Partai Persatuan Tharikah Islam

partai politik

Partai Persatuan Tharikah Islam, disingkat PPTI adalah salah satu organisasi massa Islam yang sempat bertransformasi menjadi partai politik di Indonesia.[1] PPTI didirikan oleh Haji Jalaluddin, guru tarekat dari Maninjau, Sumatera Barat.

Partai Persatuan Tharikah Islam

Sejarah sunting

Pembentukan sunting

Partai Politik Tarekat Islam (PPTI) diketahui sudah berdiri di Bukittinggi pada 1945 oleh Syekh Haji Jalaluddin, meski PPTI mengklaim bahwa organisasi tersebut sudah ada sejak 1920.[2] Sebelum aktif di PPTI, Haji Jalaluddin adalah anggota Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Ia keluar dari Perti akibat dari perselisihannya dengan Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan alim ulama Naqsyabandi lainnya di Perti mengenai tulisan-tulisan yang ia terbitkan.[3]

Selama masa revolusi nasional Indonesia, PPTI membentuk Barisan Tentara Allah (BTA). BTA kemudian bergabung ke Dewan Perjuangan Volksfront yang terdiri dari berbagai laskar pejuang di Sumatera Barat.[4]

Pemilu 1955 dan Demokrasi Terpimpin sunting

PPTI ikut serta dalam Pemilihan Umum 1955. Menjelang pemilu, Dewan Tarekat Perti pada muktamar di Bukittinggi tahun 1954 mengeluarkan fatwa haram membaca buku-buku Haji Jalaluddin bagi orang awam. Fatwa ini dikeluarkan seiring menguatnya perselisihan antara Perti dengan PPTI di akar rumput.[3][5] Walau begitu, PPTI masih memperoleh suara cukup besar sebanyak 85.131 suara (0,2% suara nasional). Haji Jalaluddin terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) satu-satunya dari PPTI.[6]

Keberadaan Haji Jalaluddin di DPR memberikan akses kepada PPTI untuk menyebarkan jaringannya ke luar Sumatra dan mendekati Sukarno. Haji Jalaluddin menunjukkan dirinya sebagai pendukung Sukarno sampai-sampai ia sempat menamai ulang tarekatnya menjadi Sukarnowiyah.[7] Dukungan tersebut berhasil mengamankan kursi PPTI di DPR ketika Sukarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada 1960.[8]

Haji Jalaluddin berhasil meyakinkan banyak guru tarekat untuk bergabung ke PPTI dengan mengandalkan hubungannya dengan pemerintah. Salah satu tokoh yang berhasil ia rekrut adalah Abah Anom, mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Suryalaya, Jawa Barat. Selain mengajak mursyid tarekat, Haji Jalaluddin juga melantik wakil-wakil PPTI di seluruh Indonesia dan memberikan gelar Doktor Kerohanian kepada khalifah yang ia angkat.[9]

Masa Orde Baru sunting

Menjelang akhir Orde Lama, PPTI segera menarik dukungannya kepada Sukarno. Haji Jalaluddin menggabungkan PPTI ke dalam Golongan Karya (Golkar). Di bawah payung Golkar, PPTI menjadi organisasi pendukung Suharto di kalangan tarekat.[7].

Pada 1976, Syekh Haji Jalaluddin wafat. PPTI kemudian terpecah menjadi beberapa faksi.[10]

Catatan kaki sunting

Rujukan

  1. ^ Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan kuasa: genealogi inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005. p. 417
  2. ^ van Bruinessen 1990, hlm. 175.
  3. ^ a b van Bruinessen 1994, hlm. 114.
  4. ^ Departemen Penerangan RI 1953, hlm. 555.
  5. ^ Putra, Apria (14 Oktober 2019). "Tarekat Naqsyabandiyah dan Konferensi di Bukittinggi Tahun 1954". Tarbiyah Islamiyah. Diakses tanggal 10 Januari 2023. 
  6. ^ Feith 2007, hlm. 435.
  7. ^ a b van Bruinessen 1994, hlm. 132.
  8. ^ van Bruinessen 2007, hlm. 235.
  9. ^ van Bruinessen 2007, hlm. 236.
  10. ^ van Bruinessen 2007, hlm. 237.

Daftar pustaka

  • van Bruinessen, Martin (1990). "The Origins and Development of the Naqshbandi Order in Indonesia". Der Islam (dalam bahasa Inggris). 67 (1): 150–179. 
  • van Bruinessen, Martin (1994). Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis. Cetakan ke-2. Bandung: Mizan. ISBN 979-433-000-0. 
  • van Bruinessen, Martin (2007). "After the Days of Abu Qubays: Indonesian Transformations of the Naqshbandiyya-Khalidiyya". Journal of the History of Sufism (dalam bahasa Inggris). 5: 225–251. 
  • Feith, Herbert (2007). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Equinox. ISBN 9793780452. 
  • Kementerian Penerangan Republik Indonesia (1953). Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Tengah. Jakarta.