Jahja Datoek Kajo

politisi Indonesia

Jahja Datoek Kajo (EYD: Yahya Datuk Kayo, 1 Agustus 1874 – 9 November 1942) adalah seorang anggota Volksraad, semacam dewan perwakilan rakyat pada masa Hindia Belanda. Putranya, Daan Jahja, menjadi pejabat gubernur militer Jakarta pada tahun 1950. Putra lainnya, yakni Jamalus Yahya dan Akhirul Yahya, masing-masing menjadi kepala daerah di Sumatera Barat.

Jahja Datoek Kajo
Lahir(1874-08-01)1 Agustus 1874
Kotogadang, Agam, Hindia Belanda
Meninggal9 November 1942(1942-11-09) (umur 68)
KebangsaanMinangkabau
Dikenal atasAnggota Volksraad
Suami/istriBasiah
Rusiah
Syahrizan
(m. 1924)
[1]
Anak21, termasuk Daan Jahja, Akhirul Yahya, Jamalus Yahya[1]
Orang tuaPinggir Bandaharo Koeniang (ayah) dan Bani (ibu)

Masa kecil sunting

 
Jahja Datoek Kajo dan istrinya (foto koleksi Tropenmuseum).

Jahja Datoek Kajo lahir dari pasangan suami istri Pinggir Bandaharo Koening dan Bani, yang masing-masing anggota persukuan Sikumbang dan Piliang. Pada tahun 1882, Jahja mulai merantau bersama pamannya. Di Suliki dia sempat bersekolah selama setahun, kemudian nasib membuatnya harus berpindah-pindah sekolah di tempat yang berbeda. Tahun 1883 di Pasar Gadang, Padang dan tahun 1885-1887 sekolah privat di Bukittinggi.

Karier sunting

Tahun 1888, Jahja magang pada kantor residen Padang Darat untuk lebih banyak mengenal dari dekat birokrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tahun 1892-1895, Jahja bekerja sebagai juru tulis magang di kantor kontrolir Agam Tua. Tanggal 11 Mei 1895, Jahja mendapat gelar Datoek Kajo dan dipilih menjadi Tuanku Laras Empat Koto.

Pada tahun 1908, pajak (belasting) mulai diberlakukan di Sumatera Barat. Kejadian pada 2 Juli 1908 sangat memukul Jahja, dimana ia melihat anak negerinya dibantai oleh militer Belanda karena menentang untuk melakukan pembayaran pajak. Pada tahun 1919, kejadian yang disebut "Tragedi Paladangan" ini ditulis dan dilaporkannya kepada atasan. Sejak itu, Jahja menjadi geram terhadap militer Belanda.

Tahun 1913, Jahja ditugaskan merangkap jabatan, yaitu sebagai Kepala Laras Banuhampu. Kariernya cepat melesat, pada tahun 1914 dia dipercaya menjadi demang Bukittinggi. Karena tidak sepaham dengan atasannya dalam berbagai hal, Jahja diminta pindah dan menjadi demang Payakumbuh (1915-1918), Padang Panjang (1919-1928), kemudian Air Bangis (1928-1929).

Volksraad sunting

Jahja terpilih menjadi anggota Volksraad menggantikan Loetan Datoek Rangkajo Maharadjo pada tanggal 16 Mei 1927. Dia merupakan salah satu dari 25 orang anggota golongan bumiputera. Jahja mewakili Minangkabau untuk periode 1927-1931. Setelah pensiun tahun 1931, tahun 1935 dia terpilih kembali sebagai anggota Volksraad.

Bahasa Indonesia sunting

Volksraad yang dibentuk pada akhir tahun 1917, sangatlah diskriminatif kepada anggota bumiputera. Diantaranya ialah pelarangan digunakannya Bahasa Melayu (setelah Sumpah Pemuda, dikenal sebagai Bahasa Indonesia) dalam sidang-sidang lembaga tersebut. Namun perkecualian tersebut diperoleh Jahja Datoek Kajo. Sejak 16 Juni 1927, dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad, Jahja selalu menggunakan bahasa Indonesia. Jahja meminta kepada para hadirin yang mau menyela pembicaraannya agar menggunakan bahasa Indonesia. Dia berterus terang bahwa di dalam sidang majelis Volksraad lebih suka dengan bahasa Indonesia karena merasa seorang Indonesier. Pidatonya yang berapi-api dengan bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah. Atas keberaniannya itu, koran-koran pribumi memberinya gelar "Jago Bahasa Indonesia di Volksraad".

Lihat pula sunting

Referensi sunting

Bibliografi sunting

  • Azizah Etek, Mursjid A.M., Arfan B.R., Koto Gadang Masa Kolonial, LKiS, 2007, ISBN 979-1283-29-X
  • Azizah Etek, Mursyid A.M, dan Arfan B.R. Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927 - 1939. LKiS, 2008, ISBN 979-1283-58-3