Kelompok Monumen Khajuraho adalah sekelompok candi (kuil) Hindu dan Jainisme yang terletak di Khajuraho (Hindi: खजुराहो), sebuah kota di negara bagian Madhya Pradesh, distrik Chhatarpur, sekitar 620 kilometer (385 mil) sebelah tenggara New Delhi. Candi-candi ini adalah salah satu daya tarik wisata paling populer di India. Khanjuraho memiliki banyak bangunan kuil Hindu dan Jainisme periode pertengahan yang terkenal akan patung-patungnya yang erotis. Kelompok monumen Khajuraho masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO, dan dianggap sebagai salah satu dari "tujuh keajaiban" India.

Kelompok Monumen Khajuraho
Situs Warisan Dunia UNESCO
Candi khas Khajuraho dengan pasangan surgawi.
KriteriaBudaya: i, iii
Nomor identifikasi240
Pengukuhan1986 (10th)

Nama Khajuraho berasal dari nama purba "Kharjuravāhaka", dari kata dalam bahasa Sanskerta kharjura = kurma dan vāhaka = "orang yang membawa".

Sejarah sunting

Pada abad ke-27 Kali yuga, bangsa penyerbu Mleccha mulai menyerang kawasan India utara. Beberapa Rajput Bargujar mengungsi ke arah timur menuju India tengah; mereka berkuasa di kawasan Timur laut Rajasthan, yang disebut Dhundhar, dan disebut Dhundhel atau Dhundhela pada zaman purba, berdasarkan kawasan pemerintahannya. Kemudian mereka disebut Bundela dan Chandela; penguasanya adalah kaun Bargujar; yang menjadi vassal Gurjara - Kemaharajaan Pratihara di India utara, yang berlangsung pada kurun 500 sampai 1300 yang pada masa keemasanya banyak monumen dibangun. Kaum Bargujar juga membangun benteng Kalinjar dan kuil Neelkanth Mahadev, mereka adalah pemuja Shiwa.

Kota Khanjuraho adalah pusat kebudayaan Rajput Chandela, sebuah dinasti Hindu yang menguasai kawasan ini pada abad ke-10 hingga ke-12. Ibu kota pemerintahan kaum Chandela adalah Kalinjar. Kuil-kuil di Khajuraho dibangun dalam rentang waktu 200 tahun, dari tahun 950 hingga 1150. Kemudian ibu kota Chandela dipindahkan ke Mahoba, dan Khajuraho terus berkembang untuk beberapa waktu. Khajuraho tidak memiliki benteng karena raja-raja Chandel tidak pernah menghuni kota budaya ini.

Seluruh kawasan kota dikelilingi tembok dengan delapan gerbang, masing-masing diapit pohon palma emas. Aslinya terdapat lebih dari 80 kuil Hindu di kota ini, kini tersisa sekitar 25 kuil yang masih berdiri dalam kondisi baik yang tersebar di kawasan seluas 20 kilometer persegi (8 sq mi).

Kini, kuil ini menjadi contoh seni arsitektur India paling terkemuka dan semakin terkenal karena beberapa patung dan reliefnya menampilkan kehidupan seks masyarakat India kuno. Masyarakat yang tinggal di sekitar kuil ini senantiasa menjaga kelestarian kuil-kuil ini. Pada abad ke-19 penjelajah Inggris menemukan kuil ini, akan tetapi kebanyakan kuil saat itu telah ditelan hutan rimba.

Arca dan relief ukiran sunting

Pada bagian dalam ruangan di dekat arca dewa tidak ditemukan relief dan patung seni erotis ; akan tetapi beberapa relief dan patung di bagian luar bangunan menampilkan adegan seni erotis. Ada banyak penafsiran atas ditampilkannya adegan erotis ini dalam ukiran kuil Hindu ini. Salah satu penafsiran adalah bagi dalam pandangan para dewa, seseorang harus menanggalkan hasrat seksualnya di luar kuil. Juga menunjukkan bahwa makhluk surgawi adalah atman atau jiwa yang murni, yang tidak terpengaruh oleh hasrat seksual, pesona fisik dan kemolekan tubuh. Ada juga yang mengaitkannya dengan praktik seksual Tantra. Kurva ukiran di luar kuil melambangkan tubuh manusia dan perubahan yang dialami tubuh manusia, serta kenyataan kehidupan. Sekitar 10% ukiran ini menampilkan tema seksual yaitu adegan seks sepasang manusia. Sisanya menampilkan adegan kehidupan sehari-hari masyarakat India kuno. Sebagai contoh, adegan menampilkan seorang perempuan tengah mengenakan kosmetik riasan wajah, pemain musik, pembuat tembikar, peternak, dan beberapa profesi lainnya. Semua adegan kehidupan duniawi itu juga terletak berjauhan dengan patung dewa dan dewi. Kekeliruan penafsiran yang umum adalah; karena bangunan tertua di Khajuraho adalah kuil, maka ditafsirkan adegan seks itu dilakukan oleh dewa dan dewi, padahal itu menggambarkan kegiatan manusia biasa.[1]

Sudut pandang lain diberikan oleh James McConnachie. Dalam tulisannya mengenai sejarah Kamasutra, McConnachie menggambarkan bahwa 10% patung-patung "panas" Khajuraho adalah "puncak seni erotik": "Bidadari dengan payudara yang penuh dan pinggul besar dan tubuh meliuk dihiasi perhiasan ini mempercantik panel dinding bagian luar. Apsara bertubuh sintal dan indah ini merajalela di seluruh permukaan batu, mengenakan kosmetik, mencuci rambut, bermain, menari, dan terus menerus melepas dan mengenakan pakaian mereka... Selain bidadari surgawi ini terdapat pula griffin dan makhluk-makhluk surgawi, dewata penjaga, dan yang paling terkenal, para maithuna dengan tubuh yang saling terkunci, para pasangan yang tengah bercinta."

Karena menampilkan ukiran adegan hubungan seksual maka situs ini dijuluki kuil Kamasutra, meskipun demikian tidak disebutkan jenis-jenis posisi tersebut, juga tidak menggambarkan secara pasti filosofi Kamasutra karya Vatsyayana yang terkenal itu. Dengan bentuk "perpaduan aneh antara aliran Tantra dan motif kesuburan, dengan dosis besar ilmu sihir" maka dinilai bahwa dokumen yang lebih mementingkan kesenangan daripada menghasilkan keturunan adalah hal yang remeh.

Patung-patung ini dengan sengaja ditempatkan berdasarkan diagram sihir simbolis yang disebut "yantra" yang dirancang untuk menyenangkan roh jahat. Alamkara (ornamentasi) ini mengungkapkan ekspresi seni canggih yang melampaui hal alami; gambar seksual menampilkan kekuatan dan keperkasaan, yang merujuk kepada penguasa yang perkasa.[2]

Referensi sunting

  1. ^ "Khajuraho", liveindia.com
  2. ^ McConnachie, James (2005). The Book of Love, the Story of the Kamasutra. Metropolitan Press. hlm. 46–47. 

Bacaan lanjutan sunting

  • Phani Kant Mishra, Khajuraho: With Latest Discoveries, Sundeep Prakashan (2001) ISBN 81-7574-101-5
  • Devangana Desai, The Religious Imagery of Khajuraho, Franco-Indian Research P. Ltd. (1996) ISBN 81-900184-1-8
  • Devangana Desai, Khajuraho, Oxford University Press Paperback (Sixth impression 2005) ISBN 978-0-19-565643-5

Pranala luar sunting