Kakawin Arjunawijaya

manuskirip lontar kakawin

Kakawin Arjunawijaya adalah salah satu naskah klasik berbahasa Jawa Kuno yang digubah oleh Mpu Tantular[1] di mana isinya menguraikan peperangan antara Prabhu Arjuna Sahasrabhahu melawan pendeta Parasu Rama, berdasarkan Uttara Kanda, bagian terakhir Ramayana (Sanskerta). Cerita ini sangat populer terbukti dari adanya pelbagai naskah dalam bahasa Bali dan Jawa Kuno. Versinya dalam bahasa Jawa Baru dalam bentuk tembang, diusahakan oleh Raden Ngabehi Sindusastra dari Surakarta, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1930. Kakawin Arjunawijaya dikenal dengan Lampahan Arjuna Sasrabahu, banyak dipertunjukkan dalam pergelaran wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang. Naskah ini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dibahas dan diterbitkan sebagai bahan thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia oleh Dr. Supomo pada tahun 1971.

Kakawin Arjunawijaya
Daerah asalBugbug
Bahasa(-bahasa)Jawa Kuno
Penulis(-penulis)Empu Tantular
Ukuran50 cm x 3,5 cm
FormatKakawin
AksaraAksara Bali
Halaman61
Masuk Koleksi padaPerpustakaan Kantor Dokumentasi Budaya Bali dan Perpustakaan Kongres Amerika Serikat

Sinopsis sunting

Diceritakan tentang Raja Raksasa Mali Malyawan dikalahkan oleh Dewa Wisnu sehingga di melarikan diri dari kerajaannya yang bernama Lengka. Untuk mengisi kekosongan kerajaan maka Waiúrawana, putra Wiúrawa menempati kerajaan itu. Raksasa Sumali yang merupakan keluarga Mali Malyawan sangat tertarik dengan kepandaian dan kesaktian Waiúrawana dan ingin memiliki keturunan yang serupa agar dapat membalas dendam kepada Dewa Wiûóu. Kekasi berhasil memenuhi harapan ayahnya sehingga dari perkawinannya dengan Wiúrawa lahirlah empat orang anak yaitu: Daúamukha (yang berkepala sepuluh), Kumbhakaróa, Wibhìûana dan Úùrpaóakhà. Ketiga anak laki laki Wiúrawa itu melakukan tapa brata yang keras di Gunung Gokaróa.

Daúamukha bertapa dengan memenggal kepalanya satu persatu dan melemparkan ke api korban, sehingga ia mendapat anugerah kesaktian dari Dewa Brahma yaitu ia tidak tertewaskan oleh seorang Dewa maupun Raksasa. Setelah itu ia dipulihkan kembali seperti semula. Setelah mendapat anugerah dari Dewa Brahma, dengan kesaktian yang dimiikinya Daúamukha selalu berbuat jahat dan meresahkan di dunia. Waiúrawana, yang merupakan kakak tirinya merasa prihatin dan menasehati adiknya. Ia mengutus Gomuka untuk membawa surat yang isinya berupa nasihat agar berhenti berbuat kejahatan di dunia. Daúamukha sangat marah atas nasihat itu dan melampiaskan kemarahannya dengan memenggal kepala Gomuka. Lalu ia dikutuk oleh Gomuka, bahwa istananya kelak akan dibakar oleh seorang utusan.

Daúamukha kemudian menyerang Kerajaan Lengka di mana Waiúrawana (Daneúwara) menjadi raja. Perang yang hebat terjadi. Dengan kesaktinnya Daúamukha mengenakan wujud yang tak kelihatan sehingga ia dapat menyerang dan memukul Waiúrawana bertubi-tubi. Waiúrawana tidak dapat melakukan perlawanan . Ia disiksa oleh Daúamukha sampai berlumuran darah. Para Dewa yang melihat tidak berani menolong. Pada saat itulah patih Daúamukha yang bernama Prahasta merasa iba melihat keadaan Waiúrawana, sehingga ia memohon agar jangan membunuh kakak tirinya demi rasa hormatnya terhadap ayahnya Wiúrawa. Kesempatan itu digunakan oleh pengikut Waiúrawana untuk mengamankan dia. Kerajaan Lengka akhirnya dirampas oleh Daúamukha. Daúamukha tidak berhenti sampai di sana ia terus menyebarkan kehancuran di mana-mana.

Akhirnya sampailah dia di gunung kailasa, tempat Dewa Siwa dan Dewi Uma bercengrama. Nandi, penjaga gunung itu mengingatkan Daúamukha bahwa para dewapun tidak berani datang ke sana serta mengganggu Dewa Siwa. Daúamukha tidak menghiraukan peringatan itu, malahan ia menghina wajah Nandi úwara, yang mirip dengan seekor kera. Nandi marah sehingga ia mengutuk Daúamukha bahwa kelak para kera akan menghancurkan keratonnya dan membunuh sanak saudaranya. Dalam kemarahannya Daúamukha mengangkat dan mengguncangkan gunung kian kemari. Dewa Siwa lau menekan puncaknya sehingga Daúamukha terjepit. Daúamukha berteriak keras kesakitan sehingga teriakannya mengguncangkan seluruh dunia. Oleh karena itulah ia disebut Rahwana (Ràwaóa) yang berarti teriakan.

Daúamukha (Rahwana) melanjutkan perjalanannya, ia kemudian bertemu dengan seorang pertapa wanita yang cantik bernama Dewì Wedawatì. Dewì Wedawatì sudah bertekad tidak akan menikah jika tidak dengan awatara Wisnu. Rahwana merayu pertapa ini dan menyombongkan diri bahwa ia lebih unggul dari Dewa Wisnu. Ketika Ràwaóa terus merayu agar mau menjadi permaisurinya, Dewì Wedawatì marah lalu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Setelah menyembah dihadapan api pemujaan ia menceburkan dirinya ke dalam api tersebut. Dewì Wedawatì mengutuk Ràwaóa bahwa kelak dalam penjelmaan berikutnya ia akan menjadi penyebab kematian Ràwaóa ditangan Dewa Wisnu.di medan perang Perjalanan Ràwaóa untuk mengusai dunia terus berlanjut. Dia mendatangi Raja Màruta. Raja Màruta yang sedang melaksanakan yajña tidak melakukan perlawanan sehingga ia dianggap tunduk oleh Rahwana . Kemudian Rahwana menyerang kerajaan Ayodhya. Raja Ayodhya yaitu Banaputra mengadakan perlawanann dengan sengit, namun akhirnya ia wafat oleh Rahwana. Sebelum wafat ia mengutuk Ràwaóa bahwa kelak keturunan raja Ayodhya yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu akan membunuh Rahwana.

Diceritakan sekarang seorang raja bernama Arjuna Úahasrabàhu, raja dari kerajaan Mahispati sedang bercengkrama dengan permaisurinya Dewì Citrawatì di Sungai Narmada. Sang raja bermaksud menyenangkan permaisurinya, ia mengubah wujudnya menjadi bertangan seribu, kemudin ia meneentangkan badannya disungai tersebut sehingga sungai menjadi dangkal. Ketika itu di hulu sungai, Rahwana sedang mengadakan pemujaan di hadapan sebuah Lingga. Tiba-tiba air naik dan menggenangi tempatnya memuja. Setelah diselidiki ia akhirnya tahu penyebabnya yaitu Raja Arjuna Úahasrabàhu. Rahwana marah dan memerangi kerajaan Mahispati. Dengan kecerdikannya Arjuna Sahasrabàhu berhasil membuat Ràwaóa pinsan dan mengikat tubuh Ràwaóa dengan rantai baja dan dimasukkan ke krangkeng besi. Ketika Arjuna Úahasrabahu kembali dari medan perang ia menemukan permaisurinya telah wafat. Hal ini terjadi karena ada seorang utusan yang mengatakan bahwa suaminya telah wafat di medan perang.

Dewì Citrawatì mengakhiri hidupnya untuk menunjukkan kesetiaan pada suami (patibrata). Mendapati permaisurinya sudah wafat Arjuna Úahasrabàhu merasa sedih dan bermaksud bunuh diri. Tiba- tiba muncul perwujudan dewi sungai Narmada, membawa air mujarab sehingga sang permaisuri dapat dihidupkan kembali. Datanglah Rûi Pulastya kakek Rahwana, memohon agar Arjuna Úahasrabàhu membebaskan dan mengampuni cucunya Rahwana. Permohonan sang rûi dikabulkn imbalannya semua prajurit yang telah tewas di medan perang dihidupkan kembali.

Konvensi bahasa sunting

Sebuah karya sastra memiliki bentuk yang berbeda-beda, ada yang berbentuk puisi dan ada pula yang berbentuk prosa. Bentuk formal sebuah karya sastra puisi tentu berbeda dengan bentuk formal sebuah karya sastra prosa. persyaratan atau bentuk formal dari sebuah karya sastra yang meliputi bagianbagian pelengkap dan kebiasaan-kebiasaan yang harus diikuti dalam penulisan disebut konvensi.[2]

Jenis bahasa sunting

Bahasa yang digunakan dalam kakawin Arjunawijaya adalah bahasa Jawa Kuno. Untuk membuktikan penggunaan bahasa Jawa Kuno akan dikutip beberapa bait dari kakawin Arjunwijaya XX. 1 sebagai berikut.

“ Tanghëh yan ucapën sapolah ikanang Daúamuka kalàwan balàsura, Sukhàmbëkati ghora nora juga tan alaha sahananing puràntara, Sangàrjuna Úahasrabahu caritan prabhu paramawiúesa digjaya, Sireka siniwìng Mahispati kadhatwanira kadi Mahëúwara laya ".'

Terjemahan:

"Panjang jika diceritakan tingkah Rahwana dan bala tentara raksasanya, senang berbuat jahat juga tidak ada kerajan lain yang mengalahkan, diceritakan seorang raja yang sangat termasyur bernama Arjuna Úahasrabàhu, dia memerintah Mahispati kerajaannyaa bagaikan Istana Dewa Siwa".

Berdasarkan Kamus Jawa Kuno Indonesia yang ditulis oleh P.J. Zoetmulder bekerjasama dengan S.O. Robson arti kata-kata dalam bait kakawin di atas adalah sebagai berikut:

  • Tanghëh yang artinya belum tampak, tiada akhir, lama atau jauh tak ada habishabisnya.[3]
  • Yan yang artinya kalau, jika, karena.[4]
  • Ucap yang artinya percakapan, bicara, kata-kata.[5]
  • Polahyang artinya gerakan, tindakan,tingkah laku,kelakuan, kegiatan.[6]
  • Ika yang artinya itu.[7]
  • Lawan yang artinya dengan, bersama dengan, berbanding dengan, dan, dan juga, lebih-lebih, terutama.[8]
  • Bala (S) yang artinya kekuasaan, kekuatan, pasukan, tentara, angkatan perang.[9]
  • Asura (S) yang artinya golongan makhluk seperti raksasa, buta.[10]
  • Sukha (S) yang artinya menyenangkn, cocok lezat, gembira, makmur, menyenangkan, lega, ketentraman, kesenangan, kegembiraan, kebahagiaan, keriangan, kesukaan.[11]
  • Ambëk (S) yang artinya pikiran, watak, sikap, suasana j iwa, keinginan, maksud.[12]
  • Ati (S) yang artinya berkelebihan, sangat.[13]
  • Ghora (S) yang artinya hebat, dasyat, menakutkan, mengerikan.[14]
  • Nora yang artinya tidak ada.[15]
  • Juga yang artinya saja, baru saja, hanya.[16]
  • Tan yang artinya tidak.[17]
  • Alaha yang artinya kalah, dikalahkan, menyerah, mati, mengalah.[18]
  • Sahananing yang artinya segala, segala-galanya, semua, semuanya, seluruh, seluruhnya.[19]
  • Puràntara (S) yang artinya kota, kerajaan lain.[20]
  • Prabhu (S) yang artinya raja.[21]
  • Parama (S) yang artinya yang utama, paling utama, paling baik.[22]
  • Wiúesa (S) yang artinya penting, unggul, terkemuka, terbaik, terpenting, tertinggi, menjadi penguasa tertinggi.[23]
  • Digjaya yang artinya penakluk dunia, pemenang, berhasil sekali.[24]
  • Sira yang artinya kata ganti orang ke 3 dalam kakawin.[25]
  • Ika yang artinya itu.[7]
  • siniwi yang artinya memerintah (dikatakan tentang raja).[26]
  • Ing yang artinya di.[27]
  • Kadhatwan yang artinya keraton, istana.[28]
  • Nira yang artinya nya, mu.[29]
  • Kadi yang artinya seperti, sebagai, seolah-olah.[30]
  • Mahëúwara yang artinya raja besar, dewa’ nama Úiwa.[31]
  • Laya yang artinya rumah, tempat tinggal, kediaman, tempat beristirahat.[32]

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kakawin Arjunawijaya merupakan kata-kata bahasa Jawa Kuno yang sebagian kata serapan dari bahasa Sanskerta yang ditandai dengan huruf S di belakang kata tersebut.

Gaya bahasa sunting

Gaya bahasa yang terdapat dalam Kakawin Arjunawijaya adalah sebagai berikut:

  • Gaya bahasa Perumpamaan atau simile

Penggunaan gaya bahasa Perumpamaan dalam kakawin ini dapat dilihat dalam pupuh Kakawin Arjunawijaya XII. 6 berikut ini.

“ Tuñjung bhiru tan sahikeng mata luru, Madhu brathà kweh kamage wëtsta màr, polah nikang sarwa sarì kànginan, bangun wiwal teki mënen kinolakën ”.

.

Terjemahan:

" Bunga tunjung biru tak pernah lepas dengan pandangan yang lembut, semua kumbang merasa malu dengan keindahan betisnya yang mengharukan, goyangan bunga –bunga yang diterpa angin, bagaikan penolakan dinda kini saat dipeluk "

.

  • Gaya bahasa personifikasi

Gaya bahasa ini terdapat dalam kutipan Arjunawijaya XXXIII.5 berikut.

“ Nda sàkûaóa haneka nuûa ya katon kaparëki kahanan nareúwara, bangun mëtu sakeng samudra langönya kadi wahu datëng sakeng tawang, bukurnya ri samipaning bhujangga puûpa padha winilëting wëlass arëp, limutnyakuseng pucang gadhing awaróa saputi susuning sëdhëng rara ”.

Terjemahannya:

" Bersamaan dengan itu terlihat sebuah pulau dekat dengan sang raja, keindahannya bagaikan datang dari laut seperti baru turun dari angkasa, kuilnya di samping bunga nagasari yang terlilit daun-daunan berbelas kasihan, kabutnya menutup pohon pinang gading bagaikan selendang menutupi payudara seorang gadis ".

  • Gaya bahasa hiperbola

Gaya bahasa ini terdapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya X.16 berikut.

“ Humwang kabeha halilingën sahaneng tri loka, dewàdi kàplëngënawùtëka ring Úiwàóða, wetning prakopa gumuruh kadi sindhugora, sàkûat gëlap úàtasahasra parëng tumampuh ”.

Terjemahan:

" Berdengung semua tuli seisi tiga dunia paradewa dan yang lainnya kaget menjerit sampai di istana dewa Siwa Oleh kemarahan bergemuruh bagaikan gemuruh suara laut. Seperti petir seratus ribu bersamaan mengglegar "

.

Demikianlah penggunaan gaya bahasa hiperbola dalam kakawin Arjunawijaya. Petikan di atas menunjukkan adanya pngungkapn oleh pengarang secara berlebihan tentang keadaan yang dilukiskan.

Keindahan bahasa sunting

Aspek alangkara (alaýkara) dalam kakawin ada dua macam yaitu sabdàlangkara dan arthàlangkara.

Sabdàlangkara sunting

Sabdàlangkara berarti hiasan di dalam bait-bait puisi yang didasarkan bunyibunyi bahasa. Pemakaian ini dibedakan menjadi dua macam yaitu anuprasa dan yamaka.

Anuprasa sunting

Anuprasa sering disebut purwakanti yaitu persamaan bunyi konsonann (asonasi/aliterasi) di dalam bait kakawin. Teknik ini dapat dilihat dalam kakawin Arjunawijaya sebagai berikut.

“Lìlàlon larising ràthà tùti lëbuhning dharma kiróà ngelor Ràmyàkweh tikanang tuminghali siràn strì-strì manìnjo kabeh, len tekang tumùting ràtheka ya turung warsih tumonton sira, kapwa tambaka waróa polahing anonton ràja kàryeng puri”.(Kakawin Arjunawijaya.XXX.6)

.

Terjemahan:

" Baik dan pelan jalannya kereta ke arah utara menuju halaman padharman, ramai orang yang akan melihat dia para wanita menyaksikan semua, lain lagi yang mengikuti kereta karena belum puas melihat sang prabu, semua berdiri bagai tembok tingahlakunya seperti menonton perayaan besar di istana ".

“ Lëngöng kalëngëngan manah nira lëngöng tekapi lëngëng i ramyàning pasir, manuknya manawat-nawat kumëdhap asrì ng asëmu alising këneng unëng, pudhaknya nguðoða ring banyu wangun wëtising arëja kesisan tapih, patërnya ana màtra mandra karëngö sarëngihinh awëdin kaping rwana ”.(Kakawin Arjunawijaya, XXXIII.2)

.

Terjemahan:

Terpesona dia oleh keindahan dan keserasian samudra, burung-burung saling menyambar berhamburan bagaikan alis orang yang terlena oleh keindahan, bunga pudaknya menjuntai bagaikan keindahan betis kuning gading tak ditutupi kain, Suara guntur terdengar sekilas samar-samar terdengan bagai rintihan takut yang kedua kalinya ".

Kutipan kedua bait di atas, menunjukkan adanya permainan bunyi yang digunakan oleh pengarang dalam menggubah karya sastra. Permainan bunyi tersebut berupa pemilihan kata yang dimulai bunyi “l”. “s”,”m’, dan “t” secara berturut-urut.

Yamaka sunting

Dari bentuk Yamaka dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu: Kanci yamaka, Puspa yamaka, Pàdàyamaka, Padanta yamaka, Wrënta yamaka.

  • Kanci Yamaka

Kanci Yamaka artinya kata-kata yang terakhir dalam satu baris diulang pada kata pertama baris berikutnya. Dalam Kakawin Arjunawijaya teknik Kanci Yamaka digunakan dalam bait berikut.

“ Úigran tëkeng Himawan àdri Daúàsya ràja, ràmyà nuràmya mihatìng patapan suràmya, ràmyang kapuódhungika duryanikeng jurangnya, mangguûþa langsëb ikà poh panasà gëng abyut ”'. (Kakawin Arjunawijaya X.20)

  • Puspayamaka

Puspayamaka artinya suku kata (sillabe) yang terakhir dari tiap baris dalam satu bait bunyinya sama. Dalam Kakawin Arjunawijaya pemakaian teknik ini terdapat dalam Arjunawijaya X.18 berikut.

'“Ngka sang Daúàsya n umijli sakari girìndrà, Sàmpun mangañjali ya mamwit jöng bhaþara, Mwang wàhananya muyënging bhuwanàti úighra, Len tang påëwìra bala rakûasa sangga mahya”.

  • Pàdàyamaka

Pàdàyamaka artinya perulangan kata-kata pertama setiap baris dalam satu bait. Pemakaian teknik Pàdàyamaka dalam kakawin Arjunawijaya XXXIII.3 adalah sebagai berikut:

“Tatitnya kumëdhap-këdhaping wwang apicala ri sampun ing gati, Limut-limut ikeng tawang sapangurëng asidëhamanìsakën huyang, Kuwung-kuwung ikàsemu wastra sinusur turu-turutani sandhining rëmëng, Bangun wahu sakeng bahitra pasunging puhawang –ika ri jöng nareúwara”.

.

  • Padanta yamaka

Padanta yamaka adalah merupakan kebalikan dari Pàdàyamaka. Maksudnya perulangan kata-kata yang terjadi tiap akhir baris dalam satu bait. Pemakain teknik ini dalam Kakawin Arjunawijaya tidak ditemukan.

  • Wrënta yamaka

Wrënta yamaka.adalah apabila di dalam satu bait puisi (kakawin) katakata pertama dalam setiap baris sama bentuk dan bunyinya. Pemakaian teknik ini tidak ditemukan dalam Kakawin Arjunawijaya.

Arthàlamkara sunting

Menurut Hooykaas[33] ada beberapa macam Arthàlamkara dalam kakawin yaitu, sebagai berikut.

  1. Rupaka yaitu gaya perbandingan, sesuatu objek diperbandingkan atau disamakan dengan standar perbandingannya (metafora).
  2. Rupaka bhyudika gaya metafora (rupaka) ditambah dengan satu sifat lagi.
  3. Vyatireka, yaitu suatu gaya yang melebih-lebihkan dari sifat asalnya (Hiperbolis).
  4. Slesa, yaitu suatu kata yang mempunyai makna lebih dari satu (polisemi).
  5. Upareksa, yaitu suatu gaya yang menyatakan antara bentuk dan artinya berbeda.
  6. Wibhawana, yaitu sesuatu yang dikatakan ada tanpa sebab.
  7. Atisyokti, sesuatu yang diperbandingkan dengan sifat-sifat yang tidak ada bandingannya.
  8. Varta yaitu melukiskn sesuatu sesuai dengan apa adanya.
  9. Yata sangkwa yaitu sesuatu susunan ide dikatakan dalam satu kata.
  10. Wirodha yaitu suatu tindakan dengan hasil yangberbeda.
  11. Ninda stuti yaitu suatu gaya untuk menyalahkan suatu perbuatan disampaikan dengan cara memuji daan untuk memuji sutu perbuatan disampaikan dengan cara mencela.
  12. Nidarsana ialah suatu standar perbandingan dengan objek yang diperbandingkan dan standar perbandingan itu dianggap sebagai sesuatu hal yang benar-benar ada.
  13. Visosekti, yaitu apabila perhatian kita dipusatkan pada sifat khusus dari suatu benda.
  14. Arthàntaranyàsa, yaitu memasukkan sesuatu yang agak berbeda dari pokok yang dibicarakan tetapi mengikuti artinya.
  15. Upanyasa, yaitu apabila dengan suatu pernyataan (menguraikan sesuatu) tetapi yang dimaksudkan adalah hal yang lain (gaya sindiran).
  16. Ananvaya adaah perbandingan sesuatu dengan benda itu sendiri sebagai objek.

Konvensi sastra sunting

Bentuk dan susunan naskah sunting

Berkas:Kakawin-arjuna-wijaya-250ppi 0003.jpg
Salah satu isi Lontar Kakawin Arjuna Wijaya (tersimpan di pusat dokumentasi dinas kebudayaan provinsi Bali)
  • Manggala

Dalam kakawin Arjunawijaya terdapat manggala sebanyak empat bait yang dapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya I berikut:

“Ong Úrì parwataràja dewa huriping sarwa pramaneng jagat, Sang sàkûat paramàrtha Buddha kinëñëp sang siddha yogìúwara, Sang lwir tìrtha kiteng mahàrddhika wiûàmbëkteng mahàdurjana, Nirwighnopama surya wimba tumameng wway úànta ring ràta kabeh”.

Terjemahannya:

Om Úrì parwataràja yang menghidupi semua makhluk hidup di bumi, Dia bagaikan budha yang dibtinkan oeh para yogi yang sempurna, Beiau bagai air suci bagi orang bijaksana bagai bisa bagi penjahat besar, Tanpa haangan bagaikan bayangan matahari di dalam air menyebarkan kedamaian di bumi.

Berdasarkan kutipan Kakawin Arjunawijaya I.1-4 tersebut dapat diketahui bahwa manggala kakawin Arjunawijaya memuat tentang pemujaan terhadap dewa (istadewata) yaitu dewa raja gunung (úrì parwata ràja dewa) yang tidak lain adalah Dewa Siwa. Pengarang juga menyatakan bahwa pada hakekatnya Dewa Siwa yang dipuja dalam manggala dipersamakan dengan Sang Budha. Disamping itu dalam manggala ini pengarang juga mengungkapkan harapan dan doa kepada sangraja semoga beliu panjang umur dan sehjahtera beserta keluarganya serta tetap jaya memimpin negerinya.

  • Inti Cerita

Inti cerita dari Kakawin Arjunawijaya dapat diuraikan sebagai berikut.

Perkawinan antara Kekasì denga Wiúrawa melahirkan tiga anak laki dan satu perempuaan yaitu Daúamukha, Kumbhakaróa, Wibhìûana dan Úùrpaóakhà. Daúamukha, Kumbhakaróa, dan Wibhìûana melakukan tapa brata yang keras sehinga mendapat anugerah dari Dewa Brahma (I.5, II.5). Setelah mendapat anugerah dari Dewa Brahma Daúamukha menjadi sangat sakti. Namun dia mengunakan kesaktiannya untuk menyebarkan kehancuran di dunia. Daneúwara (Waiúrawana,) saudara tirinya berusaha menasehati dengan mengutus Gomuka. Daúamukha marah dan membunuh utusan itu. Sebelum wafat Gomuka mengutuk Daúamukha bahwa kelak kerajaannya akan dibakar oleh utusan (IV,1, I.12).

Setelah membunuh Gomuka Daúamukha menyerang Daneúwara. Dengan kesaktiannya Daúamukha menyerang Daneúwara. Ketika Daneswara sudah tak berdaya, Prahasta memohon kepada Daúamukha agar tidak membunuh kakak tirinya demi rasa hormat terhadap ayahnya (VI.9-IX.13). Daúamukha menuju gunung Kailasa. Dia bertemu Nandiúwara yang ditugaskan menjaga gunung oleh Dewa Úiwa. Nandiúwara mengingatkan Daúamukha bahwa para Dewapun tidak berani mengganggu ke sana. Daúamukha tidak menghiraukan dan menghina wajah Nandiúwara sehingga ia dikutuk bahw kelak kerajaannya akan dihancurkan oleh kera. Daúamukha mengangkat dan menggoncangkan gunung. Dewa Siwa menekan puncak gunung sehingga Daúamuka berteriak kesakitan. Oleh karena itu ia disebut Rahwana (V.1-X.17).Ràwaóa melanjutkan perjalanan. Ia bertemu dengan pertapa wanita yang cantik bernama Dewi Wedawatì. Rahwana merayu pertapa tersebut agar mau menjadi permaisurinya. Dewi Wedawatì menolak dan menceburkan dirinya ke api pemujaan. Sebelum mengakhiri hidupnya ia mengutuk Ràwaóa bahwa kelak ia akan menjadi penybab kematian Ràwaóa (X.18- XIII.11). Ràwaóa menyerang raja Marutà. Tetapi tidak melakukan perlawanan karena dia sedang melaksanakan yajña. Rahwana menganggap ia tunduk dan melanjutkan menyerang kerajaan Ayodhyà. Raja Ayodhya melakukan perlawanan dan tewas. Sebelum wafat ia mengutuk bahwa keturunannya kelak merupakan awatara Wisnu akan membunuh Ràwaóa (XIV.1 –XIX, 2). Cerita selanjutkannya mengisahkan raja Mahispati yang bernama Arjuna Úahasrabàhu pergi bercengkrama ke sungai Narmada dengan permaisururinya, Dewi Citrawatì. Karena ingin membahagiakan permaisurinya ia mengubah wujudnya menjadi bertangan seribu dan membendung sungai Narmada. Sementara di hulu sungai Ràwaóa sedang melakukan pemujaan dihadapan sebuah Lingga.

Hal ini menyebabkan tempatnya tergenang air. Rahwana marah dan memerangi kerajaan Mahispati. Berkali-kali Ràwaóa berhasil dibunuh tetapi hidup kembali. Dengan kecerdikannya Arjuna Ssahasrabàhu berhasil membuat Ràwaóa pinsan lalu mengikat tubuhnya dengan rantai baja dan Ràwaóa dimasukkan ke kerangkeng besi (XXXVIII.9- LXIII.5). Setelah berhasil mengalahkan Rahwana Raja Arjuna Úahasrabàhu kembali dari medan perang, ia menemukan istrinya telah tewas. Ia mendapat kabar bahwa suaminya Raja Arjuna Úahasrabàhu telah wafat sehingga ia melakukan patibrata. Raja Arjuna Úahasrabahu putus asa dan hendak bunuh diri. Ketika itulah muncul perwujudan Dewi Sungai Namardà, membawa air mujarab sehingga sang permaisuri dapat dihidupkan kembali. Pada saat itu datanglah Åûì Pulastya memohon agar Ràwaóa dibebaskan. Arjuna Sahasrabàhu mengabulkan permohonan Åûì Pulastya (LXIII.7-LXXII.5).

  • Penutup

Dalam Kakawin Arjunawijaya bagian penutup ini dapat ditemukan pada Kakawin Arjunawijaya LXXIII.5 berikut.

“Nda niûþanya titir winada cinacad ginuyu-guyu tëkap kawìúwara, nghing tan simpangike gatinyan akirim kakawin i dalaning pudak sumor, sangksiptan ri lësöhaningbhujaga puspa ri úikarani kàmangun langö, sang sukûmeng lepihan tanah juga panenggahanika pinakeûþining mangö.

.

Bait di atas menunjukkan kerendahan hati pengarang dalam menggubah sebuah kakawin. Sehingga karya yang dianggap tidak sempurna tentulah banyak dicela dan ditertawakan pengarang yang mahir. Tetapi pengarang tetap mempunyai harapan besar untuk menghasilkan karya yang indah.

Keindahan isi sunting

Lukisan Alam sunting

Lukisan alam merupakan suatu daya pesona yang menyebabkan karya sastra tersebut menarik bagi pembacanya. Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya.

  • Waktu dan musim

Lukisan alam yang memaparkan tentang waktu terdapat juga pada saat keberangkatan raja dan permaisuri bersenang-senang menikmati keindahan alam yaitu terdapat pada kutipaan Kakawin Arjunawijaya XXXIV. berikut:

“ Byàtìtan gati sang narendrà kalawan sang lwir hyang ning càmpaka, Ràmyàsing sakantën nireki pinaran mwang tang kakëñà ngiring, Titis meh tumibeng dawuh lima madan sang úrìmaha bhupati, Sàmpun pràpta tikang gajàúwa nu marëk mangkat narëndrà dhipa”.

Terjemahannya:

" Tidak diceritakan keadaan sang raja dengan dia yang ibarat dewanya bungacempaka, Indah segala yang dilihat itu di datangi dia diiringi oleh pelayan, Setelah kirakira pukul 11.00 bersiaplah sang raja, Telah datang gajah dan kuda mendekati lalu berangkatlah dia sang raja ".

  • Flora dan Fauna

Flora dan Fauna yang dilukiskan dalam kakawin Arjuna wijaya dapat dilihat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya XXII. berikut.

“Lunghàngdoh úighra làmpah matuti ujungning wukir sëngka-sëngkan, Wangkal sengwan kukap kaywn ika ri tëpining lwah tëngahning wanàgöng, Wwat gantung màrga tùbanya satata gumuruh ring jurang kukang i grong, Air tambangnya këcap lwir këcapning inuwahan swami dening papendung.

.

Terjemahan:

" Semakin jauh perjalanan dia mengikuti kaki gunung semakin tinggi, Pohon Wangkal, Sengwan, Kukap ditepi sungai di tengah hutan lebat, Jembatan gantung sebagai jalan air nya selalu bergemuruh di jurangnya suara kodok bersuara di lubangnya, Suara gemuruh air terjunnya bagaikan keresahan orang yang terpisah dari keluarganya".

.

Pertempuran sunting

Dalam Kakawin Arjunawijaya unsur peperangan paling banyak diceritakan. Ràwaóa sebagai salah satu tokoh cerita dalam Kakawin Arjunawijaya yang mempunyai ambisi untuk menguasai dunia (triloka) dengan kesaktiannya, hal ini terdapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya IX.3 berikut:

“ Sëdhëng nira silih pupuh silih arug pragalbha masuwe sirà prang arurët, Ndàtan hana kacidra rakwa padha úakti laghawa mahà prabhawa ring ayun, Rika prabhu Daúasia úigràn umësöt mare gagana mùkûa tan patuduhan, Pëtëng dëdët ikang swa ràjya sumaput tëkap nira lawan prahàra kumusuh.

.

Terjemahannya:

" Ketika dia saling pukul saling tebas tidak terkira lamanya berdua bergumul, Tidak ada yang cedera sama-sama sakti dan pandai berkelit, Lalu Rahwana segera melesat ke udara dengan kekuatan gaib tak terlihat, Gelap gulita istana diiputi olehnya disertai angin kencang menderu ".

..

Percintaan sunting

Percintaan yang dilukiskan terdapat antara Arjuna Sahasrabàhu dengan permaisurinya Dewi Citrawatì. Hal ini terdapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya XXVI.2 berikut ini.

“Hàh dyah wruh ngwang i duhka rakyan i gatingku wawang i sëdënging mapet lango, Apan kenakaning madhubrata mangantyakëna ri uwusing pudhak sumàr, Mwang hyuning tadahàrûa rakwa mamalar malara ri keñaring niúàkara, Mwang tang catakaring tawang lëngëng angantyakëna riris i gëntëring patër”.

Terjemahannya:

" Wahai dinda tahu hamba dengan duka hatimu karena perbuatanku tergesa-gesa ketika dinda menikmati keindahan, Karena kesenangan si lebh adalah saat menunggu setelah mekar bunga pudak, Dan kesenangan tadahasih adalah saat menanti-nanti buan bersinar, Dan kesenangan burung kakelik di angkasa adaah pada saat menunggu hujan gerimis disertai gemuruh guntur".

Ajaran sunting

Kakawin Arjuna Wijaya merupakan salah satu bentuk dharmasastra yang berisikan tentang ajaran-ajaran agama Hindu yang bersumber dari kitab suci Weda. Adapun ajaran-ajaran yang terdapat dalam Kakwin Arjunawijaya adalah sebagai berikut.

  • Widhi Tatwa

Konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Kakawin Arjunawijaya adalah Ekaý sad viprà bahudhà vadanti yang mengandung makna bahwa pada hakekatnya Tuhan itu satu hanya orang bijaksana yang menyebutnya dengan banyak nama. Kosep Ketuhan ini terdapat dalam Kakawin Arjunawijaya. XXVII.1, Kakawin Arjunawijaya, XXVII.2 mengandung suatu pengertian bahwa konsep ketuhanan Úiwa Budha adalah sama. Yang berbeda adalah naamanya pada hakekatnya sama.

  • Karmaphala

Mengeni ajaran Karmaphala dalam Kakawin Arjunawijaya dapat dalam kutipan berikut.

“Sakweh-kweh para dewa úangga mangiring Hyang Brahmà kepwan sira, de Hyang Datra ri Kumbhakaróa ya sungën mangke warànugraha, apan rakwa màhati rodra ya makin sor tang watëk dewata, deni göng kalawan guóà syapa teki dewopamanyerika”

Terjemahannya:

" Semua para dewa yang mengiringi Hyang Brahma merasa bingung, Karena Dewa Brahma akan memberikan anugrah kepada Kumbakarna, Karena sesungguhnya sangat menakutkan kan semakin kalah para dewa, Karena kebesaran dan kesaktiannya siapakah para dewa yang bisa menandingi ".

“Nà tojar para dewa tan kagaman de Hyang Jagatkàraóa tan sang Hyang karaóanya rakwa tëkaning wirya alpaning janmawannn, tan len karmaphala rakwa magawe sih ning baþàre riyà. yekà hetu niran tëkanurunika sang Kumbhakaróa n- asö"

Terjemahannya:

" Demikianlah permintaan para dewa tidak dipenuhui oleh Dewa Brahma, buka Dewa yang menyebabkan keunggulan maupn kekurangan manusia, tidak lain adalah hasil perbuatannya yang menyebabkan para Dewa memberi anugrah kepadanya, itulah sebabnya dia datang menghampiri kumbhakarna yang dikasihinya ".

Berdasarkan kutipan di atas dapat disimak maksudnya bahwa yang menyebabkan manusia berhasil dalam hidupnya bukan semata-mata anugerah Tuhan tetapi akibat hasil dari perbuatan manusia itu sendiri . Dalam hal ini Kumbhakaróa dianggap pantas oleh Dewa Brahma mendapat anugerah karena melakukan semadi dengan taat.

  • Punarbhawa Tatwa

Ajaran punarbhawa dalam Kakawin Arjunawijaya dapat disimak dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya XIII.10 berikut:

“Pitowi satatàlpa buddhi ri Bhaþàra Sang Hyang Hari, Matangyan aku margamun pëjaha denira hëlëm, Nàhan ling ira yar sumapa tumuding ri sang Ràwaóa, Nëhër sira mareng pahoman i – dalëm pradiptà ng apuy .

Terjemahannya:

"Dan lagi selalu bertentangan dengan dewa Wisnu, Itu sebabnya saya akan menjadi jalanmu mati kelak, Demikian ucapan dia mengutuk sambil menuding Rahwana, Lalu dia menuju api pemujaan di pertapaan yang apinya menyala berkobarkobar ".

Kutipan di atas menunjukkan adanya ajaran punarbhawa dalam Kakawin Arjunawijaya. Dalam kakawin ini tokoh Dewi Wedawatì seorang pertapa yang hanya ingin bersuamikan Dewa Wiûóu menceburkan dirinya ke dalam api demi menjaga kesucian dirinya agar tidak dinodai oleh Ràwaóa. Ia sangat marah ketika Ràwaóa merayu dan membelai rambutnya sehingga ia mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke api pemujaan. Namun sebelum wafat ia mengutuk Ràwaóa bahwa ia akan menyebabkan kematian Ràwaóa dalam kehidupannya kelak. Dikemudian hari Dewi Wedawatì menjelma menjadi Dewi Sità.

Konvensi budaya sunting

Kakawin sebagai hasil karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang dalam mengungkapkan ide-ide yang ada dalam pemikirannya dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya. Budaya yang melahirkan karya sastra kakawin erat kaitannya dengan agama sang pengarang dan juga agama yang dianut oleh masyarakat pada saat karya sastra tersebut di gubah oleh pengarangnya. Seperti telah diuraikan dalam penjelasan terdahulu bahwa Kakawin Arjunawijaya merupakan hasil karya sastra Jawa Kuno yang bernafaskan ajaran Úiwa -Buddha. Keyakinan terhadap ajaran Úiwa –Buddha tidak terlepas dari perkembangan kerajaan Hindu di Indonesia, yaitu pada zaman kerajaan Majapahit. Adanya pengangkatan terhadap kedua pejabat tersebut menunjukkan pada saat itu kedua agama diakui sejajar, dan hal tersebut menunjukkan adanya sikap toleransi dalam beragama sangat tinggi.

Nilai yang terkandung sunting

Nilai religius sunting

Nilai religius dalam Kakawin Arjunawijaya dapat dilihat dalam tokoh Rawana dan saudaranya. Ràwaóa (Daúamuka) dan keempat saudaranya adalah keturunan Brahmana yaitu putra dari seorng Brahmana bernama Wiúrawa dan cucu dari Åûi Pulastya. Namun ibunya adalah keturunan raksasa. Walaupun Ràwaóa adalah tokoh yang jahat tetapi ia memiliki sikap religius yaitu ditunjukkan dengan ketaatannya melakukan pemujaan bersama saudara-saudaranya. Ketaatannya dalam melakukan pemujaan ditunjukkan dengan tapa brata, semadi sebagai wujud rasa bakti kepada Tuhan, dan untuk memohon anugerah dari Tuhan. Mereka melakukan pemujaan dengan caranya masing-masing untuk mencapai tujuannya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Tan warnan pakurënireki numijil anak pat huwus, Ndah yekàn pamangun tapa brata padhàgöng yogha dhirà japa, Towin rakwa wëkas Dhàneúwara kakànggëh de nirang Ràwana, Ndàswi màjara kon ri sang yayi siràmetang mahànugraha .

(Kakawin Arjunawijaya.I. 14)

Terjemahannya:

"Tidak diceritakan tentang perkawinannya telah lahirlah empat orang anak, Kemudian mereka melakukan tapa brata sama hebat dalam yoga dan japa, Konon dibekas pertapaan Dhaneúwara kakànggëh de nirang Ràwana, Kemudin ia mengatakan kepada adiknnya agar mendapat anugrah utama"

Kutipan di atas menunjukkan sikap religius Ràwana dan saudara-saudaranya. Mereka melakukan upacara (ritus) dengan yoga, tapa dan brata. Tapa yang mereka lakukan sangat berat. Daúamuka melakukan tapa dengan mengorbankan kepalanya yaitu dengan melemparkan kepalanya ke dalam api korban, sehingga ia memperoleh anugerah dari Dewa Brahma. Sikap religius dalam Kakawin Arjunawijaya tercermin pula dalam tokoh Arjuna Sahasrabàhu. Ketika Arjuna Sahasràbahu melakukan perjalanan bersama permaisurinya untuk menikmati keindahan ia menyempatkan diri melakukan pemujaan di depan sebuah Arca, sebagai wujud rasa bakti kepada Tuhan yang menciptakan segala keindahan yang ada.

Nilai etika sunting

Dalam Kakawin Arjunawijaya nilai etika (moralitas) terdapat pada tokoh Dewi Wedawatì. Dewi Wedawati dilukiskan sebagai wanita yang setia dan bakti kepada orang tuanya. Dewi Wedawatì memilih untuk hidup menjadi pertapa setelah kedua orang tuanya wafat. Ia merasa bersalah karena menjadi penyebab kematian kedua orang tuanya. Ia ingin memenuhi pesan orang tuanya yang ingin bermenantukan Dewa Wiûóu. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

“Nging sang mahà Keúawa mantwa tan wurung,Prayojana mwang bibi ni nghulun rësëp, Ndah bhagna mogheki pëjah nira kàlih, Tëkap nikang ràkûasa Sàmbhu göng galak” .

(Kakawin Arjunawijaya, XII.11).

Terjemahan:

" Hanya Sang Hyang Wisnu yng diinginkan menjadi menantu, Yang diharapkan ibu hamba di dalam hatinya, Tetapi malapetaka menyebabkan mereka berdua wafat, Oleh Raksasa Sambhu yang sangat buas "

“ Dose nghulun hetu niràn wineh pati, titir pininte sira tan paweh kedö, màrgangku mungsir tapa bhaktya kawitan, makàrtha sang hyang ari lakya ring hëlëm " .

(Kakawin Arjunawijaya.XII.2).

Terjemhannya:

" Hamba berdosa menjadi sebab kematian dia Sering diminta dia tetap tidak mengabulkan Hamba melakukan tapa sebagai bhkti terhadap leluhur, Dengan harapan supaya Dewa Wisnu menjadi sumi hamba kelak "

.

Kutipan di atas mengandung ajaran atau nilai etika bahwa seorang anak wajib berbakti kepada orang tua sekalipun dia telah tiada. Kewajiban seorang anak terhadap orang tua yang di ungkapkan dalam Kakawin Arjunawijaya sesuai dengan isi kitab Sàrasamuccaya sebagai berikut.

Nilai Estetika sunting

Nilai Estetik dalam Kakawin Arjunawijaya dapat disimak melalui ungkapan-ungkapan bahasa pengarang dalam memparkan pengalaman estetiknya. Nilai tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“Nyàûanyàrjeng yawà ngungkuli jurang adalëm tiraning marga lilà, Nyudhanta wah kahimbang sasusuning alangö lënglëng amrih kalangwan, Ngkà tang strì ratna kàli kawula nika katon lwir tan ing ràt winuwus, Pinten kasih tëkap sang kawi sira tumutur de ni göng ning langöng”.

(Kakawin Arjunawijaya.XXII.12).

Terjemahannya:

" Balai tempat duduknya serasi di atas jurang yang dalam ditepi jalan, kelapa gadingnya bagaikan buah dadanya yang terlena oleh keindahan, di sana tampak seorang wanita cantik diirinngi pelayannya itu terlihat seolah-olah tidak berada di bumi dikatakan, Dikasihi oleh sang pujangga karen dia yang mengerti tentang keutamaan cinta dan keindahan ".

.

Kutipan di atas melukiskan keindahan yang dilukiskan berupa keindahan alam dan kecantikan yang dilukiskan pengarang dengan pemilihan kata yang tepat sehingga keindahan yang disampaikan oleh pengarang dapat dirasakan oleh pembaca atau penikmat karya sastra tersebut.

Penutup sunting

Penelitian terhadap Konvensi Kakawin Arjunawijaya meliputi Konvensi Bahasa, Konvensi Budaya dan Konvensi Sastra. Ditinjau dari Konvensi Bahasa Kakawin Arjunawijaya menggunakan bahasa Jawa Kuno yang kata-katanya juga merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta. Di samping itu penggunaan gaya bahasa seperti gaya bahasa perumpamaan, personifikasi da Hiperbola., juga adanya permainan bunyi (alangkara) mencerminkan bahwa Kakawin ini merupakan karya sastra yang indah ditinjau dari konvensi bahasanya. Konvensi sastra dalam manggala Kakawin Arjunawijaya menunjukkan adanya pemujaan terhadap Dewa Siwa dan Budha. Inti cerita mengisahkan tentang kemenangan dharma yang diwakili oleh tokoh Arjuna Úahasrabàhu melawan adharma (kejahatan) yang diwakili oleh tokoh Ràwaóa. Penutup cerita berisi tentang sikap rendah hati pengarang. Konvensi budaya dalam Kakawin Arjunawijaya menunjukkan adanya toleransi beragama yang tinggi yaitu perpaduan antara ajaran Úiwa Budha. Nilai- nilai Kakawin Arjunawijaya adalah Nilai Religius, Nilai Etika dan Nilai Estetika. Nilai Religius dicerminkan oleh tokoh cerita Ràwaóa dan saudaranya yang taat melakukan pemujaan yaitu dengan melakukan tapa, yoga dan semadi. Nilai Etika di wakili oleh Tokoh Dewi Wedawatì yang memiliki sikap berbakti terhadap orang tua. Sedangkan Nilai Estetika dan Kakawin Arjunawijaya berupa ungkapan pengarang tentang keindahan yaitu keindahan alam dan kecantikan tokoh ceritanya.

Referensi sunting

  1. ^ Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
  2. ^ Keraf (1980), halaman 6
  3. ^ Zoetmulder (1995), halaman 1204
  4. ^ Zoetmulder (1995), halaman 1488
  5. ^ Zoetmulder (1995), halaman 1315
  6. ^ Zoetmulder (1995), halaman 1323
  7. ^ a b Zoetmulder (1995), halaman 379
  8. ^ Zoetmulder (1995), halaman 577
  9. ^ Zoetmulder (1995), halaman 99
  10. ^ Zoetmulder (1995), halaman 73
  11. ^ Zoetmulder (1995), halaman 1136
  12. ^ Zoetmulder (1995), halaman 30
  13. ^ Zoetmulder (1995), halaman 75
  14. ^ Zoetmulder (1995), halaman 304
  15. ^ Zoetmulder (1995), halaman 709
  16. ^ Zoetmulder (1995), halaman 429
  17. ^ Zoetmulder (1995), halaman 1198
  18. ^ Zoetmulder (1995), halaman 21
  19. ^ Zoetmulder (1995), halaman 333
  20. ^ Zoetmulder (1995), halaman 164
  21. ^ Zoetmulder (1995), halaman 883
  22. ^ Zoetmulder (1995), halaman 764
  23. ^ Zoetmulder (1995), halaman 1450
  24. ^ Zoetmulder (1995), halaman 217
  25. ^ Zoetmulder (1995), halaman 1101
  26. ^ Zoetmulder (1995), halaman 1108
  27. ^ Zoetmulder (1995), halaman 376
  28. ^ Zoetmulder (1995), halaman 204
  29. ^ Zoetmulder (1995), halaman 394
  30. ^ Zoetmulder (1995), halaman 436
  31. ^ Zoetmulder (1995), halaman 635
  32. ^ Zoetmulder (1995), halaman 578
  33. ^ Medera (1997), halaman 21-22

Daftar pustaka sunting

  • Kakawin Arjuna Wijaya
  • Agastya, I.B Gde. 1987.Segara Giri Kumpulan Esai Jawa Kuno: Denpasar: Wyasa Sanggraha.
  • Cudamani, 1993. Pengantar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
  • Hardiman,Budi F. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernias. Yogyakarta: Kanisius.
  • Hutagalung,M.S. Jalan Tak Ada Ujung Muchtar Lubis.Jakarta: Gunung Agung.
  • Karim, M. Rusli.1994. Agama Modernisasi dan Sekularisasi . Yogya: Tiara Wacana
  • Kajeng, dkk. 1999. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.
  • Keraf, Drs. Gorys. 1980. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah-Arnolus.
  • Kosasih.2004. Bintap Bahasa Indonesia SMA. Bandung: CV Yama Widya
  • Kusuma, I Nyoman Weda, 2005. Kakawin Usana Bali Karya Dang Hyang Nirartha: Suntingan Teks, Terjemahan dan Telaah Konsep-konsep keagamaan. Denpasar: Pustaka Larasan.
  • Koentjaraningrat.1974. Kebudayaan dan Mentalitet Pembangunan. Jakarta: Gramedia
  • Mantra, IB. 2002 .”Pengertian Úiwa Buddha Dalam Sejarah Indonesia” dalam Úiwa Buddha. Puja di Indonesia. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
  • Mardiwarsito, L.1978. Kamus Jawa Kuno Indonesia . Ende Flores: Nusa Indah.
  • Mastuti, Dwi Woro Retno .2009.Kakawin Sutasoma Mpu Tantular. Jakarta: Komunitas bambu.
  • Medera, Nengah. 1996. “Kakawin dan Mabebasan di Bali”. Denpasar: Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
  • Nida, Diartha.2003. Sinkretisasi Úiwa Buddha Di Bali kajian Historis Sosiologis. Denpasar: Pustaka Bali Post.
  • Nurkancana, Wayan.1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar: Bali Pos.
  • Pudja, Gede (dkk) Theologi Hindu (Brahma Widya).Jakarta: Mayasari.
  • Poerwadarminta.1976. Kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka.
  • Robson, S.O. “Pengkajian Sastra-sastra Tradisiona Indonesia”. Dalam Majalah Bahasa dan Sastra IV/6. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Sanatana Dharma sarana 1988. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya Paramita. Sri Sukesi Adiwimarta.1993. “Unsur-unsur Ajaran Dalam Kakawin Parthayajña”. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Denpasar: CV. Percetakan Bali
  • Sugriwa, I G.B. 1977. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar: Sarana bakti Sabha
  • Sudjiman. Panuti. Ed. 1984. Kamus Istilah sastra. Jakarta: PT Gramedia.
  • Sumarjo. Yakob. 1984. Memahami Kesusastraan.Bandung: Alumni
  • Supomo, S.1997. arjunawijaya A Kakawin of Mpu Tantular. Bibliothieca Indonesia14 KITLV. The hague: Martinus Nijhoff.
  • Titib, 1998. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan.Surabaya: Paramitha.
  • Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PustakaJaya.
  • Wisarja, Ketut 2001. Nilai-nilai dan Ajaran yang terkandung dalam Geguritan Mantri alit. Denpasar: STAHN.
  • Wiryamartana, I. Kuntara. 1990. Arjunawiwâha. Duta Wacana University Press,Yogyakarta.
  • Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cetakan ke-2. Jakarta: Djambatan.
  • _______. 1995. Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT GramediaPustaka Utama.

Alih aksara sunting

  • Alih Aksara Lontar Kakawin Arjunawijaya, Th.1995. Denpasar: KantorDokumentasi Budaya Bali.
  • Alih Aksara Lontar Kakawin Arjunawijaya, Th.1982. Singaraja: Gedong Kirtya