Idrus Nasir Djajadiningrat

Laksamana Muda TNI (Purn.) Raden Bagus Idrus Nasir Djajadiningrat, M.A. (EYD: Jayadiningrat; 04 Juni 1920 – 24 Agustus 1980) atau juga dikenal sebagai Didi Djajadiningrat adalah seorang diplomat dan tokoh veteran asal Indonesia.[2] Dia juga bergabung sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 pada masa penjajahan.[3] Pada masa Orde Baru, dia kemudian menjadi Dewan Perwakilan Rakyat dari Golongan Karya fraksi ABRI yang diangkat oleh Soeharto.[4]

Raden Bagus Idrus Nasir Djajadiningrat
R.B.I.N. Djajadiningrat saat menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Belgia
Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet ke-9
Masa jabatan
1976–1980
Sebelum
Pendahulu
Suryono Darusman
Pengganti
R.M Mohammad Choesin
Sebelum
Duta Besar Indonesia untuk Belgia ke-7
Masa jabatan
1968–1970
Sebelum
Pendahulu
Aboeprajitno
Pengganti
Chaidir Anwar Sani
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1920-06-04)4 Juni 1920
Serang, Banten
Meninggal24 Agustus 1980(1980-08-24) (umur 60)
Jakarta
MakamTaman Makam Pahlawan Kalibata[1]
KebangsaanIndonesia Indonesia
Suami/istriElise Wihelmina Loedin
HubunganErna Djajadiningrat (kakak perempuan)
Hussein Jayadiningrat (paman)
Maria Ulfah Santoso (sepupu)
>Lutesha (Cucu)
Anak
  • Raden Andra Madita Kala Djajadiningrat
  • Raden Ayu Kamarina Laurentia Aisya Djajadiningrat
  • Raden Ayu Laurentina Maryam Nurul 'Ain Djajadiningrat
Orang tuaAchmad Djajadiningrat (ayah)
Raden Ajeng Suwitaningrat Sastradipura (ibu)
Alma materSchool tot Opleiding van Indische Artsen
Universitas Cornell
PekerjaanDiplomat
Tentara Nasional Indonesia
Nama lainDidi Djajadiningrat
SukuBanten
JulukanR.B.N. Djajadiningrat
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Laut
Pangkat Laksamana Muda
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Biografi sunting

Kehidupan awal sunting

 
Achmad Djajadiningrat, ayah R.B.I.N. Djajadiningrat

R.B.I.N. "Didi" lahir dari keluarga Jayadiningrat di Serang, Banten sebagai anak ke-7 dari delapan bersaudara.[5] Salah satu kakak perempuannya, Erna Djajadiningrat menjadi perempuan pertama yang menerima penghargaan Bintang Gerilya berkat jasanya selama perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.[6]

Ayahnya adalah Achmad Djajadiningrat, seorang bangsawan Banten yang menjadi Bupati Serang periode 1901-1927.[7] Sedangkan ibunya adalah Raden Ajeng Suwitaningrat Sastradipura, seorang putri bangsawan keturunan Singaperbangsa, Adipati Karawang pertama periode 1633-1677.[5]

Pendidikan sunting

Djajadiningrat memulai pendidikan formalnya di Carpentier Alting Stichting Nassau School (CAS), kemudian melanjutkan ke jenjang Hogereburgerschool (HBS) di Batavia. Setelah menyelesaikan HBS-nya, dia kemudian melanjutkan pendidikan ke Geneeskundige Hoogeschool te Batavia (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) yang pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia berganti nama menjadi Ika Daigaku.[catatan 1] Namun, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dia tidak melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran, melainkan bertugas sebagai anggota Kementerian Penerangan dan menjadi penyiar bahasa Inggris di Radio Republik Indonesia.[2]

Djajadiningrat melanjutkan pendidikan magister di Universitas Cornell, Amerika Serikat jurusan Ilmu Politik. Dia lulus dengan gelar Master of Arts pada tahun 1957.[8]

Kehidupan pribadi sunting

Djajadiningrat menikah dengan Elise Wihelmina Loedin dan dikarunia 3 orang anak: Raden Andra Madita Kala Djajadiningrat, Raden Ayu Kamarina Laurentia Aisya Djajadiningrat, dan Raden Ayu Laurentina Maryam Nurul 'Ain Djajadiningrat.[9]

Karier sunting

Karier militer sunting

Pra kemerdekaan sunting

Djajadiningrat memperoleh pendidikan militernya di Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM) Surabaya, sebuah tempat pendidikan perwira yang didirikan oleh Conrad Emil Lambert Helfrich sebagai cabang dari KIM pusat di Den Helder, Belanda. Dia adalah taruna promosi (angkatan) 1940, yang pada bulan Agustus 1940 direkrut untuk dididik selama dua tahun bersama 39 orang taruna lainnya.[10]

Pada tanggal 8 Desember 1941, Belanda menyatakan perang dengan Jepang. Tiga bulan setelah itu Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda, sehingga para taruna yang sedang melakukan pendidikan perwira dilarikan ke Colombo, Sri Lanka. Djajadiningrat bersama taruna angkatan 1940 lain yang dididik di Colombo dan mengikuti operasi di kapal kemudian diangkat menjadi perwira KM (Koninklijk Marine) pada tanggal 1 Maret 1943. Pada tahun 1945, dia bergabung bersama para pejuang lain untuk kemerdekaan Indonesia dari pendudukan Jepang.[10]

Pasca proklamasi kemerdekaan sunting

Ketika terjadi Pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946, Djajadiningrat bersama para Tentara Republik Indonesia lain pun ikut hijrah ke kota tersebut.[2]

Selama Revolusi Nasional Indonesia sejak 1945 sampai penyerahan kedaulatan dan terbentuknya Republik Indonesia Serikat hasil Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949, di dalam jajaran personel militer Angkatan Laut pada BKR, TKR, TNI, dan atau ALRI hanya terdapat dua perwira Angkatan Laut: R. Soebijakto dan R.B.N. Djajadiningrat.[3]

Pada tanggal 5 Agustus 1947, Agresi Militer Belanda I diakhiri dengan Perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat, USS Renville, tetapi hubungan antara Republik Indonesia dan Belanda tetap bersitegang. Perundingan-perundingan diplomatik di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN; Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia) menemui jalan buntu, bahkan Belanda bersiap-siap untuk menyerang Republik Indonesia kembali. Angkatan perang Republik Indonesia menyusun rencana untuk menghadapi kemungkinan serangan Belanda. Akhirnya, R. Soebijakto selaku Kepala Staf TNI Angkatan Laut memindahkan Markas Besar Umum Angkatan Laut Republik Indonesia (MBU-ALRI) ke Aceh.[11] Pada tanggal 1 Desember 1948, R. Soebijakto beserta anggota stafnya berangkat dari Yogyakarta ke daerah tersebut. Sehubungan dengan keberangkatannya itu, R. Subijakto menunjuk Djajadiningrat (yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel) sebagai Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut di Yogyakarta.[12]

Sebagai kelompok Wakil KSAL, Letnan Kolonel R.B.N. Djajadiningrat beserta beberapa perwira stafnya bergabung dengan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kolonel Abdul Haris Nasution yang berkedudukan di daerah Prambanan, Sleman. Djajadiningrat kemudian diangkat sebagai Kepala Staf MBKD, sedangkan kelompok staf lainnya yang terdiri dari perwira-perwira MBU-ALRI Yogyakarta ditempatkan di Imogiri untuk mengadakan komunikasi dengan pasukan-pasukan ALRI yang berada di sekitar Gunung Kidul.[13]

Karier politik sunting

Pada masa awal Kemerdekaan Indonesia, Djajadiningrat telah menjadi anggota Kementerian Penerangan.[2] Selain itu, dia juga menjabat sebagai Direktur Jenderal Urusan Demobilisasi Departemen Transmigrasi, Veteran dan Demobilisasi pada Kabinet Ampera II tahun 1967. Namun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1968, jabatannya sebagai Direktur Jenderal Urusan Demobilisasi digantikan oleh Laksda (Purn.) Dr. Arifin Syukur karena keahliannya sebagai seorang diplomat dibutuhkan oleh pemerintah.[14]

Sebagai seorang diplomat, Djajadiningrat pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Belgia di Brussel periode 1968–1970[15] dan Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet di Moskow periode 1976–1980.[16]

Pada tahun 1971, berdasarkan surat ketetapan No. 20/LPU/1971 tanggal 8 Oktober 1971, Djajadiningrat diangkat oleh Soeharto menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Golongan Karya fraksi ABRI.[17]

Pada tahun 1973, Djajadiningrat menjabat sebagai Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri pada Kabinet Pembangunan II.[18]

Karya sunting

Buku sunting

  • The Beginnings of the Indonesian-Dutch Negotiations and the Hoge Veluwe Talks, tahun 1956[8]

Tanda Kehormatan sunting

Dalam Negeri sunting

Luar Negeri sunting

Catatan sunting

  1. ^ Sebelum tahun 1927, GHS (kemudian menjadi Ika Daigaku) dikenal dengan nama School tot Opleiding van Indische Artsen atau STOVIA. Kemudian pada masa awal kemerdekaan Indonesia berganti nama menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Namun sejak 2 Februari 1950, Pemerintah Republik Indonesia mengubahnya menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ "Daftar Makam tahun 1995-1996". Pahlawan Center. Jakarta: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-07. Diakses tanggal 2018-01-07. 
  2. ^ a b c d Rosidi, 2000, hlm. 193.
  3. ^ a b Sukono, 2009, hlm. 3.
  4. ^ Yusuf, 2008, hlm. 833-835.
  5. ^ a b Muthalib, Erni (2012-04-19). "Silsilah Panembahan Singaperbangsa". Silsilah Keluarga. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-05. Diakses tanggal 2018-01-05. 
  6. ^ Janti, Nur (2017-07-17). "Perempuan Pertama Penerima Bintang Gerilya". Historia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-05. Diakses tanggal 2018-01-05. 
  7. ^ Rasid, 1982, hlm. 12.
  8. ^ a b Djajadiningrat, 1956.
  9. ^ Muthalib, Erni (2013-04-18). "Silsilah Panembahan Singaperbangsa". Silsilah Keluarga. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-06. Diakses tanggal 2018-01-06. 
  10. ^ a b Sukono, 2009, hlm. 12-13.
  11. ^ "Pahlawan Nasional: Laksamana Laut R. Eddy Martadinata". Pahlawan Center. Jakarta: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-07. Diakses tanggal 2018-01-07. 
  12. ^ Jusuf, 1971.
  13. ^ Djamhari, 1967.
  14. ^ "Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1968". Jakarta: Sistem Informasi Perundang-undangan, Sekretariat Kabinet RI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-07. Diakses tanggal 2018-01-07. 
  15. ^ "Mantan Duta Besar". Brussels: Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brussels, Belgia; Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-06-10. Diakses tanggal 2018-01-07. 
  16. ^ "Sejarah KBRI Moskow". Moskow: Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskow, Federasi Rusia; Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-24. Diakses tanggal 2018-01-07. 
  17. ^ Yusuf, 2008, hlm. 830-831.
  18. ^ "Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1976 Tentang Pembentukan Panitia Penyelenggara Konperensi Tingkat Tinggi ASEAN". Jakarta: Sistem Informasi Perundang-undangan, Sekretariat Kabinet RI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-07. Diakses tanggal 2018-01-07.  line feed character di |title= pada posisi 63 (bantuan)
  19. ^ Daftar WNI yang Menerima Anugerah Bintang Jasa Tahun 1964 - 2003 (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2019-09-24. Diakses tanggal 4 Oktober 2021. 
  20. ^ "Eingelangt am 23.04.2012 : Dieser Text wurde elektronisch übermittelt. Abweichungen vom Original sind möglich. Bundeskanzler Anfragebeantwortung" (PDF). Parlament.gv.at. Diakses tanggal 10 February 2019. 
  21. ^ "Djajadiningrat Sig. R.B.I.N., Grande Ufficiale Ordine al Merito della Repubblica Italiana" (dalam bahasa Italia). Diakses tanggal 13 April 2024. 

Bibliografi sunting

  • Djajadiningrat, Idrus Nasir (1956). The Beginnings of the Indonesian-Dutch Negotiations and the Hoge Veluwe Talks. Itacha, New York: Cornell University. OCLC 2593756. 
  • Jusuf, Sudono (1971). Sedjarah Perkembangan Angkatan Laut. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sedjarah ABRI. 
  • Djamhari, Saleh As'ad (1967). M.B.K.D.: Markas Besar Komando Djawa (1948-1949). Jakarta: Lembaga Sedjarah Hankam. OCLC 6604095. 
  • Rosidi, Ajip (2000). Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budayaf (Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi). Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN 9794192597. 
  • Sukono (2009). Dan Toch Maar. Jakarta: Kompas. ISBN 9789797094317. 
  • Yusuf, Ahmad Mukhlis (2008). "Jil.II (1968 - 1971)". Presiden RI Ke II Jendral H.M. Soeharto Dalam Berita. Jakarta: Antara Pusaka Utama. ISBN 9789799258236. 
  • Rasid, Gadis (1982). Maria Ullfah Subadio : Pembela Kaumnya. Jakarta: Bulan Bintang. OCLC 644465153. 
Jabatan diplomatik
Didahului oleh:
Aboeprajitno
Duta Besar Indonesia untuk Belgia
1970–1972
Diteruskan oleh:
Chaidir Anwar Sani
Didahului oleh:
Suryono Darusman
Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet
1976–1980
Diteruskan oleh:
R. M. Mohammad Choesin