Penaklukan Surabaya oleh Mataram

kampanye militer Mataram menaklukkan Kadipaten Surabaya

Penaklukan Surabaya oleh Mataram atau Perang Mataram-Surabaya adalah kampanye militer oleh Kesultanan Mataram pada awal abad ke-17 yang mengakibatkan penaklukan Kadipaten Surabaya dan sekutunya di bagian timur Jawa (sekarang menjadi bagian Indonesia). Sebelum penaklukan ini, Mataram dan Surabaya adalah dua kerajaan yang bersaing merebut kekuasaan di Jawa Tengah dan Timur.[4] Perang ini dimulai pada tahun 1614 ketika Mataram, di bawah kepemimpinan Sultan Agung, menyerang sekutu-sekutu Surabaya, termasuk Wirasaba. Surabaya dan sekutunya meluncurkan serangan balik tapi dikalahkan di dekat Pajang pada tahun 1616. Selama beberapa tahun berikutnya, Mataram secara bertahap menaklukkan anggota-anggota aliansi Surabaya, dan pada tahun 1620, kota Surabaya itu sendiri berada di bawah pengepungan, bertahan sampai menyerah pada tahun 1625. Dengan penaklukan ini, Mataram menyatukan Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah kekuasaannya,[3] dan memperkokoh posisinya sebagai kekuatan dominan di Jawa.[5] Surabaya dan daerah-daerah sekitarnya yang ditaklukkan tetap berada di tangan Mataram sampai diserahkan ke Perusahaan Hindia Timur Belanda pada 1743.[6]

Latar belakang

Pada pertengahan kedua abad ke-16, Kesultanan Demak, kekuatan dominan di pulau Jawa, hancur menjadi beberapa negara merdeka.[7] Pada pergantian abad ke-17, tiga dari negara-negara ini muncul sebagai kekuatan terkemuka: Kesultanan Banten di Jawa Barat, Kesultanan Mataram di pedalaman Jawa Tengah, dan Kadipaten Surabaya di pesisir Jawa Timur.[8][9] Mataram mengonsolidasi kekuatan dengan menyatukan kerajaan lain: Pajang pada tahun c. 1588 1588, Demak (1588), Madiun (c. 1590 1590) dan Kediri (1591).[10] Mengikuti kegagalan ekspedisi Mataram ke arah barat melawan Banten di sekitar 1597, Mataram berubah berekspansi ke timur, ke daerah-daerah di bawah pengaruh dari Surabaya.[10]

Kadipaten Surabaya berpusat kira-kira di kota Surabaya sekarang, di pantai utara Jawa Timur.[4] Kadipaten ini kaya dan kuat,[4] dan kota pelabuhannya adalah rute perdagangan penting antara Malaka dan Kepulauan penghasil rempah-rempah (Maluku).[11] Luas kota ini adalah sekitar 37 kilometer (23 mi) dalam diameter, dan diperkuat oleh kanal-kanal dan meriam-meriam.[4] Bersekutu dengan negara terdekat, Pasuruan, Kadipaten ini memperluas pengaruhnya ke seluruh bagian timur pulau Jawa di awal abad ke-17.[12] Pada tahun 1622, Kadipaten Surabaya mengontrol daerah Gresik dan Sedayu di Jawa Timur.[4] dan juga menguasai daerah Sukadana[4] dan Banjarmasin[13] di Kalimantan Selatan. Ada laporan yang masih diragukan yang mengatakan Kadipaten ini mungkin telah memperluas pengaruhnya ke Pasuruan, Blambangan, wilayah lembah sungai Brantas, dan Wirasaba.[4] Selain itu, Surabaya juga bersekutu dengan Tuban, Malang, Kediri, Lasem, semua wilayah di Jawa Timur, serta Madura di lepas pantai utaranya.[14] Aliansi ini terbentuk terutama sebagai respon terhadap pertumbuhan kekuatan Mataram,[13] dan Surabaya merupakan pendiri dan sekaligus anggota yang paling kuat.[13][10]

Peperangan

Penaklukan sekutu Surabaya

 
Sultan Agung, raja Mataram yang memimpin penaklukan, pada prangko Indonesia tahun 2006

Pada 1613, Hanyakrakusuma (memerintah tahun 1613 – 1645), yang bergelar Sultan Agung (sebagaimana disebutkan dalam literatur) naik takhta Mataram. Ia kemudian memulai penaklukan ke arah timur dengan sebuah serangan ke arah sisi selatan Surabaya, Tapal Kuda Timur, Malang, dan kemungkinan Pasuruan pada tahun 1614. Pasukan Surabaya menyerang tentara Mataram saat berbalik pulang, namun dikalahkan. Pada tahun 1615, Sultan Agung menaklukkan Wirasaba dan secara pribadi memimpin pasukan di sana. Surabaya tidak mengirim pasukannya untuk membantu Wirasaba, karena takut sekutu yang lainnya, Tuban, akan mengambil keuntungan dengan mengkhianati Surabaya dan menyerang dari belakang.[15][13]

Penaklukan strategis dan penting wilayah Wirasaba menimbulkan ancaman yang jelas untuk Surabaya dan kerajaan-kerajaan kecil di timur dan mereka menyatakan untuk memperkuat aliansi. Mereka mengerahkan pasukan dan berbaris menuju Pajang, sebuah kota di bawah kontrol Mataram tetapi tampaknya di ambang pemberontakan.[15] Namun, mata-mata Mataram di Tuban menipu pasukan sekutu untuk mengambil rute yang buruk menuju Pajang. Akibatnya, tentara sekutu terisolasi di Siwalan, dekat Pajang. Tentara ini dikelilingi oleh Sultan Agung dan dikalahkan pada bulan Januari 1616.[15]

Sultan Agung kemudian meraih kemenangan di Lasem (1616) dan Pasuruan (1616-17). Pada tahun 1617, Pajang akhirnya memberontak terhadap Mataram namun dikalahkan, dan para pemimpin Pajang melarikan diri ke Surabaya.[15] Pada tahun 1619, Sultan Agung menaklukkan Tuban, salah satu anggota terkuat dari aliansi Surabaya.[15] Penaklukan ini membuat Sultan Agung berkuasa atas kegiatan pembangunan kapal-kapal di Tuban, dan karenanya memungkinkan untuk membangun sebuah angkatan laut untuk menantang supremasi angkatan laut Surabaya sebelumnya.[15]

Pengepungan Surabaya

Pada tahun 1620, target utama Mataram bergeser ke arah kota Surabaya itu sendiri. Selama tahun 1620-1625, pasukan Mataram secara berkala mengepung Surabaya.[15] Pengepungan itu sulit karena bagian dari Surabaya (termasuk istana kadipaten) yang terletak di antara cabang-cabang Sungai Brantas,[16] dan dalam banyak bagian-bagiannya dikelilingi oleh rawa, yang membentuk benteng alami dan menjadi risiko kesehatan bagi para pengepung.[17] Selain itu, kota itu bertembok dan diperkuat dengan meriam.[4] Posisi Surabaya sebagai kota pelabuhan membuat Mataram perlu untuk memblokade Surabaya melalui laut dan darat.[17] Keterbatasan logistik dan musim hujan tahunan menyebabkan Mataram tidak dapat mempertahankan pengepungan terus menerus.[17] Sebaliknya, Mataram mengikuti pola menyerang saat musim kemarau, menghancurkan tanaman dan menjarah hasil panen dari daerah Surabaya dan sekitarnya.[15][17]

Mataram mengirim lima ekspedisi untuk menyerang Surabaya.[17] Pada tahun 1960, upaya pertama melibatkan 70.000 pasukan Mataram melawan 30.000 pasukan Surabaya,[18] tetapi pengepungan gagal karena tidak cukup persediaan untuk pasukan Mataram.[18] Upaya kedua pada tahun 1622, juga gagal karena kurangnya persediaan makanan.[18] Upaya ketiga pada tahun 1623, juga gagal menaklukkan Surabaya.[19] Mataram mengepung Surabaya lagi pada tahun 1624, menduduki dan menjarah wilayah pemukiman di sekitarnya serta memaksa warga untuk mengungsi ke dalam kota.[19] Pada saat yang sama, Mataram juga mengirimkan ekspedisi terhadap sekutu Surabaya yang tersisa, terutama Sukadana di Kalimantan, yang jatuh pada tahun 1622, dan Madura, yang jatuh pada tahun 1624.[15] kedua sekutu di luar pulau ini telah memasok Surabaya, dan kekalahan mereka sangat berdampak bagi kota ini.[15]

Pengepungan kelima dan terakhir berlangsung pada tahun 1625, di mana pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Mangun Oneng, dibantu oleh Tumenggung Yuda Prasena dan Tumenggung Ketawangan.[1] Mataram membendung sungai Brantas, membatasi pasokan air ke kota,[15] dan meracuni sisa pasokan air menggunakan bangkai binatang.[20] Pengepungan di darat, dan penaklukan sekutu luar pulau Surabaya, menyebabkan kekurangan makanan dan perlengkapan lain di kota ini.[20] Tercatat, hanya rute laut ke Makassar yang terbuka.[20] Mengingat efek dari pengepungan dan kelaparan di kota, Jayalengkara, Adipati Surabaya, memanggil dewan bangsawan kota.[20] Salah satu faksi, terutama termasuk Adipati Pajang yang diasingkan, mendorong untuk melanjutkan perlawanan, tapi bangsawan lain meyakinkan Jayalengkara untuk menyerah.[20]

Jayalengkara menjadi taklukan Sultan Agung di Surabaya, dan karena usianya yang tua, meninggal tidak lama kemudian.[21] [3] Putranya, Pangeran Pekik diasingkan ke tempat pertapaan di makam Sunan Ngampel-Denta, dekat Surabaya.[3] Kemudian, Pangeran Pekik tinggal di istana Mataram, menikah dengan saudara perempuan Sultan Agung, dan, menurut sejarawan Belanda H. J. de Graaf, "banyak meningkatkan kebudayaan keraton Mataram".[21] Adipati Pajang, mantan pemimpin Mataram yang telah memberontak dan melarikan diri ke Surabaya, dieksekusi dengan ditenggelamkan.[22]

Hasil Peperangan

Penaklukan ini menghilangkan saingan Mataram terkuat di timur dan memberi kesempatan bagi Sultan Agung untuk membangun kedaulatannya atas sebagian besar penduduk Jawa yang berbahasa Jawa, serta Madura.[3] Dari wilayah Jawa yang berbahasa daerah, hanya Blambangan tetap independen di Timur. Ada juga Kesultanan Banten dan Belanda yang menguasai Batavia (sekarang Jakarta) di Barat.[3] Surabaya dan daerah-daerah di pantai timur laut pulau Jawa yang ditaklukkan tetap berada di tangan Mataram sampai mereka diserahkan ke Perusahaan Hindia Timur Belanda pasca 1741-1743 Perang Jawa.[6] Hal ini berarti bahwa daerah Jawa Tengah dan Timur berada di lingkup pengaruh Mataram selama periode formatif budaya Mataram dari budaya Jawa, di mana kini fitur seperti Jawa, etika, seni, bahasa, dan hierarki sosial telah mengambil bentuk budayanya.[23]

Penaklukan ini menandai batas maksimal dari Mataram.[3] Setelah konsolidasi kekuasaannya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sultan Agung kemudian berbalik ke arah barat untuk berurusan dengan Belanda. Pasukannya menyerang Batavia pada tahun 1628, dan lagi pada tahun 1629, tapi kampanye ini berakhir pada kekalahan besar.[24] Setelah kegagalan ini, ekspansi Mataram berhenti, dan tidak lagi menjadi ancaman untuk Banten atau Belanda.[25]

Peperangan dengan Surabaya ini mengakibatkan beberapa kerusakan, terutama di sepanjang pantai utara Jawa.[3] Pertempuran, penyakit, kelaparan, dan gangguan pertanian, menyebabkan banyak kematian – jumlah pastinya belum diketahui, tetapi diperkirakan cukup besar.[3] Surabaya yang tidak lagi menjadi pelabuhan penting, telah kehilangan dominasinya atas Jawa Timur.[26] Penghancuran kota-kota pesisir memberikan kontribusi terhadap kemunduran perdagangan di Jawa dan munculnya Kesultanan Makassar di Sulawesi sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara.[27]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 64.
  2. ^ Sunda, Pusat Studi (2004). Bupati di Priangan: dan kajian lainnya mengenai budaya Sunda. Pusat Studi Sunda. 
  3. ^ a b c d e f g h i j Ricklefs 2008, hlm. 48.
  4. ^ a b c d e f g h Ricklefs 2008, hlm. 46.
  5. ^ Syed, Akhtar & Usmani 2011.
  6. ^ a b Ricklefs 2008, hlm. 116.
  7. ^ Ricklefs 2008, hlm. 41.
  8. ^ Ricklefs 2008, hlm. 38.
  9. ^ Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 33.
  10. ^ a b c Ricklefs 2008, hlm. 45.
  11. ^ Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 28.
  12. ^ Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 34.
  13. ^ a b c d Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 35.
  14. ^ Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 47.
  15. ^ a b c d e f g h i j k Ricklefs 2008, hlm. 47.
  16. ^ Pigeaud 1976, hlm. 39.
  17. ^ a b c d e Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 58.
  18. ^ a b c Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 60.
  19. ^ a b Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 62.
  20. ^ a b c d e Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 65.
  21. ^ a b Pigeaud 1976.
  22. ^ Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 66.
  23. ^ Hefner 1990, hlm. 29.
  24. ^ Ricklefs 2008, hlm. 49.
  25. ^ Ricklefs 2008, hlm. 50.
  26. ^ Akhmad Saiful Ali 1994, hlm. 77–78.
  27. ^ Kratoska 2001, hlm. 113.

Daftar pustaka