Indeks massa tubuh

Indeks massa tubuh (IMT) atau indeks Quetelet merupakan proksi heuristik untuk lemak tubuh manusia berdasarkan berat badan seseorang dan tinggi. IMT tidak benar-benar mengukur persentase lemak tubuh. Itu ditemukan antara tahun 1830 dan 1850 oleh polymath asal Belgia Adolphe Quetelet selama pengembangan "fisika sosial".[1]

Indeks massa tubuh (IMT) adalah metode yang digunakan untuk menentukan status gizi seseorang. Pada usia remaja, penentuan ini didasarkan pada perhitungan IMT yang kemudian dicocokkan dengan gafik pertumbuhan sesuai usia dan jenis kelamin. Standar normal ideal yang digunakan untuk orang dewasa berusia di atas 20 tahun adalah IMT antara 20 hingga 25,0. Seseorang dikatakan memiliki berat badan berlebih jika IMT antara 25,0 hingga 29,9. Jika IMT < 20 berarti berat badan kurang dan IMT ≥30 berarti obesitas.[2][3]

Jika IMT seseorang berada di luar rentang IMT yang dinyatakan sehat, risiko kesehatan mereka bisa meningkat secara signifikan. Berat tubuh berlebih dapat berdampak pada berbagai kondisi kesehatan, seperti diabetes tipe 2, tekanan darah tinggi dan penyakit kardiovaskular. Sementara berat tubuh yang terlalu rendah dapat meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi, osteoporosis dan anemia. IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung dan tidak pula mempertimbangkan usia, jenis kelamin, etnis atau massa otot pada orang dewasa.[4]

Asal usul Indeks Massa Tubuh sebagai standar untuk menentukan kondisi kesehatan sunting

IMT pertama kali ditemukan oleh Adolphe Quetelet, seorang matematikawan yang juga mempelajari astronomi, statistika dan sosiologi. Model Quetelet berasal dari penelitiannya terhadap partisipan asal Perancis dan Skotlandia dan tidak termasuk partisipan lain yang bukan orang kulit putih Eropa. Model ini menunjukkan bahwa ada standar rata-rata massa tubuh selama mereka menyerupai rata-rata pria kulit putih Eropa. Akibatnya, karya Quetelet digunakan sebagai pembenaran ilmiah untuk eugenikasterilisasi orang-orang kulit berwarna, imigran dan penyandang disabilitas. Perhitungan IMT yang digunakan dengan cara berat badan (dalam satuan kilogram) dibagi tinggi badan (dalam satuan meter persegi) merupakan formula matematis yang tidak pernah diniatkan untuk menentukan massa tubuh seseorang atau kondisi kesehatannya. Namun, pada abad ke-20, perusahaan asuransi Amerika mulai mengadopsi model Quatelet sebagai cara untuk menentukan uang perlindungan bagi pemegang polis. Akhirnya, konsep berat tubuh sebagai indikator kondisi kesehatan bermula dan menjadi tren yang masih digunakan hingga saat ini.[5]

Pentingnya mengetahui Indeks Massa Tubuh sunting

Dalam beberapa kasus, IMT dapat membantu dokter dalam menentukan status kesehatan seseorang secara keseluruhan dan risiko terserang penyakit kronis. Namun, tetap saja dokter tidak hanya mengandalkan IMT sebagai faktor pertimbangan karena IMT tidak sepenuhnya merupakan penilaian yang dapat diandalkan untuk setiap bentuk tubuh yang berbeda. Angka-angka IMT perlu diketahui karena dapat menjadi sinyal tentang kondisi kesehatan seseorang. IMT yang rendah bisa saja menandakan bahwa seseorang mengalami kurang gizi. Kemungkinan tubuhnya tidak mampu melakukan penyerapan nutrisi dengan baik atau orang tersebut tidak mendapatkan asupan kalori yang yang cukup untuk menunjang aktivitasnya. Sebaliknya, jika angka IMT lebih tinggi menandakan bahwa seseorang memiliki risiko penyakit jantung, diabetes dan kanker tertentu yang lebih tinggi daripada seseorang dengan IMT yang normal. Dengan mengetahui hal ini, dokter dapat merujuk pasien pada penata diet yang terdaftar untuk membantu pasien mendapatkan berat badan ideal dan mengurangi risiko timbulnya berbagai masalah kesehatan.[6]

Fisiologi Indeks Massa Tubuh sunting

Penelitian baru-baru ini tentang hubungan antara kenaikan IMT terhadap berbagai penyakit dilakukan untuk menentukan patofisiologi kondisi tersebut. Ada suatu studi yang mengevaluasi tingkat sel progenitor stroma mesenchymal dan sel progenitor yang terdapat pada partisipan yang sehat dengan IMT < 30 dan pada partisipan yang sehat dengan IMT > 30. Peneliti menemukan bahwa ada peningkatan sel progenitor sebanyak 5 kali lipat pada partisipan dengan IMT lebih besar dari 30. Penelitian ini dilakukan untuk mengelaborasi penelitian lain yang menunjukkan adanya peningkatan sel darah putih dan hubungannya dengan neoplasma pada penderita obesitas. Sel progenitor dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan tumor, di mana tumor membutuhkan angiogenesis dan vaskulogenesis untuk berkembang biak. Ketika jaringan adiposa putih memobilisasi sel-sel progenitor, mereka digunakan oleh tumor untuk mendukung perkembangbiakkan kanker.[7]

IMT dan persentase lemak tubuh yang tinggi terkait dengan resistensi insulin. Resistensi insulin meningkat secara bertahap sesuai dengan tingkat IMT dan tingkat lemak tubuh secara sekunder.[8] Diabetes tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif sehingga penting untuk melakukan identifikasi dini sebagai strategi pencegahan diabetes melitus. Akumulasi lemak viseral secara khusus diasumsikan memainkan peranan penting dalam etiologi resistensi insulin, terutama oleh paparan berlebihan pada organ hati terhadap asam lemak bebas sehingga menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Peroxisome proliferator activated receptor- (PPAR-) agonis, meningkatkan sensitivitas insulin dan lipemia sebagian melalui peningkatan proliferasi jaringan adiposa dan kapasitas retensi lemak. Identifikasi korelasi (PPAR-) agonis dengan obesitas memerlukan IMT untuk mengembangkan kebijakan kesehatan masyarakat dan rekomendasi diet serta aktivitas fisik yang komprehensif dn efektif.[9]

Kategori dan interpretasi angka Indeks Massa Tubuh sunting

Bagi orang dewasa usia 20 dan 20 tahun ke atas, interpretasi IMT menggunakan kategori status berat badan standar. Kategori tersebut sama, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dari segala usia dan tipe tubuh.[10]

Indeks Massa Tubuh (IMT) Status berat badan
< 18,5 Berat badan kurang (underweight)
18,5–24,9 Normal
25,0–29,9 Berat badan berlebih (overweight)
≥ 30 Obesitas

Namun, interpretasi IMT berbeda pada anak-anak dan remaja meskipun dihitung menggunakan formula yang sama dengan IMT orang dewasa. Pada anak-anak dan remaja, IMT harus dibedakan berdasarkan usia dan jenis kelamin karena perubahan jumlah lemak tubuh yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.[10]

IMT pada anak-anak dapat dihitung dengan rumus IMT = Berat badan (kg) : [ Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)], kemudian dibandingkan dengan nilai standar sebagai berikut.[11]

Untuk perempuan

Kurus = < 17 kg/m²

Normal = 17–23 kg/m²

Kegemukan = 23–27 kg/m²

Obesitas = > 27 kg/m²

Untuk laki-laki

Kurus = < 18 kg/m²

Normal = 18–25 kg/m²

Kegemukan = 25–27 kg/m²

Obesitas = > 27 kg/m²

Dalam menentukan status gizi anak balita usia 0-60 bulan, nilai IMT harus dibandingkan dengan nilai IMT standar WHO 2005 sedangkan pada anak dan remaja usia 5-19 tahun harus dibandingkan dengan referensi WHO/NCHS 2007.[11]

IMT dan masalah obesitas sunting

Asia dan Oseania sunting

Pada tahun 1997 ketika WHO memprakarsai International Obesity Task Force (IOTF), IOTF denga bantuan Asosiasi Internasional untuk Studi Obesitas (IASO) mengusulkan kriteria kelebihan berat badan dengan IMT antara 25 dan 30 serta obesitas dengan IMT sama atau lebih dari 30,15. Dengan kriteria ini, prevalensi penderita obesitas di Jepang hanya 1,79% pada pria dan 3,00 pada wanita. Jika klasifikasi WHO terkait kriteria kelebihan berat badan diganti dengan kriteria obesitas dalam klasifikasi Japan Society for the Study of Obesity (JASSO) akan diperoleh empat tingkat obesitas sedangkan WHO hanya memiliki tiga tingkat obesitas. Hasil terbaru dari Japan Nutritional Survey 1999 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas (IMT ≥ 25) mencapai hampir 30% pada pria berusia 30-60 tahun dan wanita pada usia 50-70 tahun.[12]

IMT JASSO WHO
< 18,5 Berat badan kurang Berat badan kurang
18.5 ≥ – < 25 Berat badan normal Berat badan normal
25 ≥ – < 30 Obesitas kelas 1 Pra-obesitas
30 ≥ – < 35 Obesitas kelas 2 Obesitas kelas 1
35 ≥ – < 40 Obesitas kelas 3 Obesitas kelas 2
≥ 40 Obesitas kelas 4 Obesitas kelas 3

Untuk mengetahui apakah kriteria tersebut dapat diterapkan pada masyarakat di kawasan Asia-Oseania, negara-negara anggota IASO megadakan pertemuan dua kali di Hongkong. Mereka membandingkan data dari tujuh negara (Jepang, Korea, Filipina, Indonesia, Hong Kong, Malaysia dan Thailand) dan memperoleh kesimpulan bahwa kriteria IMT ≥ 25 sebagai obesitas sesuai bagi masyarakat Asia-Oseania di mana asupan energi berasal dari karbohidrat (sekitar 60%). Kriteria kelebihan berat badan dengan IMT antara 23 dan 25 ditetapkan karena data Hong Kong menunjukkan secara jelas peningkatan penyakit terkait dengan obesitas terjadi secara signifikan pada subjek dengan IMT ≥ 23.[12]

Afrika sunting

Di Afrika, terjadi peningkatan pesat penderita obesitas di negara-negara yang mengalami transisi nutrisi dan disertai pula dengan peningkatan prevalensi penyakit kardiometabolik serta kematian dini. Tren obesitas di Afrika dari tahun 1980-2014 yang ditemukan pada 1,2 juta partisipan menunjukkan bahwa rata-rata IMT (kg/m²) berdasarkan kategori usia meningkat dari 21,0 menjadi 23,0 pada pria dan dari 21,9 menjadi 24,9 pada wanita, dengan perbedaan regional dan jenis kelamin yang signifikan. Peningkatan tren obesitas yang terjadi di wilayah selatan dan utara Afrika berada di atas estimasi global sedangkan di Afrika Barat dan Tengah berada di bawah estimasi.[13]

Amerika Serikat sunting

Di Amerika Serikat, antara tahun 1980 hingga 2000, terjadi peningkatan prevalensi obesitas secara signifikan antara pria dan wanita. Peningkatan signifikan lebih lanjut terlihat pada pria tetapi tidak untuk wanita selama 2003-2004. Dalam sebuah survei perwakilan nasional yang dilakukan terhadap 2.638 pria dewasa (rata-rata usia 46,8 tahun) dan 2.817 wanita dewasa (rata-rata usia 48,4 tahun) dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) selama 2 tahun terakhir (2013-2014) dan 21.013 partisipan pada tahun 2005-2012, menunjukkan prevalensi obesitas yang disesuaikan dengan usia pada 2013-2014 adalah 35% di antara pria dan 40,4% di antara wanita. Persentase untuk pengidap obesitas kelas 3 adalah 5,5% untuk pria dan 9,9% untuk wanita. Prevalensi obesitas secara keseluruhan dan obesitas kelas 3 menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dan linear antara tahun 2005 hingga 2014. Namun, tidak ada tren yang signifikan untuk pria.[14]

Kelemahan Indeks Massa Tubuh dalam menentukan status kesehatan sunting

Kelemahan IMT utamanya adalah tidak dapat mengukur risiko obesitas dan kematian dengan akurasi yang sama pada semua target populasi karena danya variasi komposisi dan distribusi lemak tubuh. IMT tidak mempertimbangkan massa lemak viseral dalam menentukan status kesehatan individu sehingga jika digunakan pada orang-orang tua dapat menyesatkan karena prevalensi penyakit yang sering terjadi, penurunan jumlah cairan tubuh kurangnya batasan yang spesifik untuk orang-orang dari kelompok usia tua. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat mendorong mereka yang tergolong kelebihan berat badan untuk menurunkan berat badan.[15]

Referensi sunting

  1. ^ Eknoyan, Garabed (2008). "Adolphe Quetelet (1796–1874)—the average man and indices of obesity". Nephrol. Dial. Transplant. 23 (1): 47–51. doi:10.1093/ndt/gfm517. PMID 17890752. 
  2. ^ Oktaviani, Wiwied Dwi; Saraswati, Lintang Dian; Rahfiludin, M. Zen (2012). "HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI FAST FOOD, AKTIVITAS FISIK, POLA KONSUMSI, KARAKTERISTIK REMAJA DAN ORANG TUA DENGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) (Studi Kasus pada Siswa SMA Negeri 9 Semarang Tahun 2012)" (PDF). Jurnal Kesehatan Masyarakat. 1 (2): 542–553. 
  3. ^ Mawi, Martiem (2004). "Indeks massa tubuh sebagai determinan penyakit jantung koroner pada orang dewasa berusia di atas 35 tahun" (PDF). Jurnal Kedokteran Trisakti. 23 (3): 87–92. 
  4. ^ "Obesity: What is BMI in adults, children, and teens". www.medicalnewstoday.com (dalam bahasa Inggris). 2018-11-09. Diakses tanggal 2022-02-04. 
  5. ^ "The problematic origins of BMI | Sports". thelinknewspaper.ca (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-04. 
  6. ^ "Why Is BMI Important?". Healthy Eating | SF Gate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-04. 
  7. ^ Zierle-Ghosh, Asia; Jan, Arif (2022). Physiology, Body Mass Index. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. PMID 30571077. 
  8. ^ Martinez, Keilah E.; Tucker, Larry A.; Bailey, Bruce W.; LeCheminant, James D. (2017-07-25). "Expanded Normal Weight Obesity and Insulin Resistance in US Adults of the National Health and Nutrition Examination Survey". Journal of Diabetes Research (dalam bahasa Inggris). 2017: e9502643. doi:10.1155/2017/9502643. ISSN 2314-6745. 
  9. ^ Hettihewa, Menik; Dharmasira, Lalith; Ariyaratne, Chamil; Jayasinghe, Sudheera; Weerarathna, Thilak; Imendra, K G (2009-09-25). "Correlation between BMI and insulin resistance in type 2 diabetes mellitus patients on pioglitazone treatment". Galle Medical Journal. 12. doi:10.4038/gmj.v12i1.1080. 
  10. ^ a b CDC (2021-08-27). "All About Adult BMI". Centers for Disease Control and Prevention (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-06. 
  11. ^ a b Mardatila, Ani (2021-09-06). "Cara Menghitung IMT Anak dan Kiat Makan Sehatnya". Merdeka.com. Diakses tanggal 2022-02-06. 
  12. ^ a b Kanazawa, Masao; Yoshiike, Nobuo; Osaka, Toshimasa; Numba, Yoshio; Zimmet, Paul; Shuji, Inoue (2002). "Criteria and classification of obesity in Japan and Asia-Oceania" (PDF). Asia Pacific Journal of Clinic and Nutrition. 11: S732–S737. 
  13. ^ Ramsay, Michèle; Crowther, Nigel J.; Agongo, Godfred; Ali, Stuart A.; Asiki, Gershim; Boua, Romuald P.; Gómez-Olivé, F. Xavier; Kahn, Kathleen; Khayeka-Wandabwa, Christopher (2019-01-17). "Regional and sex-specific variation in BMI distribution in four sub-Saharan African countries: The H3Africa AWI-Gen study". Global Health Action. 11 (Suppl 2): 1556561. doi:10.1080/16549716.2018.1556561. ISSN 1654-9716. PMC 6407581 . PMID 30845902. 
  14. ^ Flegal, Katherine M.; Kruszon-Moran, Deanna; Carroll, Margaret D.; Fryar, Cheryl D.; Ogden, Cynthia L. (2016). "Trends in Obesity Among Adults in the United States, 2005 to 2014". JAMA. 315 (21): 2284–2291. doi:10.1001/jama.2016.6458. ISSN 0098-7484. 
  15. ^ Bhurosy, Trishnee; Jeewon, Rajesh (2013). "Pitfalls Of Using Body Mass Index (BMI) In Assessment Of Obesity Risk". Current Research in Nutrition and Food Science Journal (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 71–76. 

Lihat juga sunting

Bacaan lebih lanjut sunting

Pranala luar sunting