Lenong

seni pertunjukan sandiwara masyarakat Betawi dari Indonesia

Lenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi yang berasal dari Jakarta, Indonesia.[1] Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrek, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyan, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.

Pementasan lenong

Sejarah sunting

Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.

Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa Alur cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.

Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.

Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh TVRI mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen.

Jenis lenong sunting

Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya berlatar kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.

Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes.

Meskipun kebanyakan dari lakon-lakon yang dibawakan bertemakan kehidupan sehari-hari Betawi, tidak menutup kemungkinan adanya lakon-lakon yang merupakan adaptasi dari lakon asing. Misalnya, salah satu sutradara lenong asal Condet, Narno, pernah mengadaptasi Macbeth karya William Shakespeare menjadi pertunjukan lenong denes.[2] Proses adaptasi tersebut benar-benar dilakukan dengan menyesuaikan kepada kultur Betawi hingga para penonton tidak menyadari bahwa lakon tersebut merupakan adaptasi dari karya asing.

Selain adaptasi, grup-grup lenong juga berusaha untuk membuat sebuah inovasi baru dengan membawakan cerita-cerita fiksi baru untuk menjaga eksistensinya. Misalnya, novel Alwi Shahab yang berjudul Si Gondrong pernah ditampilkan dalam sebuah pertunjukan lenong di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1970.[3] Penampilan tersebut mendapat antusiasme positif dari para penggemar lenong pada saat itu. Selain itu, grup lenong lainnya, seperti Komedi Betawi (Kombet), juga berkreasi dengan membawakan lakon-lakon kreasi mereka yang berkaitan dengan sejarah toponimi di Jakarta.[4] Hal tersebut tidak hanya sebatas untuk kebaruan, melainkan juga memiliki nilai edukatif terhadap masyarakat seputar memori kolektif kesejarahan Jakarta.

Catatan sunting

  1. ^ "Lenong". Ensiklopedi Jakarta: Budaya dan Warisan Sejarah (dalam bahasa Indonesia). Jakarta.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-13. Diakses tanggal 14 May 2012. 
  2. ^ Amri, Syaiful (2019). Rekacipta Lenong dalam Komedi Betawi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 29–30. ISBN 9786024338114. 
  3. ^ Amri, Syaiful (2019). Rekacipta Lenong dalam Komedi Betawi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 33–34. ISBN 9786024338114. 
  4. ^ Amri, Syaiful (2019). Rekacipta Lenong dalam Komedi Betawi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 36–37. ISBN 9786024338114. 

Referensi sunting