Koseki (戸籍) adalah kartu keluarga bagi warga negara Jepang. Hukum Jepang mengharuskan seluruh rumah tangga Jepang ("ie" dalam bahasa Jepang) untuk melaporkan segala hal yang berkaitan dengan kelahiran, adopsi, paternitas, pembatalan adopsi, kematian, pernikahan, dan perceraian yang terjadi di dalam keluarganya ke otoritas lokal yang berwenang melakukan pencatatan dan sensus sesuai dengan wilayah hukum yang berlaku. Pernikahan, adopsi, dan paternitas dianggap sah hanya jika telah tercatat di koseki. Sedangkan kelahiran dan kematian dianggap sah saat terjadi (tanpa harus ditulis di koseki) namun lebih baik pihak keluarga memberitahukannya kepada otoritas setempat.

Reproduction of a koseki certificate printout

Format sunting

Koseki memiliki satu halaman utama yang dikhususkan untuk orang tua dan kedua anaknya (sebagai bentuk program KB di Jepang). Jika memiliki lebih dari dua anak, akan ditempatkan di halaman tambahan. Segala bentuk perubahan informasi dan data harus diberitahukan dan disegel oleh pencatatan resmi.

Item-item berikut ini direkam dalam koseki (Law of Family Register, (戸籍法), article 13.):

  • nama keluarga dan nama pemberian
  • tanggal lahir
  • tanggal kejadian dan penyebab (kawin, mati, adopsi, dll.)
  • nama ayah dan ibu serta hubungannya dengan mereka (kandung/tiri/angkat)
  • jika diadopsi, mencamtumkan nama pengadopsi
  • jika menikah, mencantumkan status (suami/istri)
  • jika pindah koseki, melampirkan koseki asal
  • rumah terdaftar honseki chi

Sejarah sunting

Diperkenalkan pada abad ke-6, sensus penduduk di Jepang bernama kōgo no nenjaku (庚午年籍) atau the kōin no nenjaku (庚寅年籍). Sensus ini diperkenalkan oleh pemerintah dibawah naungan hukum ritsuryō.[1] Selama era Bakufu, terdapat 4 bentuk pencatatan, yaitu ninbetsuchō (人別帳) (pencatatan manusia), shūmon jinbetsu aratamechō (宗門人別改帳) (pencatatan inkuisisi keagamaan) disebut juga shūmon aratamechō, gonin gumichō (五人組帳) (pencatatan lima keluarga satu atap) dan kakochō (過去帳) (pencatatan kematian). Shūmon jinbetsu aratamechō dibuat tahun 1670, merupakan kombinasi dari pencatatan penduduk dan keagamaan yang setiap tahun ditinjau data-datanya. Pencatatan tersebbut bertahan selama 200 tahun.[2] Beberapa kategori orang buangan tidak terdaftar sama sekali baik di bawah sistem ini maupun di sistem lain, misalnya burakumin.[3] Koseki modern muncul pada tahun 1872 setelah Restorasi Meiji. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah bahwa semua orang Jepang diminta untuk memiliki nama keluarga dan juga nama pemberian. Meskipun semua kategori sosial sebelumnya dihapus dan hampir semua orang Jepang tercatat sebagai heimin (rakyat jelata), beberapa minoritas dicap sebagai "rakyat jelata baru" (shinheimin atau motoeta) dan diskriminasi tetep terjadi.[3] Masalah juga terjadi di wilayah terdepan negara, misalnya di Kepulauan Ogasawara.[3]

Selama masa Kekaisaran Jepang, sejumlah reformasi dilakukan setelah tahun 1910 untuk menghilangkan standar ganda dalam sistem koseki. Secara umum, penduduk jajahan Kekaisaran memegang koseki asing (gaichi koseki) (berdasarkan Hoju yang sudah ada sebelumnya) dan penduduk asli Jepang memegang koseki domestik (naichi koseki).[3]

Pada tahun 2003, UU GID diberlakukan. Hal tersebut memungkinkan orang-orang dengan "gangguan identitas gender" (GID) atau disforia gender untuk mengubah jenis kelamin mereka pada koseki mereka asalkan mereka memenuhi persyaratan tertentu. Orang yang didiagnosis dengan GID harus mencari diagnosis resmi dengan surat dukungan dari dua psikiater independen untuk mengubah jenis kelamin koseki mereka.[4]

Rujukan sunting

  1. ^ Chapman, D. (2008), Sealing Japanese identity, Critical Asian Studies, Vol. 40, No. 3, pp. 423 – 443.
  2. ^ Smith, Thomas (1977), Nakahara: Family Farming and Population in a Japanese Village, 1717–1830, Stanford University Press, hlm. 15–16 
  3. ^ a b c d David Chapman, Geographies of Self and Other: Mapping Japan through the Koseki, in The Asia-Pacific Journal Vol 9, Issue 29 No 2, July 18, 2011
  4. ^ Abe, Teruo "Gender identity disorder", Juntendo Medical Journal, Vol. 52, No. 1 (20060331) p. 55–61

Pranala luar sunting