Khairun Jamil dari Ternate

Sultan Khairun Jamil atau Sultan Hairun adalah Sultan Ternate ke-23, bertakhta selama 1534-1570. Ia merupakan ayah dari Sultan Baabullah yang pada akhirnya menjadi raja pula setelah sultan khaerun meninggal. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin arif, tegas, pemberani dan muslim yang taat serta toleran. Tumbuh dalam masa penuh gejolak dan menyaksikan tindak-tanduk keji Portugis terhadap rakyat dan saudara-saudaranya membuatnya sangat membenci bangsa Eropa yang satu ini.

Khairun
Sultan Ternate ke-23
Sultan Ternate
Berkuasa1534–1570
PendahuluTabariji
PenerusBaabullah
Informasi pribadi
Kelahiran?
Kesultanan Ternate
Kematian28 Februari 1570
/ Kesultanan Ternate / Masa Kekuasaan Portugis di Ternate
Nama takhta
Sultan Khairun Jamil
AyahTabariji
AgamaIslam

Pada masa awal pemerintahannya pengaruh Portugis telah kuat merasuk dalam sendi-sendi kesultanan, dikarenakan Portugis telah diberi kedudukan dan hak istimewa sebagai mitra dan penasihat kesultanan. Lambat laun kekuasaan dan pengaruh mereka semakin besar hingga tak jarang mereka turut campur dalam urusan kesultanan. Ternate pun tak ubahnya boneka Portugis. Sultan manapun yang dianggap menentang kehendak Portugis, difitnah kemudian dibunuh atau diasingkan ke negeri yang jauh.

Sultan Khaerun naik tahta menggantikan saudara tirinya Sultan Tabariji (periode 1533-1534) yang diasingkan Portugis ke Goa-India. Sebelumnya Portugis juga turut andil dalam perebutan kekuasaan di Ternate yang mengakibatkan kematian Sultan Dayalu/Hidayatullah (periode 1522-1529) dan Sultan Abu Hayat II (periode 1529-1532) dua saudara tiri Khairun yang lain.

Sultan Khaerun menaiki tahta dalam usia belia sehingga oleh Portugis dipandang remeh sebagai "bocah" yang mudah dikendalikan namun kemudian ternyata anggapan itu salah besar. Sementara itu di Goa-India selama dalam tahanan mantan Sultan Tabariji ditekan oleh Portugis untuk menyerahkan sejumlah daerahnya termasuk Ambon, Buru dan Seram kepada Portugis dengan imbalan hak-hak dan kedudukannya akan dikembalikan. Tabariji akhirnya menyetujui dan hendak dipulangkan dan dipulihkan sebagai Sultan Ternate. Kejadian ini kontan membuat berang rakyat Ternate dan Sultan Khairun dengan tegas menolak perjanjian berat sebelah itu. Beruntung bagi Sultan Khairun karena Tabariji meninggal dalam perjalanan pulang ke Ternate sehingga perjanjiannya dengan Portugis dengan begitu menjadi absurd dan Ternate terhindar dari ancaman perang saudara.

Walaupun membenci Portugis dan menyadari kekurang ajaran mereka, Sultan Khairun tidak semerta-merta memutuskan hubungan dengan Portugis karena menyadari kedudukan Portugis di Maluku ketika itu sangat kokoh dan lagi pengaruh Portugis dalam istana sudah sedemikian kuat sehingga perlu baginya untuk tetap mengadakan hubungan dengan mereka sembari memperkuat dirinya sendiri. Untuk itu Sultan pun giat mencari dukungan dari luar. Melalui Aceh sebagai perantara Sultan pun kemudian menjalin hubungan dengan kekaisaran Turki Usmani musuh Portugis di Eropa darimana ia memperoleh persenjataan, meriam-meriam dan cendekiawan yang didatangkan ke Ternate.

Tahun 1546 datang seorang misionaris terkenal, Santo Fransiskus Xaverius ke Ternate. Sultan kemudian memberi izin untuk kegiatan misionaris di Maluku dengan syarat kegiatan misionaris hanya ditujukan bagi rakyat Ternate yang masih menganut animisme, apapun tindakan untuk memengaruhi orang islam beralih agama dilarang. Namun belakangan peraturan itu dilanggar. Portugis menggunakan kegiatan misionaris sebagai tameng dalam upayanya merongrong Ternate, sejumlah kerajaan kecil yang telah dikristenkan dihasut untuk menentang Ternate, rakyat kerajaan-kerajaan kecil itu yang muslim dipaksa beralih agama. Tindak-tanduk Portugis ini menimbulkan kemarahan Sultan Khairun yang akhirnya secara terang-terangan mengumumkan perang terhadap Portugis. satu persatu kerajaan-kerajaan kecil yang memberontak ditundukan disamping itu Sultan Khairun juga mengirimkan sejumlah armada lautnya untuk membantu Demak dan Aceh menggempur Portugis di Malaka. Benteng tempat kedudukan Gubernur Portugis di Ternate dikepung, sedang kedudukan Portugis di daerah lain diserang. Sultan Khairun sengaja menahan diri untuk tidak memberangus pusat Portugis Maluku di Ternate dengan harapan mereka akan menyadari kekeliruannya dan memohon damai.

Tahun 1558 sementara Benteng Portugis di Ternate dikepung, Sultan Khairun menunjuk puteranya pangeran Laulata sebagai Salahakan (Gubernur) Ambon dan bertugas memukul kedudukan Portugis di Maluku selatan serta menaklukan banyak daerah baru untuk Ternate. Raja Muda Portugis di Goa kemudian mengirim armada besar ke Ambon dibawah pimpinan Henrique De Sa untuk memukul mundur pasukan Ternate, dan untuk beberapa lama upaya mereka berhasil sebelum Sultan Khairun kembali mengirim ekspedisi ke Ambon dan dengan bantuan orang-orang Jawa dan muslim Hitu kekuatan Portugis di Maluku selatan berhasil diberangus tahun 1567.

Perdamaian dengan Gubernur Portugis di Maluku sunting

Kesultanan Ternate dan pasukan Portugis mengadakan perjanjian damai pada tanggal 27 Februari 1570. Perjanjian ini diadakan setelah terjadi peperangan yang dimenangkan secara bergantian oleh kedua pihak. Pihak Protugis ini diwakili oleh Lopez de Mesquita sebagai Gubernur Portugis di Maluku. Sementara pihak Kesultanan Ternate diwakili oleh Sultan Khairun. Lopez de Mesquita akan menyatakan sumpah perdamaiannya dengan melakukan misa. Sedangkan Sultan Khairun akan bersumpah menggunakan Al-Qur'an.[1] Perjanjian ini membahas tentang penghapusan hak-hak istimewa Portugis menyangkut monopoli perdagangan rempah-rempah, tetapi tetap diperbolehkan untuk berdagang dan bersaing dengan pedagang nusantara serta pedagang asing lainnya secara bebas.[butuh rujukan]

Sultan Khairun dikenal sangat toleran. Rakyat Ternate yang telah memeluk Kristen dibiarkan menjalankan ibadahnya secara bebas, pusat-pusat kegiatan misionaris serta pembangunan gereja-gereja kembali diperbolehkan dibuka di Maluku. Namun suasana damai ini diam-diam dimanfaatkan Portugis untuk menyusun kembali kekuatan. Pada tahun 1569 Portugis membangun kembali benteng mereka di Ambon dan menyusun kekuatan menunggu waktu untuk bangkit kembali. Tokoh sentral dalam perlawanan terhadap Portugis di Maluku adalah Sultan Khairun dan ini disadari betul oleh mereka, untuk menguasai Maluku tokoh ini harus dilenyapkan. Maka dengan tipu muslihat Gubernur Lopez de Mesquita mengundang sang Sultan untuk berkunjung ke Bentengnya. Tanggal 25 Februari 1570 Sultan Khairun memenuhi undangan itu, percaya akan niat baik Portugis sang Sultan datang dengan hanya ditemani segelintir pengawal, tak disangka dia dibokong dan dibunuh beserta pengawalnya atas perintah sang Gubernur. Gubernur De Mesquita berharap dengan matinya Sultan Khairun, rakyat Maluku akan patah semangat dan tercerai berai namun tak menyangka sama sekali perbuatannya ini justru akan membawa kehancuran bagi Portugis di Maluku.[butuh rujukan]

Kematian Sultan Khairun membuat kebencian rakyat Maluku terhadap Portugis semakin menjadi-jadi. Putera Sultan Khairun Kaicil (pangeran) Baab dinobatkan sebagai Sultan Ternate berikutnya. Sultan Baabullah (periode 1570-1583) ternyata lebih hebat lagi dari ayahnya. Dia memimpin segenap rakyat Maluku menentang Portugis dalam peperangan selama 5 tahun berikutnya dan berhasil mengusir Portugis dari bumi Maluku untuk selamanya tahun 1575.[butuh rujukan]

Didahului oleh:
Tabariji
Sultan Ternate
1534-1570
Diteruskan oleh:
Baabullah

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Pattikayhatu, J. H., dkk. (1983). Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku (PDF). Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. hlm. 17. 

Daftar pustaka sunting

  • M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I", Universitas Khairun Ternate 2002.
  • Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.