Muramasa (村正, dilahirkan sebelum 1501), pada umumnya dikenal sebagai Sengo Muramasa (千子村正), adalah seorang pembuat pedang yang mendirikan aliran pembuatan pedang Muramasa dan hidup pada Zaman Muromachi (abad ke-14 sampai abad ke-16) di Kuwana, Provinsi Ise, Jepang (saat ini Kuwana, Mie).[1]

Muramasa (勢州桑名住村正) dari Museum Nasional Tokyo

Meskipun pada awalnya pedang katana ini memiliki reputasi sebagai pedang bermutu tinggi yang disukai shōgun Tokugawa Ieyasu beserta para pengikutnya, pedang tersebut kemudian secara perlahan menjadi simbol pergerakan anti Tokugawa. Bahkan di kemudian hari, dalam dongeng dan cerita populer di abad ke-18th, pedang tersebut dianggap sebagai suatu yōtō (妖刀, "katana mungkin terkutuk? ").

Karya sunting

Gaya sunting

Seperti reputasinya, Muramasa dikenal memiliki beberapa ciri khas yang tidak lumrah dalam pekerjaannya. Ciri-ciri ini sering kali dipakai untuk menyebutkan sifat suatu pedang dengan kata awalan "Muramasa."

  • Muramasa-ba (村正刃, "Mata bilah seperti Muramasa")—Ciri-ciri pertamannya adalah seringnya pemakaian hamon berbentuk gelombang. Hamon Muramasa termasuk dalam kategori gunome-midare, yaitu, berupa seperti bentuk gelombang yang acak. Secara khusus, gunome-midare Muramasa memiliki lembah gelombang yang sangat panjang dan dangkal di antara sekelompong bentuk gunome.[2] Lebih lanjut, pola gelombang di depan dan yang dibelakangnya bertemu dengan baik.[2]
  • Muramasa-nakago (村正中心, "Gagang seperti Muramasa")—Ciri khas yang mudah diidentifikasi lainnya adalah nakago (gagang pedang) yang berbentuk perut ikan (tanagobara) .[2][3] Hayashi Shigehide (林重秀) pada abad ke-19 sering meniru gaya ini.[2]

Karya-karya yang terkenal sunting

Meskipun aliran Muramasa sangat terkenal di budaya populer, tidak ada pedangnya yang diangkat menjadi Pusaka Nasional Jepang atau Harta Penting Kebudayaan.

Myōhō Muramasa (妙法村正, "Muramasa Dharma Agung") adalah satu-satunya pedang yang secara resmi diangkat sebagai salah satu Karya Seni Penting [ja].[4] Pedang ini berbentuk Uchigatana, panjang 66.4 cm, lengkungan 1.5 cm, lebar pangkal 2.8 cm, shinogi-zukuri, iori-mune, dan chū-kissaki nobi [4] (see also Glosarium pedang-pedang Jepang). Pada sisi depannya terdapat tanda tangan Muramasa dan lambang mantra myōhō renge kyō (妙法蓮華経) (sebuah mantra dari Namu Myōhō Renge Kyō atau Sutra Teratai dari Agama Buddha Nichiren).[4] Pada sisi belakangnya terdapat tanda tahun 永正十年葵酉十月十三日 (hari ke-13 pada bulan ke-10 tahun ke-10 Eishō, yaitu tanggal 10 November 1513).[4] Besar kemungkinannya tanggal tersebut dipilih karena pendeta tinggi Nichiren meninggal pada hari ke-13 pada bulan ke-10 tahun ke-5 Kōan (1282).[4] Pada kedua sisi depan dan belakang terdapat ukiran Kurikara (pedang mitologis milik Fudō Myō-ō yang diperkuat seekor naga terbakar) yang indah.[4] Gaya ukiran ini adalah sama dengan gaya pembuat pedang bernama Heianjō Nagayoshi, maka beberapa sejarawan menduga Muramasa belajar kepada Nagayoshi.[4] Pada gagang tersebut juga terdapat tulisan Nabeshin (鍋信) dari pamor perak, yang membuatnya diduga sebagai milik Nabeshima Katsushige (1580-1657), daimyō pertama dan Tuan Wilayah Saga.[4] Pada kemudian hari, pedang ini diberikan pada anak Katsushige, yaitu Nabeshima Motoshige, tuan pertama Wilayah Ogi, dan kemudian diwariskan pada penerusnya.[4]

Murid-murid Muramasa juga membuat senjata-senjata yang luar biasa. Fujiwara Masazane, seorang murid Muramasa, membuat Tonbokiri,[5] salah satu dari Tiga Tombak Agung Jepang. Masazane juga membuat sebuah pedang bernama Inoshishi-giri (猪切, "pembunuh babi hutan") yang namanya berasal dari legenda di mana Sakai Tadatsugu membunuh seekor babi hutan liar dengan pedang tersebut ketika menemani Ieyasu berburu.[6]

Dalam sejarah sunting

Asal muasal sunting

Asal mula aliran Muramasa tidak diketahui secara pasti. Pedang tertua yang bertuliskan nama Muramasa serta memiliki tanggal menunjukkan tahun 1 Bunki (1501).[4][7][8] Meskipun begitu, para sejarawan menegaskan bahwa beberapa pedang yang bertuliskan nama Muramasa (tapi tidak bertuliskan tanda tahun) adalah lebih tua dari tahun 1501 apabila dilihat dari gaya pembuatannya.[4][7] Secara umum dianggap bahwa aliran Muramasa ada selama tiga generasi.[4] Sukar memastikan kapan aliran tersebut menghilang, tapi beberapa pedang Muramasa didapati dengan tanda tahun Kanbun (1661-1673).[7]

Dongeng-dongeng pada akhir Zaman Muromachi (awal abad ke-16 sampai dengan tahun 1573) menyatakan bahwa Muramasa I adalah murid dari Masamune (c. 1300), pembuat pedang terbesar di sejarah Jepang. Selain itu, keluarga Hon'ami (dinasti keluarga pemoles pedang dan pemerhati pedang) berpendapat bahwa ornamen yang dibuatnya berasal dari era Jōji (1362–1368).[9] Bagaimanapun juga, para pakar sejak Zaman Azuchi–Momoyama (1573–1600) sampai zaman modern, telah menggugurkan kemungkinan adanya hubungan antara Masamune dan Muramasa sebagai khayalan belaka karena semua contoh pedang Muramasa terlalu baru untuk mendukung teori tersebut.[9] Satu teori lain mengatakan bahwa Muramasa I adalah murid Heianjō Nagayoshi, seorang pembuat pedang terkemuka di Kyoto yang dikenal dari karya tombak dan ukirannya.[4][10] Aliran Masashige (正重), salah satu cabang terkenal dari aliran Muramasa, mencatat bahwa Masashige I meninggal pada tahun 1456, maka Muramasa I dipastikan berkarya sebelum tahun 1456 apabila kita mempercayai pencatatan tersebut.[7]

Sengo (千子), nama julukan Muramasa, juga berbalut dalam mitos. Dipercayai secara umum bahwa Muramasa I dilahirkan di suatu tempat bernama Sengo, akan tetapi tidak ada tempat dengan nama tersebut di sekitar Kuwana.[7] Salah satu legenda populer mengatakan bahwa Muramasa I memuja bodhisattva Senju Kannon (Dewi Kwan Im) yang kemudian membuatnya dipanggil Sengo, kependekan dari Senju no ko (千手の子, "anak Senju").[7]

Kanzan Sato mengklaim bahwa tahun permulaan Muramasa I adalah Entoku dan Meiō (1489-1501), tahun Muramasa II adalah Tenbun (1532–1539), dan tahun Muramasa III adalah Tenshō (1573–1591).[4] Di sisi lain, Suiken Fukunaga menganggap ornamen hiasan Muramasa I menunjukkan tahun Shōchō (1428-1429) dan pedang tahun 1501 dibuat oleh Muramasa III.[7]

Hubungan dengan dinasti Tokugawa sunting

Karena ketajamannya yang istimewa, pedang Muramasa disukai oleh para samurai Mikawa (yang dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu, pendiri Keshogunan Tokugawa, dan para pendahulunya).[5][11] Secara alamiah, ketika terjadi musibah di klan Tokugawa, hal itu sering kali dihubungkan dengan Muramasa, tentunya bukan karena pedang mereka "terkutuk", tapi karena kebanyakan samurai Mikawa menggunakan pedang tersebut.[5]Matsudaira Kiyoyasu, kakek Ieyasu, secara tidak sengaja terbunuh oleh salah satu pengikutnya, Abe Masatoyo, dengan memakai sebuah pedang Muramasa.[11] Ayah Ieyasu, Matsudaira Hirotada, juga tertusuk sebuah pedang Muramasa oleh Iwamatsu Hachiya, ketika ia terlalu banyak minum minuman keras dan kemudian kehilangan akal sehatnya.[11] Ketika anak pertama Ieyasu,Matsudaira Nobuyasu, dipaksa melakukan bunuh diri (seppuku), pemenggalnya (kaishakunin) Amagata Michitsuna memakai sebuah pedang Muramasa.[11]

Tanpa mempedulikan rangkaian kejadian nahas itu, Tokugawa Ieyasu dan generasinya tampaknya begitu menghargai senjata-senjata Muramasa.[5] Ieyasu sendiri memiliki dua pedang yang dibuat oleh Muramasa dan mewariskannya pada keluarganya; pada tahun 2013, Keluarga Tokugawa-Owari masih menyimpan satu dari kedua senjata tersebut sebagai barang pusaka.[5] Honda Tadakatsu, salah satu dari Empat Jenderal Agung di bawah Ieyasu, menggunakan Tonbogiri, tombak legendaris yang dibuat oleh Fujiwara Masazane, yang belajar pada aliran Muramasa.[5] Sakai Tadatsugu, seorang anggota Empat Jenderal Agung lainnya, menggunakan Inoshishi-giri, sebuah pedang yang juga dibuat oleh Masazane.[6]

Akan tetapi, generasi selanjutnya dari keshogunan tersebut, secara perlahan menganggap senjata-senjata Muramasa sebagai barang-barang pembawa nasib buruk. Arai Hakuseki, Ahli-pejabat resmi keshogunan, berpendapat "Muramasa berhubungan dengan tidak sedikit kejadian nahas."[5] Bahkan Tokugawa Jikki [ja] (1849), buku sejarah resmi yang diterbitkan keshogunan, mengutip Kashiwazaki Monogatari (柏崎物語, 1787), yang menceritakan suatu legenda di mana Ieyasu melihat senjata Muramasa sebagai barang terkutuk dan melarangnya di keluarganya,[12] meskipun demikian tampak jelas bahwa cerita dibuat-buat kalau kita mengingat bahwa senjata Muramasa menjadi salah satu pusaka keluarga Tokugawa-Owari.

Pada Zaman Bakumatsu (1853–1868), senjata Muramasa dianggap sebagai pembawa kutukan kepada keshogunan, sehingga para anggota shishi (kelompok aktivis anti Tokugawa) ingin menguasai pedang-pedang Muramasa.[4] Meskipun aliran Muramasa tidak memiliki status tinggi atau status yang prestisius yang cukup untuk dipakai oleh para anggota kerajaan dalam kesehariannya, sebuah pedang Muramasa digunakan oleh Pangeran Arisugawa Taruhito, panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Kekaisaran melawan Keshogunan Tokugawa dalam Perang Boshin (1868-1869).[5] Untuk memenuhi permintaan yang bertambah, pedang-pedang Muramasa palsu juga sering dibuat pada masa tersebut.[4]

Makna penting bagi kebudayaan sunting

 
Dongeng tentang Sano Jirōzaemon, karya Tsukioka Yoshitoshi, 1886. Orang-orang People menggunjingkan bahwa Jirōzaemon membunuh kekasihnya dengan sebuah pedang terkutuk. Drama kabuki Kago-tsurube Sato-no-Eizame (1888) mengklaim bahwa pedang tersebut dibuat oleh Muramasa.

Dalam budaya populer, pedang-pedang Muramasa sering kali digambarkan sebagai pedang-pedang terkutuk yang mengandung kuasa jahat. Oscar Ratti dan Adele Westbrook menyatakan bahwa Muramasa "adalah pengrajin yang sangat ahli akan tetapi ia juga memiliki jiwa yang tidak seimbang dan cenderung gila, sifat tersebut mungkin merasuk pada pedang-pedang karyanya. Pedang-pedang ini dipercaya memiliki sifat haus darah sehingga memaksa pemakainya untuk membunuh atau melakukan bunuh diri."[13] Konon kabarnya, ketika sebuah pedang Muramasa dicabut dari sarungnya, pedang tersebut harus mengambil darah sebelum pedang itu bisa dimasukkan lagi ke dalam sarungnya, sampai-sampai pemakainya harus melukai diri sendiri bahkan membunuh dirinya sendiri.[14] Karena itu, pedang tersebut dianggap memiliki kutukan jahat yang menyebabkan pemakainya menjadi haus darah.

Pandangan bias terhadap pedang ini dimulai sejak zaman drama kabuki abad 18-19, contohnya Katakiuchi Tenga Jaya Mura (敵討天下茶屋聚) (1781), Hachiman Matsuri Yomiya no Nigiwai [ja] (1860), Konoma no Hoshi Hakone no Shikabue (木間星箱根鹿笛) (1880), dan Kago-tsurube Sato-no-Eizame'' [ja] (1888).[2]

Ketika Matsudaira Geki [ja] menjadi gila karena penganiayaan kekuasaan para atasannya dan kemudian membunuh mereka di Istana Edo pada tahun ke-6 Bunsei (1823), para warga kota membuat desas-desus bahwa Geki memakai sebuah pedang Muramasa, padahal sebetulnya pedang yang dipakai tidak memiliki tanda apa pun dan tidak ada bukti yang mendukung desas-desus tersebut.[2] Kejadian ini menunjukkan bagaiman kuatnya pengaruh drama kabuki di kalangan masyarakat umum.[2]

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ Fukunaga, 1993. vol. 5, pp. 166–167.
  2. ^ a b c d e f g Fukunaga, 1993. vol. 5, p. 169.
  3. ^ [1] Diarsipkan 2019-03-27 di Wayback Machine. www.Muramasa.us/features
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Sato, 1990. pp. 209-212.
  5. ^ a b c d e f g h "「尾張徳川家の至宝」展 妖刀 伝説から史実へ" [An Exhibition of the Great Treasures of the Owari-Tokugawa Family: Cursed Sword—From Legend to History]. Nishinippon Shimbun (dalam bahasa Japanese). 2013-11-21. Diakses tanggal 2018-08-22. 
  6. ^ a b Fukunaga, 1993. vol. 1, pp. 107–108.
  7. ^ a b c d e f g Fukunaga, 1993. vol. 5, p. 167.
  8. ^ "ISE - SENGO MURAMASA School". www.sho-shin.com. 
  9. ^ a b Fukunaga, 1993. vol. 5, p. 166.
  10. ^ "Muramasa". www.shibuiswords.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-07-08. 
  11. ^ a b c d Fukunaga, 1993. vol. 5, p. 168.
  12. ^ 『徳川実紀』東照宮御実紀附録巻三 ([2], p. 162)
  13. ^ Ratti, Oscar and Adele Westbrook (1991). Secrets of the Samurai: The Martial Arts of Feudal Japan. Tuttle Publishing. hlm. 263. ISBN 978-0-8048-1684-7. 
  14. ^ Stone, George Cameron (1999). A Glossary of the Construction, Decoration, and Use of Arms and Armor in All Countries and in All Times. Dover Publications, Inc. hlm. 460. ISBN 978-0-486-40726-5. 

Bibliografi sunting

  • Sato, Kanzan (1990) (dalam Bahasa Jepang) Kumpulan 100 Pedang Penting Jepang Baru (新・日本名刀100選, Shin Nihon Meitō Hyakusen). Akita Shoten. ISBN 4-253-90009-7.
  • Fukunaga, Suiken (1993) (dalam Bahasa Jepang) Ensiklopedi Pedang-pedang Jepang (日本刀大百科事典, Nihontō Daihyakka Jiten). Yūzankaku. ISBN 4-639-01202-0.