Gondang (musik Sunda)

Gondang adalah kakawihan dalam tutunggulan.[1] Seni gondang ini merupakan tradisi seni yang mempertunjukkan proses mengolah padi menjadi beras dengan menggunakan sarana alu dan lesung.[2]

Alat-alat sunting

Alat-alat yang digunakan dalam ngagondang adalah lisung (lesung) dan halu (alu). Lesung adalah wadah penumbuk padi yang bentuknya mirip perahu, panjangnya kira-kira 2 meter dan lebar kurang lebih 0,5 meter. Di setiap ujung lesung ada dua lubang. Lubang pertama memiliki bentuk memanjang untuk menumbuk padi berupa pocongan lima. Lubang kedua bentuknya bulat dan berfungsi untuk memisahkan padi dengan kulitnya. Sedangkan halu (alu) penumbuk padi terbuat dari sebatang kayu yang bulat memanjang berdiameter ± 5 sentimeter dengan panjang kira-kira 2 meter.[2][3] Pada awalnya, seni gondang adalah salah saru bagian upacara untuk menghormati Nyi Pohaci Sanghyang Sri atau Dewi Padi, terutama waktu menumbuk padi pertama kalinya yang juga biasa disebut meuseul Nyai Sri setelah masa panen selesai.[4]

Lagu sunting

Lagu yang dilantunkan banyak yang mengambil dari lagu rakyat atau lagu yang disesuaikan liriknya dengan kebutuhan upacara.[4] Salah seorang kreator atau inovator seni ini adalah Bapak Tatang Kosasih, yang mulai mengolah pertujukannya pada awal tahun 1960-an.[4] Kata-kata dalam lagu tidak hanya menggunakan bahasa Sunda, tetapi juga dicampur dengan bahasa Indonesia. Untuk membedakan dengan kreativitas seni gondang lainnya, gondang buah karya Tatang Kosasih ini terkenal dengan sebutan gondang tidak jangan.[4]

Selain Tatang Kosasi, Mang Koko dan Wahyu Wibisana juga pernah membuat Gondang Samagaha atau gerhana. Seni gondang tersebut mengisahkan kegiatan para pemuda ketika terjadi gerhana yang diiringi gamelan laras pelog dan laras salendro.[4] Pada dasarnya, sekar atau lagu yang digunakan dalam kesenian gondang menggunakan sekar tandak. Karena lagu-lagu yang dinyanyikan sesuai dengan ketukan dan wiletan. Didalam lagu-lagu tersebut, merupakan irama yang sudah ada sebelumnya pada lagu-lagu karya Mang Koko, di dalam penyajian gondang, hanya tergolong dua bentuk saja, yaitu penyajian gending dan penyajian sekar gending. Karawitan gending yang dipertunjukan secara khusus untuk tutunggulan ketika berlangsung, yaitu ada pada awal pertunjukan, pada bagian tengah saat lagu berhenti sejenak dan saat akhir pertunjukan. Sedangkan sajian sekar gending atau campuran terdapat di awal pertunjukan hingga menjelang akhir pertunjukan.[5] Dalam tutunggulan terdapat empat jenis musik dominan dan memiliki irama yang unik.

  • Galuntang, dimainkan oleh 4 orang untuk membuka dan menutup pertunjukan.
  • Pingping Hideung, dimainkan oleh 4 orang.
  • Ciganjengan, dimainkan oleh 5 orang.
  • Angin-anginan, dimainkan oleh 7 orang.[2]

Asal-usul sunting

Kesenian ini berkaitan dengan nutu (menumbuk) padi hasil panen masyarakat setempat dengan lesung dan alu. Sebelum adanya teknologi heler (menumbuk padi dengan mesin), kebiasaan ini selalu dilakukan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang banyak. Kegiatan ini selalu dipimpin oleh perempuan yang dituakan atau istri sesepuh adat. Pemimpin tersebut terkenal dengan sebutan ambu atau ema yang dianggap orang yang paling dihormati di mata adat. Kegiatan nutu dilakukan di Saung Lisung yang tidak jauh dari lumbung padi.[6] Berbagai sesaji telah disiapkan, terutama rurujakan dan telur yang harus disimpan pada badan lesung atau sarukna.[3]

Acara dimulai dengan doa yang dipimpin oleh ambu sambil membakar kemenyan. Ambu mulai melantunkan lagu yang berjudul Kaleon sebagai pengundang Dewa Anta untuk hadir dan menyaksikan ritual nutu, dan yang paling utama memohon restu untuk mengundang kembali Dewi Sri. Lesung mulai ditumbuk -tumbuk dengan alu oleh ibu-ibu, sehingga terdengar bunyi gemuruh tapi dalam irama lagu yang berjudul Ungkut-ungkut. Gemuruh suara tutunggulan terdengar semakin pelan dan akan berhenti. Setelah bunyi musik tutunggulan berhenti, Ambu melantunkan tembang Sulanjana. Tembang ini dilantunkan sebagai rasa terima kasih kepada Dewa Anta yang hadir pada upacara nutu yang dilaksanakan. Usai melantunkan Sulanjana, tutunggulan dibunyikan kembali dengan irama yang lebih menarik dan meriah (ngabendrong) dalam lagu yang berjudul Rampes. Lagu ini menggambarkan rasa gembira masyarakat pelaku upacara atas kedatangan Dewa Anta. Setelah itu, Ambu melantunkan lagu yang berjudul Taraje Emas.[3]

Selesai menembangkan Taraje Emas, tutunggulan dibunyikan kembali dalam irama lagu angin-angin. Lagu angin-angin ini memiliki tempo yang pelan. Hentakan alu pada lesung yang keras dan penuh semangat membuat lesung bergoyang. Akibatnya, sesaji yang berupa rujak dan kelapa muda yang ada pada badan lesung tumpah. Hal ini adalah pertanda Dewi Sri telah hadir di tengah-tengah acara. Ambu menyambut kedatangannya dengan lagu Lutung Luncat. Selanjutnya, sebagai perhormatan kepada Dewi Sri dibawakan lagu yang berjudul Kukupu Diadu yang secara instrumental melalui bunyi musik tutunggulan. Lamanya lagu ini dimainkan tergantung keluarnya keringat dari para peserta upacara. Apabila sudah berkeringat, pertanda bahwa penghormatan yang dilakukan kepada Dewi Sri telah sampai dan diterima.[3]

Fungsi sunting

  • Sebagai tanda kepada masyarakat apabila ada yang meninggal dunia pada hari Sabtu. Tapi, untuk fungsi ini Gondang hanya menabuh lesung dan alu saja tidak disertai dengan kakawihan.
  • Sebagai pernghormatan kepada Dewi Sri atau Nyai Pohaci Sanghyang Sri ketika musim panen padi berlangsung.
  • Sebagai nutukeun atau menghibur pengantin sunat dalam acara khitanan.
  • Sebagai tanda atau simbol ketika ada samagaha atau gerhana.[7]

Referensi sunting

  1. ^ Danadibrata,R.A.2006.Kamus Basa Sunda.Bandung:Kiblat Kaca 232
  2. ^ a b c "Gondang-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-01. Diakses tanggal 2020-09-05. 
  3. ^ a b c d "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-11-05. Diakses tanggal 2020-09-06. 
  4. ^ a b c d e doddi@jagoan.net, [jagoan, Doddi Sudartha. "Portal Komunitas Sunda". SundaNet.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-01. Diakses tanggal 2023-03-29. 
  5. ^ Budiarti, Astri (2013). "Kesenian Gondang Grup Lingkung Seni Putra Badingkut di Kampung Citimbun Desa Dungusiku Kecamatan Leuwigoong Kabupaten Garut". SWARA (dalam bahasa Inggris). 1 (3). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-25. Diakses tanggal 2020-09-06. 
  6. ^ "Gondang Buhun". DISPAR (dalam bahasa Inggris). 2017-04-13. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-04. Diakses tanggal 2020-09-07. 
  7. ^ R. Irma, Enden (3 September 2009). "Perkembangan Kesenian Gondang di Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya". Patanjala. 1 (3): 272 – 282.