Kesusastraan Indonesia Periode 1950-1965

Kemunculan corak kesusastraan pada periode 1950-1965 tidak lepas keberadaannya dari polemik kebudayaan yang terjadi di Indonesia.[1] Di tengah-tengah perang ideologi yang terjadi, muncullah lembaga kebudayaan yang mewakili setiap institusi ideologi.[1] LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) mewakili PNI dengan ide kenasionalannya.[1] Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) mewakili partai Islam dengan ide keislaman.[1] Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mewakili PKI dengan ide komunisme.[1] Selain muncul berbagai lembaga kebudayaan sebagai corong partai, media massa juga muncul sebagai sarana sosialisasi ideologi partai-partai tertentu misalnya Harian Rakyat.[2]

Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan pada periode 1950-1965

Riwayat sunting

Dari pertentangan antar lembaga kebudayaan, Lekra muncul menjadi organisasi kebudayaan yang paling dominan pada tahun 1960-an.[3] Lekra bergerak dengan semboyan “seni untuk rakyat” dan “politik untuk panglima”.[3] Lekra mewadahi para seniman-seniman yang kemudian disangkutkan bahwa Lekra ada di bawah naungan PKI.[4] Maka dari itu pergerakan Lekra tidak lepas dari tumpangan ideologi komunis yang dimotori oleh PKI.[5]

Melalui Lekra maraklah sastra yang bercorak realisme sosialis dari sejumlah pengarang seperti Rivai Apin, Hr Bandaharo, Pramoedya Ananta Toer, A. S. Dharta, Bakri Siregar, Utuy Tatang Sontani, S, Anantaguna, Zubir A. A., Kusni Sulang, Bachtiar Siagian, Agam Wispi, dan Sobron Aidit.[6] Keberhasilan Lekra adalah menjaring seniman budayawan untuk berpihak kepadanya. Padahal tanpa disadari Lekra menjadikan para seniman budayawan itu sebagai alat untuk tujuan-tujuan politik PKI.[6] Lekra selalu menekankan tanggung jawab politik dan moral seniman terhadap rakyat yang menderita, tetapi hampir tidak pernah memasuki masalahnya yang penting, yaitu bagaimana tanggung jawab politik dan moral ini bisa dan harus dijabarkan ke dalam kreasi artistik, atau dalam perkataan lain bagaimana ideologi itu harus dituangkan dalam seni.[7]

Selain penulis-penulis Lekra yang berkembang terdapat juga penulis-penulis di luar Lekra yang berkembang pada periode 1950-an sampai 1960-an.[8] Walaupun tanpa fasilitas yang memadai dan ditengah situasi yang tidak kondusif tidak menyurutkan semangat para penulis di luar Lekra untuk tetap menulis.[8] Berikut nama-nama penulis yang non-Lekra yaitu Asrul Sani, A. A. Navis, Ajip Rosidi, Bur Rasuanto, Djamil Suherman, Gerson Poyk, Iwan Simatupang, Kirjomulyo, M. Saribi, Motinggo Busye, Nh. Dini, Nasjah Djamin, Ramadhan K. H., Trisnoyuwono, Trisno Sumardjo, Taufiq Ismail, W.S. Rendra.[8]

Corak Kesusastraan sunting

Ciri-ciri estetik pada periode ini dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu puisi dan prosa. Berikut adalah penjelasan dari ciri-ciri estetik dari angkatan 50;[9]

Ciri estetik puisi:

  1. Gaya epik berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana dari puisi lirik[9]
  2. Gaya mantra mulai tampak dalam balada-balada[9]
  3. Gaya ulangan mulai berkembang[9]
  4. Gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan gaya angkatan 45[9]
  5. Gaya slogan dan retorik makin berkembang[9]
  6. Ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan[9]
  7. Mengungkapkan masalah-masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar dan belum adanya pemerataan hidup[9]
  8. Banyak mengemukakan cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok sajak balada[9]

Ciri estetik prosa:

  1. Gaya bercerita hanya menyajikan cerita saja[9]
  2. Cerita perang mulai berkurang[9]
  3. Menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari[9]
  4. Kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap[9]
  5. Banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik[9]

Rujukan sunting

  1. ^ a b c d e Rachmat Djoko Pradopo (1995). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 29. 
  2. ^ Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan (2008). Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta: Merekasumba. hlm. 78. 
  3. ^ a b Yudiono K.S. (2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. hlm. 128. 
  4. ^ Arif Zulkifi, dkk (2014). Seri Buku Tempo: Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. xiv. 
  5. ^ Arif Zulkifi, dkk (2014). Seri Buku Tempo: Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 56. 
  6. ^ a b Yudiono K.S. (2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. hlm. 133. 
  7. ^ A. Teeuw (1989). Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. hlm. 33. 
  8. ^ a b c Yudiono K.S. (2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. hlm. 135. 
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n Rachmat Djoko Pradopo (1995). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 30-31.