Linguistik historis

Linguistik historis atau disebut juga linguistik historis komparatif adalah cabang linguistik yang mengkaji perkembangan dan perbandingan antara bahasa-bahasa. Bidang ini kadang disebut linguistik diakronis (dari bahasa Latin: dia- 'melalui' dan chronos 'waktu') sebagai lawan dari linguistik sinkronis yang mengkaji bahasa pada suatu waktu tertentu. Kajian bidang ini antara lain meliputi kajian sejarah satu bahasa, bagaimana dan mengapa perubahan bahasa terjadi, perubahan dengan perbandingan terhadap bahasa lain yang serumpun (linguistik komparatif), perkembangan dialek bahasa (dialektologi), serta sejarah kata (etimologi).

Dalam pertumbuhannya, linguistik historis komparatif bukanlah hasil dari sekelompok sarjana yang terkoordionasi secara institusional, melainkan hasil temuan-temuan sarjana dengan titik tolak dan orientasi studi yang tidak selalu sejalan dan bahkan saling bertentangan. Satu-satunya penyatu mereka adalah gairah atau jiwa bahasa (meminjam istilah Humbolt dan Grimm yaitu Sprachgeist atau Spiritlanguage 'jiwa bahasa') yang sama untuk menggali silsilah bahasa dan mengomparasikan bahasa-bahasa tersebut untuk menyusun dan memahami peta bahasa-bahasa dan upaya memahami satu bahasa untuk kebutuhan ril.[1]

Teori timbulnya bahasa sunting

Pengkajian tentang proses kelahiran bahasa manusia sudah dimulai sejak 2500 tahun lalu, yakni zaman Plato dan Aristoteles. Mereka mempertanyakan apakah bahasa itu? Lalu bagaimana bahasa dapat terbentuk dan lahir? Apakah bahasa berasal dari alam (fisei) ataukah berasal dari konvensional atau kesepakatan (nomos) penuturnya?[2]

Di awal abad ke-18, para filsuf tergerak lagi untuk mempertanyakan asal-usul bahasa. Karena tidak adanya data-data yang tertulis mengenai sejarah timbulnya bahasa manusia, maka beberapa pakar menyatakannya dalam bentuk teori. Ada dua teori tradisional yang menyatakan timbulnya bahasa, yakni hipotesis monogenesis dan poligenesis.[3]

Hipotesis monogenesis sunting

Penyelidikan antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Sebelum abad ke-18, teori-teori asal bahasa ini dikategorikan sebagai divine origin atau berdasarkan kepercayaan. Menurut kepercayaan agama-agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam bahwa bahasa itu pemberian Tuhan. Di dalam kitab injil, menurut para penulis Barat, dikemukakan bahwa Tuhan telah melengkapi pasangan manusia pertama di dunia, yaitu Adam dan Hawa (Eva) dengan kemampuan alam (kodrati) untuk berbahasa dan bahasa inilah yang diteruskan kepada keturunan mereka.[3]

Hipotesis monogenesis berasal dari kata mono 'tunggal' dan genesis 'kelahiran', yaitu hipotesis yang mengatakan semua bahasa di dunia ini berasal dari satu bahasa induk. Namun hipotesis ini ditentang oleh J.G. von Herder karena menurutnya tidak mungkin bahasa itu begitu buruk dan tidak selaras dengan logika jika benar bahasa itu berasal dari Tuhan yang mahasempurna.[4]

Hipotesis poligenesis sunting

Hipotesis poligenesis adalah hipotesis yang mengatakan bahwa bahasa-bahasa yang berlainan lahir dari berbagai masyarakat, juga berlainan secara evolusi. F. von Schlegel juga menyatakan bahwa bahasa di dunia ini tidak mungkin berasal dari satu bahasa induk. Asal-usul bahasa itu sangat berlainan, bergantung pada faktor-faktor yang mengatur pertumbuhan bahasa itu. Ada bahasa yang dilahirkan oleh onomatope (misalnya bahasa Manchu), ada pula bahasa fleksi yang dilahirkan oleh kesadaran manusia (misalnya bahasa Sansekerta). Dari mana pun asalnya, akal manusialah yang membuatnya sempurna.[4] Pada akhir abad ke-18, spekulasi asal-usul bahasa berpindah dari wawasan keagamaan, mistik, takhayul ke alam baru yang disebut organic phase atau fase organik.

Berikut ini merupakan teori-teori penting mengenai timbulnya bahasa.[5][3]

  1. Teori Tekanan Sosial (The Social Pressure Theory), dikemukakan pertama kali oleh Adam Smith dalam bukunya The Theory of Moral Sentiments yaitu bertolak dari anggapan bahwa bahasa manusia timbul karena manusia primitif dihadapkan pada kebutuhan untuk saling memahami sehingga bila mereka ingin menyatakan objek tertentu mereka terdorong untuk mengucapkan bunyi-bunyi tertentu pula.
  2. Teori Onomatopetik atau Ekoik, mula-mula dikemukakan oleh J.G. Herder yang mengatakan bahwa objek-objek diberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh objek-objek itu, misalnya bunyi-bunyi binatang atau peristiwa-peristiwa alam. Manusia berusaha meniru bunyi anjing, bunyi ayam, atau desis angin, debur gelombang, dan sebagainya akan menyebut objek-objek atau perbuatannya dengan bunyi-bunyi itu.
  3. Teori Interyeksi atau Pooh-pooh, teori pooh-pooh bertolak dari asumsi bahwa bahasa lahir dari ujaran-ujaran instingtif karena tekanan-tekanan batin, perasaan mendalam, rasa takut yang dialami manusia, teriakan kuat, atau seruan-seruan keras. Teori ini dikemukakan oleh Charles Darwin dalam Descent of Man (1871) dan banyak ditentang oleh banyak sarjana termasuk Edward Saphir.
  4. Teori Nativistik atau Tipe Fonetik, disebut juga dengan teori ding-dong dan diperkenalkan pertama kali oleh Mark Müller. Teori ini didasarkan pada konsep bersifat fonetik, yaitu bahwa bahasa berasal dari upaya manusia untuk merespons bunyi-bunyi yang dihasilkan alam. Menurut teori ini manusia mempunya kemampuan insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap kesan sebagai stimulus dari luar. Bagaikan pukulan pada bel hingga mengeluarkan ujaran yang sesuai. Pada akhirnya teori ini ditentang oleh Müller sendiri.
  5. Teori ‘Yo-He-Ho’, orang-orang primitif bekerja sama setiap kali melakukan pekerjaan, terutama saat mengangkat benda-benda berat. Karena waktu itu belum ada peralatan modern, mereka mengangkat benda-benda berat itu lalu secara spontan mengeluarkan bunyi-bunyi atau ujaran-ujaran tertentu karena dorongan tekanan otot, seperti heave (angkat), rest (diam), dan sebagainya.
  6. Teori Isyarat, teori ini diajukan oleh Wilhelm Wundt pada abad ke-19. Ia menyatakan dalam bukunya yang berjudul Völkerpsychologie bahwa munculnya bahasa didasarkan pada hukum psikologi yaitu tiap perasaan manusia mempunyai bentuk ekspresi khusus yang merupakan pertalian tertentu dengan syaraf reseptor dan syaraf efektor. Teori ini mengatakan bahwa isyarat mendahului ujaran. Salah satu contohnya adalah bahasa isyarat yang digunakan oleh suku Indian di Amerika Utara sewaktu berkomunikasi dengan suku-suku lain yang tidak sebahasa.
  7. Teori Permainan Vokal Jespersen, seorang filolof Denmark, berpendapat bahwa bahasa manusia pada mulanya berwujud dengungan dan senandung, yang tidak berkeputusan, yang tidak mengungkapkan pikiran apapun. Mirip dengan suara senandung orang-orang tua untuk membuai dan menyenangkan seorang bayi. Bahasa timbul sebagai permainan vokal. Organ ujaran manusia mula-mula dilatih dalam permainan untuk mengisi waktu senggang. Hingga lambat laun ungkapan-ungkapan itu bergerak maju menuju kejelasan, keteraturan, dan kemudahan.
  8. Teori Isyarat Oral Dikemukakan pertama kali oleh Sir Richard Paget dalam bukunya Human Speech. Ia menyatakan bahwa pada mulanya manusia menyatakan gagasannya dengan isyarat tangan, tetapi tanpa sadar isyarat tangan itu diikuti juga oleh gerakan lidah, bibir, dan rahang yang membuat juga gerakan-gerakan sesuai dengan isyarat tangan. Dalam perkembangannya, orang-orang primitif menciptakan isyarat lidah dan bibir yang menyugestikan maksud tertentu dan disertai isyarat oral dengan vokalisasi. Misalnya, bunyi [i-i] adalah bunyi sintetik yang menyugestikan kata manusia pertama untuk 'kecil', bunyi [a-a] atau [o-o] untuk kata 'besar'.
  9. Teori Kontrol Sosial, diajukan oleh Grace Andrus de Laguna dalam bukunya Speech: Its Function and Development. Menurutnya, ujaran adalah suatu medium besar yang memungkinkan manusia untuk bekerjasama. Bahasa merupakan upaya yang mengkoordinasikan dan menghubungkan macam-macam kegiatan manusia untuk mencapai tujuan bersama. Kompleksitas hidup yang semakin bertambah mendorong terciptanya kebutuhan akan kerja sama yang lebih kompak. Keamanan kelompok juga semakin bergantung pada solidaritas kelompok. Perubahan dalam kondisi sosial ini memerlukan pengembangan suatu alat kontrol sosial yang lebih efektif untuk menjalin kerja sama dan mengikat solidaritas, yaitu bahasa.
  10. Teori Kontak, teori ini dikemukakan oleh G. Révész.Teori kontak terbagi dalam tiga tahap. Pertama, kontak spasial yaitu karena kedekatan fisik. Kedua, kontak emosional karena kedekatan emosional yang menimbulkan rasa saling mengerti. Ketiga, kontak intelektual yang berfungsi untuk bertukar pikiran.
  11. Teori Hockett-Ascher, teori ini dikemukakan oleh Charles F. Hockett dan Robert Ascher. Kedua sarjana ini memaparkan tiga tahap dalam sejarah munculnya bahasa. Tahap pertama, sistem call yang dipakai manusia purba atau proto hominoid sekitar dua sampai satu juta tahun lalu. Sistem call tersebut memiliki enam makna yang berbeda, yakni menandakan adanya makanan, menyatakan adanya bahaya, menyatakan persahabatan, tidak memiliki arti, perhatian seksual, dan untuk menyatakan kebutuhan akan perlindungan keibuan. Tahap kedua, prabahasa, yakni sistem komunikasi atau sistem call yang telah diwariskan secara tradisi, bukan secara genetis. Tahap ketiga, bahasa yang diperkirakan baru terjadi sekitar 100.000-40.000 tahun yang lalu. Tahap ini kemudian kita kenal dengan bahasa yang telah diwariskan oleh nenek moyang.

Dasar perbandingan bahasa sunting

Perbandingan bahasa setidaknya dimulai ketika umat manusia mulai berusaha untuk menjelaskan teori-teori timbulnya bahasa umat manusia. Teori yang bisa diterima yang mampu menjelaskan pertumbuhan bahasa secara menyeluruh sebagai suatu sistem komunikasi adalah teori Hockett-Ascher yang dalam garis besarnya terdapat kesepakatan mengenai evolusi bahasa manusia dari teriakan (cry) atau panggilan (call) melalui tahap pra bahasa yang berbeda dari bahasa sesungguhnya karena kekurangan ciri kekembaran pola. Bahasa sesungguhnya diperkirakan baru timbul sekitar 100.000 – 40.000 tahun lalu.[5]

Untuk menjelaskan sejarah pertumbuhan itu maka dalam abad XIX telah dikembangkan bermacam-macam metode untuk menelusuri sejarah perkembangan bahasa itu. Namun metode-metode itu juga tidak bisa diharapkan untuk menjelaskan perkembangan sampai seratus ribu tahun yang lalu. Metode-metode tersebut kemudian disebut metode klasik.[5]

Aspek perbandingan sunting

Tiap bahasa memiliki aspek universal bahasa sebagai berikut.[5]

  1. Kesamaan dalam bentuk dan makna.
  2. Tiap bahasa memiliki perangkat unit fungsional yang terkecil yaitu fonem dan morfem.
  3. Tiap bahasa di dunia memiliki kelas-kelas kata tertentu, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, dan lain-lain.

Namun para peneliti kurang berminat atas ciri-ciri universal yang terdapat dalam semua bahasa. Mereka lebih tertarik dengan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada bahasa-bahasa tertentu, atau hanya tertarik pada distribusi ciri-ciri tertentu pada sejumlah bahasa. Dengan kata lain, linguistik historis hanya mempergunakan kesamaan bentuk dan makna sebagai pantulan dari sejarah warisan yang sama.

Kesamaan bentuk sunting

Untuk mengadakan perbandingan yang sistematis, diperlukan metode perbandingan yaitu suatu alat yang menyusun perangkat ciri-ciri yang berkorespondensi dari unsur-unsur yang diperbandingkan dalam macam-macam bahasa.[5]

Kemiripan bentuk-makna yang terdapat dalam bahasa-bahasa sebagai berikut.

  1. karena warisan langsung (inheritance) oleh dua bahasa atau lebih di suatu bahasa proto yang sama. Bentuk yang sama tersebut dinamakan bentuk kerabat (cognate).
  2. karena folklor kebetulan (by chance).
  3. karena pinjaman (borrowing), suatu kemiripan bentuk-makna yang terjadi karena suatu bahasa akseptor menyerap unsur tertentu dari sebuah bahasa donor akibat kontak dalam sejarah.

Penetapan kata kerabat sunting

Kemiripan bentuk makna karena warisan langsung menjadi dasar penetapan kata-kata kerabat. Asumsi mengenai kata-kata kerabat yang berasal dari sebuah bahasa proto didasarkan pada hal-hal berikut.[5]

  1. Ada sejumlah besar kosakata dari suatu kelompok bahasa tertentu secara relatif memperlihatkan kesamaan yang besar bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya. Kelompok bahasa Austronesia, yang distribusi geografisnya terbentang dari Madagaskar sampai ke Pulau Rapanui, dan dari Formosa sampai ke Selandia Baru, memperlihatkan kesamaan kata-kata yang sangat mencolok. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai suatu kebetulan atau karena pinjaman saja. Alasan logis yang bisa diterima adalah karena bahasa-bahasa itu berkembang dari suatu bahasa proto yang sama.
  2. Perubahan fonetis dalam sejarah bahasa-bahasa tertentu memperlihatkan pula sifat yang teratur. Keteraturan ini oleh Grimm disebut Hukum Bunyi. Misalnya, pada bahasa Sunda Kuno dan bahasa Sunda Modern, ada beberapa perubahan fonetis. Contohnya, teulu, teumu, teunyuh, eunjuk, dan deuuk dalam bahasa Sunda Kuno menjadi tilu, timu, tinyuh, injuk, dan diuk dalam bahasa Sunda Modern yang masing-masing berarti 'tiga', 'temu', 'seduh', 'ijuk', dan 'duduk'. Pada bahasa Jawa Kontemporer dan bahasa Jawa Kuno, dapat diketahui perubahan fonetisnya karena terdapat data mengenai tingkatan yang lebih tua berdasarkan naskah kuno yang ada. Misalnya: dalam Jawa Kuno, anwam, wwas, wwang, wwas. Dalam Jawa Kontemporer, anom, wos, wong, woh. Yang artinya, 'mudah', 'beras', 'orang', dan 'buah'.
  3. Bila semakin dalam kira menelusuri sejarah bahasa-bahasa kerabat, semakin banyak terdapat kesamaan antara pokok-pokok yang dibandingkan. Antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, terdapat lagi kesamaan-kesamaan tertentu. Misalnya, bukan hanya terdapat kesamaan pada bahasa Inggris dan Jerman, tetapi juga terdapat kesamaan antara bahasa Inggris Kuno dan bahasa Latin, misalnya, Inggris: mouse, Inggris Kuno: mūs, Latin: mūs. Korespondensi yang teratur antarbahasa dapat dijelaskan sebagai akibat perubahan bunyi yang teratur antara bahasa-bahasa kerabat. Perubahan yang terjadi pada bahasa-bahasa kerabat sejauh yang dapat dicatat dalam naskah-naskah tua, kemudian dirumuskan dalam kaidah-kaidah teoretis sehingga tidak hanya mencakup zaman sejarah bahasa, tetapi juga pra-histori bahasa. Dasar yang diterima secara umum ini akhirnya dapat dipakai untuk menentukan pula pra-histori dari bahasa-bahasa yang tidak memiliki naskah-naskah tua yang dapat menggambarkan keadaan masa lampau.

Bibliografi sunting

  1. ^ Pusposari, Dewi (2017). "Kajian Linguistik Historis Komparatif dalam Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia" (PDF). Jurnal Inovasi Pendidikan. Volume 1 (Nomor 1). [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ M.S., Kaelan (1998). Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma. 
  3. ^ a b c Sumarsono (2004). Buku Ajar: Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo. 
  4. ^ a b Herniti, Ening (2010-06-17). "BAHASA DAN KELAHIRANNYA". Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra. 9 (1): 107–132. doi:10.14421/ajbs.2010.09106. ISSN 2549-2047. 
  5. ^ a b c d e f Keraf, Gorys. (1991). Linguistik bandingan historis. Gramedia. OCLC 36126176.