan Kitab Suci agar mereka dapat lebih memahami "penderitaan dan kemuliaan".[16] Selama perjalanan menuju Emaus, menurut Alfred McBride, Yesus dengan sabar membimbing kedua murid tersebut "dari keputusasaan menuju perayaan"[7] dan juga bermaksud untuk menumbuhkan iman keduanya sedemikian rupa sehingga mereka dapat melihat "kehadiran nyata Dia dalam pemecahan roti".[17]

Dari suatu perspektif pastoral, John P. Mossi menuliskan bahwa merenungkan "Penziarahan Emaus" dapat membantu seseorang saat ia mengalami "malam gelap"-nya sendiri. Saat melakukannya, menurut Mossi, orang perlu menyadari bahwa Yesus dengan penuh kasih sayang berjalan mendampingi sebagai seorang teman dalam perjalanannya sendiri, secara empatik mendengarkan kesedihan dan keraguannya, serta menghabiskan waktu berkualitas untuk menyertai seseorang dalam menjalani proses penyembuhan batin.[18]

"Tinggallah bersama-sama dengan kami" sunting

Lukas 24:28-29 menyatakan bahwa Yesus tinggal bersama mereka, untuk kemudian mengadakan perjamuan makan malam bersama dengan kedua murid itu, setelah perjumpaan di jalan tersebut:

Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu [Yesus] berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya. Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: "Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam." Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka.[19]

Kedua murid tersebut memperlihatkan keterbukaan dan perhatian mereka kepada orang asing yang tidak mereka kenal, dengan mengundangnya untuk tinggal bersama mereka, untuk bergabung dalam makan bersama dan persekutuan. Jan Lambrecht berpendapat bahwa sikap sedemikian menjadikan Yesus mampu mengubah mereka secara mendalam: "Dengan tawaran keramahtamahan, [kedua] rekan seperjalanan Emaus dapat mengatasi perhatian pribadi, kesedihan, kebodohan, dan kelambanan hati, sehingga mempersiapkan mereka untuk pengalaman penyingkapan di sekitar meja [perjamuan] tempat mereka diberi makan."[20]

Perjamuan makan di Emaus sunting

Pada awalnya, Yesus menampakkan diri kepada Kleopas dan seorang murid lainnya, tetapi "ada sesuatu yang menghalangi mata mereka" sehingga mereka tidak dapat mengenali-Nya. Kemudian, ketika Yesus "memecah-mecahkan [roti]" (Lukas 24:30), "terbukalah mata mereka" dan mereka mengenali-Nya (Lukas 24:31). B.P. Robinson berpendapat bahwa hal ini berarti kalau pengenalan mereka terjadi saat berlangsungnya perjamuan makan,[21] sementara Raymond Blacketer mencatat bahwa "banyak, bahkan mungkin kebanyakan, komentator, baik dari zaman kuno, zaman modern, maupun di antara keduanya, melihat penyingkapan identitas Yesus dalam pemecahan roti mengandung semacam referensi ataupun implikasi ekaristis."[22]

Dalam surat apostolik Mane nobiscum Domine ("Tinggallah bersama-sama dengan kami ya Tuhan"), Santo Yohanes Paulus II mengatakan bahwa ketika kedua murid itu mendesak Yesus untuk tinggal dengan mereka, Yesus kemudian menanggapinya dengan memberi mereka jalan untuk tinggal di dalam Dia, dengan cara masuk ke dalam "suatu persekutuan yang mendalam dengan Yesus" melalui "Sakramen Ekaristi" (bandingkan Yohanes 15:4). Segera setelah Yesus menyetujui permintaan mereka untuk tinggal, menurut Sri Paus, "wajah Yesus lenyap, namun Sang Guru 'tinggal' dengan mereka, tersembunyi dalam 'pemecahan roti' yang telah membuka mata mereka untuk mengenali Dia. ... Ketika budi tercerahkan dan hati terkobarkan, tanda mulai 'berbicara'."[23]

Kembali ke Yerusalem sunting

Lukas 24:32 menyatakan bahwa hati kedua murid tersebut "berkobar-kobar" selama percakapan mereka dengan Yesus sepanjang perjalanan menuju Emaus, terutama ketika Yesus menerangkan isi Kitab Suci. Mereka telah melewati "suatu perjalanan yang melambangkan perubahan hati mereka dari 'muram' menjadi 'berkobar-kobar'", dan mereka segera kembali ke Yerusalem untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan lainnya (Lukas 24:33).[24]

Alfred McBride mengatakan bahwa "antusiasme membanjiri seluruh keberadaan mereka" ketika kedua murid itu "bertemu dengan Kristus yang Bangkit" dalam makan malam di Emaus. Mereka merasakan suatu keharusan untuk berbagi kebahagiaan mereka dan kabar baik tersebut dengan orang lain sehingga mereka rela menempuh perjalanan panjang untuk kembali ke Yerusalem.[25] Santo Yohanes Paulus II berpendapat bahwa kedua murid itu menyadari adanya "tugas untuk menjadi misionaris" setelah "memasuki persekutuan dengan Kristus" pada acara makan tersebut, menghubungkannya dengan perutusan atau pembubaran (dismissal) di akhir Perayaan Ekaristi.[23]

Dalam seni sunting

 
Kristus di Emaus karya Rembrandt, 1648, Louvre.

Baik perjumpaan di jalan menuju Emaus maupun perjamuan malam yang terjadi setelahnya di Emaus banyak digambarkan dalam karya seni, meski peristiwa perjamuan malam lebih banyak mendapat perhatian. Seni abad pertengahan cenderung memperlihatkan momen sebelum Yesus dikenali; Yesus mengenakan sebuah topi besar untuk membantu menjelaskan tidak dikenalinya Dia oleh kedua murid itu pada awalnya. Topi itu sering kali berupa sebuah topi peziarah yang besar dengan lencana, atau terkadang sebuah topi Yahudi. Bagaimanapun, penggambaran makan malam tersebut menjadi suatu tema yang lebih populer setidaknya sejak Abad Renaisans, memperlihatkan Yesus sedang makan bersama kedua murid itu. Seringkali momen dikenalinya Yesus diperlihatkan.

Penggambaran Perjamuan Malam di Emaus oleh Rembrandt pada tahun 1648 dibuat di atas pengetsaan yang ia lakukan enam tahun sebelumnya, yang menggambarkan murid di sisi kiri Yesus telah menyadari siapa Dia dan mengatupkan kedua tangannya dalam doa. Dalam kedua penggambaran tersebut, para murid tampak terkejut dan kagum meski tidak dalam ketakutan. Si pelayan tampak tidak menyadari momen teofanis yang berlangsung saat makan malam itu.[26]

Lukisan karya Caravaggio yang berada di di London dan di Milan berselang kurang lebih enam tahun pembuatannya, dan keduanya sangat baik mengimitasi warna alami, kendati keduanya dikritik karena ketiadaan dekorum. Caravaggio menggambarkan Yesus tanpa janggut, dan lukisan London menggambarkan buah-buahan yang bukan musimnya di atas meja. Selain itu, pemilik pondokan digambarkan melayani dengan mengenakan sebuah topi.[27]

Beberapa artis lainnya yang juga menggambarkan Perjamuan Malam ini misalnya Jacopo Bassano, Pontormo, Vittore Carpaccio, Philippe de Champaigne, Albrecht Dürer, Benedetto Gennari, Jacob Jordaens, Marco Marziale, Pedro Orrente, Tintoretto, Titian, Velázquez, dan Paolo Veronese. Perjamuan Malam ini juga merupakan subjek salah satu pemalsuan Vermeer tersukses yang pernah dilakukan Han van Meegeren.

Dalam seni sastra, tema Emaus menjadi perhatian setidaknya sejak abad ke-12 oleh penyair Durham bernama Laurentius dalam sebuah puisi semi dramatik Latin.[28]

Galeri sunting

Lihat pula sunting

Catatan sunting

  1. ^ Craddock 1991, hlm. 284
  2. ^ Phillips 2005, hlm. 297-230
  3. ^ Lukas 24
  4. ^ Wright 2004, hlm. 292
  5. ^ Lambrecht 2002, hlm. 179
  6. ^ Moberly 2000, hlm. 46
  7. ^ a b McBride 1992, hlm. 210
  8. ^ The Catholic Comparative New Testament 2006, hlm. 589
  9. ^ Markus 16:12-13
  10. ^ Lambrecht 2002, hlm. 169
  11. ^ Lambrecht 2002, hlm. 170
  12. ^ Metzger 1980, hlm. 40-41
  13. ^ Thiede 2006, hlm. 94-96
  14. ^ Lambrecht 2002, hlm. 184
  15. ^ Gregory I, hlm. 55
  16. ^ Wicks 2000, hlm. 154
  17. ^ McBride 1992, hlm. 132
  18. ^ Wicks 2000, hlm. 154-155
  19. ^ Lukas 24:28-29
  20. ^ Lambrecht 2002, hlm. 185
  21. ^ Robinson 1984, hlm. 484
  22. ^ Blacketer 2003, hlm. 323
  23. ^ a b (Inggris) John Paul II (7 October 2004). "Mane nobiscum Domine". Libreria Editrice Vaticana. 
  24. ^ Lambrecht 2002, hlm. 183
  25. ^ McBride 1992, hlm. 214
  26. ^ Durham 2004, hlm. 144
  27. ^ Apostolos-Cappadona 1995, hlm. 64
  28. ^ Kindermann 1968, hlm. 79-100

Referensi sunting