Doping adalah berasal dari kata dope, yakni campuran obat-obatan dengan narkotika yang pada awalnya digunakan untuk olahraga pacuan kuda di Inggris. Doping merujuk pada konsumsi obat atau bahan oral atau parenteral kepada seorang olahragawan dalam suatu kompetisi. Tujuan utama konsumsi doping itu untuk meningkatkan prestasi olahraga dengan cara yang tidak wajar. Bahan asing atau obat yang dikonsumsi pun tentunya dalam jumlah yang abnormal atau diberikan melalui jalan yang abnormal.[1] Menurut IOC (Komite Olimpiade Internasional) pada tahun 1990, doping adalah upaya meningkatkan prestasi dengan menggunakan zat atau metode yang dilarang dalam olahraga dan tidak terkait dengan indikasi medis.[2]

Sejarah sunting

Istilah dope pertama kali dikenal pada tahun 1889, yaitu dalam suatu perlombaan ;berkuda di Inggris. Kata dope itu sendiri berasal dari suatu suku bangsa di Afrika Tengah. Pada saat itu, doping belum menjadi masalah. Kasus kematian karena doping pertama kali terjadi pada tahun 1886 (pada saat itu belum dikenal istilah doping), yaitu pada olahraga balap sepeda dari kota Bordeaux di Perancis ke Paris yang menempuh jarak sejauh 600 km. Seorang pembalap meninggal karena diberikan obat untuk meningkatkan kemampuan oleh pelatihnya. Sejarah penggunaan doping dalam olahraga dimulai lebih kurang sejak abad ke-19 pada olahraga renang, dan yang paling sering dijumpai adalah pada olahraga balap sepeda. Saat itu, obat-obat yang populer adalah jenis kafein, gula yang dilarutkan ke dalam ether, minuman beralkohol, nitrogliserin, heroin, dan kokain. Pada tahun 1910, gerakan anti doping pada olahraga mulai timbul setelah seorang Rusia menemukan cara pemeriksaan doping, dan pada saat itu doping mendapat tantangan dari masyarakat karena bahaya yang ditimbulkan. Setelah mengetahui akan bahayanya, kampanye pemberantasan doping mulai diadakan. Selanjutnya, masyarakat mulai mengerti pentingnya pencegahan doping pada atlet sehingga tahun 1972 diadakan pemeriksaan doping secara resmi pada Olimpiade Musim Dingin di Grenoble. Akan tetapi, meskipun cara pemeriksaan doping ataupun bahayanya telah diketahui, hingga saat ini penggunaan doping tetap dilakukan oleh para atlet dengan alasan bahwa atlet tidak mengerti atau tidak mau mengerti akan bahaya doping, keinginan atlet untuk menang dengan cara apa pun, rangsangan hadiah bila menang, atlet merasa yakin bahwa obat yang mereka pergunakan adalah hal baru yang tidak dapat dideteksi dalam air seninya.[3]

Jenis sunting

Jenis doping yang umum digunakan adalah sebagai berikut.

Morfin sunting

Morfin sangat berpengaruh terhadap SSP (System Syaraf Pusat) berupa analgesia, untuk meningkatkan perubahan mood yang tidak menentu, rasa kantuk luar biasa, dan depresi pernafasan. Apabila morphine berada pada saluran pencernaan dapat mengakibatkan penurunan motilitas usus, nausea serta emesis. Selain itu juga ada orang kaya mengalami keracunan hingga berakibat koma, miosis dan depresi pernafasan.[4]

Steroid anabolik sunting

Para atlet mengonsumsi jenis steroid anabolik untuk meningkatkan massa dan kekuatan otot. Dalam tubuh, jenis steroid anabolik adalah testosteron. Steroid anabolik dikonsumsi dengan tujuan memodifikasi testosteron secara sintetis. Banyak atlet terjebak mengonsumsi obat ini karena dapat mengurangi rasa nyeri dan pemulihan cepat pada otot setelah melakukan olahraga.[5]

Doping jenis ini dalam sistem kardiovaskuler akan mengakibatkan kolesterol HDL menurun dan peningkatan secara tiba-tiba, metabolisme hati akan rusak dan rentan terkena penyakit tumor hati, untuk reproduksi laki-laki berakibat pada penurunan produksi dan mobilitas sperma. Sedangkan pada wanita akan menimbulkan ammenorhea, penyakit HIV dan AIDS karena infeksi jarum suntik yang tidak steril, mengalami rasa depresi, dan menimbulkan jerawat berlebih pada wajah.[6]

Hormon Peptida sunting

Jenis doping ini dapat menyebabkan tremor, hipertensi, kecemasan, resiko pembekuan darah, stroke dan resiko meningkatnya serangan jantung.[4]

Penyekat beta sunting

Jenis doping ini digunakan untuk menurunkan tingkat denyut jantung biasanya digunakan untuk nomor panahan atau menembak. Jenis doping ini mempunyai efek samping gangguan tidur, turunnya tekanan darah, dan penyempitan saluran pernafasan.[4]

Steroid sintetis sunting

Jenis ini disebut juga designer drugs adalah obat yang bisa meloloskan penggunanya dari deteksi tes doping. Zat ini secara khusus dibuat untuk atlet tanpa izin legal secara medis. Dampak dari mengkonsumsinya bisa mengancam kesehatan tubuh atlet itu sendiri.[5]

Diuretik sunting

Obat diuretik apabila dikonsumsi akan menyebabkan sering buang air kecil. Hal ini terjadi untuk membantu mencairkan obat doping yang telah masuk ke dalam tubuh. Selain itu, diuretik juga dapat menurunkan berat badan untuk kebutuhan cabang olahraga tertentu yang menggunakan berat badan untuk indikator pertandingan.[7] Efek samping obat ini adalah pusing, tekanan darah drop, kram hingga mengalami ketidakseimbangan elektrolit.[5]

Doping darah sunting

Doping darah merupakan sebuah proses menambah sel darah merah dengant ujuan mengalirkan oksigen ke paru-paru dan otot dengan jumlah yang banyak. Caranya bisa melalui transfusi darah atau konsumsi obat yang mengandung erythropoietin. Tujuan konsumsi doping darah dapat memperpanjang daya tahan performa atletik dalam suatu pertandingan. Ketika oksigen banyak, atlet bisa lebih stabil dan tidak cepat kelelahan. Konsumsi obat erythropoietin bukan untuk keperluan medis justru dikhawatirkan akan mengalami penggumpalan darah hingga kematian.[5]

Efedrin sunting

Jenis obat ini merupakan stimulan bagi sistem saraf yang ada pusat. Efeknya hampir sama dengan adrenalin. Efek samping doping jenis ini dapat menyebabkan masalah stroke, jantung dan masalah akut lainnya.[5]

Hormon pertumbuhan sunting

Jenis ini adalah obat yang ditujukan untuk anak-anak yang mengalami masalah pertumbuhan secara lami. Sebab, cara kerjanya bisa membuat stimulasi reproduksi dan regenerasi sel. Secara ilegal, atlet sangat mengharapkan keuntungan dari konsumsi human growth hormone supaya performanya semakin kuat. Namun, HGH termasuk salah satu doping yang dilarang karena dapat menyebabkan komplikasi seperti penyakit kronis hingga pembesaran organ.[5]

Zat sunting

Zat yang terkandung dalam doping adalah sebagai berikut.

Stimulan sunting

Obat-obat golongan ini memberi efek untuk merangsang sistem saraf agar meningkatkan impuls, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan, mengurangi rasa lelah, kemungkinan meningkatkan rasa bersaing dan sikap bermusuhan. Beberapa contoh obat golongan ini diantaranya amphetamine, kokain, kafein, ophedrine, efedrin, amiphemazole.

Narkotika sunting

Obat-obat golongan ini memberi efek menghilangkan rasa sakit. Beberapa contoh golongan obat ini diantaranya morfin, kodein, diamorfin (heroin), dipapon, metadon, nalbufin, petidin.

Cannabinoid sunting

Zat ini adalah bahan kimia psikoaktif berasal dari tanaman ganja yang menyebabkan perasaan relaksasi. Contohnya cannabis, hashish, marijuana.

Glukokortikosteroid sunting

Dalam pengobatan konvensional, glukokortikosteroid digunakan terutama sebagai obat anti-inflamasi dan untuk meringankan rasa sakit. Mereka umumnya digunakan untuk mengobati asma, demam, peradangan jaringan dan rheumatoid arthritis. Glukokortikosteroid dapat menghasilkan perasaan euforia, berpotensi memberikan keuntungan yang tidak adil pada atlet. Atlet biasanya menggunakannya untuk menutupi rasa sakit yang dirasakan dari cedera dan penyakit. Beberapa contohnya antara lain deksametason, flutikason, prednison, triamsinolon, asetonid don rofleponid.

Alkohol dan Penyekat Beta sunting

Zat yang biasa digunakan atlet olahraga tanpa aktivitas fisik seperti panahan can catur. Efek obat ini adalah mengontrol tekanan darah tinggi, aritmia (irama jantung tidak beraturan), angina pectoris (nyeri dada) dan migrain. Beberapa contohnya acebutolol, betaxolol, carteolol, celiprolol, esmolol, labetalol, metipranolol, nadolol, oxprenolol, pindolol, timolol.[8]

Badan sunting

Tujuan awal dari penanganan penggunaan doping di kalangan atlet adalah mencakup 3 prinsip dasar yaitu perlindungan kesehatan atlet, bentuk rasa hormat akan kode etik kedokteran dan keolahragaan dan kesetaraan persaingan yang sehat untuk para atlet dalam pertandingan.[9]

Badan anti doping yang pertama adalah WADA (World Anti Doping Agency). WADA merupakan badan anti doping dunia yang memiliki tugas untuk mencegah penggunaan doping di tingkat dunia. Kedua, LADI (Lembaga Anti Doping Indonesia) merupakan badan anti doping di lndonesia yang telah resmi berganti nama menjadi Indonesia Anti-Doping Organization (IADO) setelah dinyatakan bebas dari jatuhan hukuman oleh pimpinan.[10] Dasar kerja WADA dan LADI harus mengacu kepada The World Anti Doping Code yang telah dideklarasikan ke Copenhagen pada tanggal 5 Maret 2003. Penekanan program WADA dan LADI hanya melaksanakan tes doping kepada para atlet olahraga yang kompetitif akan dilakukan di luar kompetisi dan diambil pesertanya secara acak.[11]

Kasus di Indonesia sunting

Kasus doping yang pernah terjadi sangat memilukan bagi dunia olahraga. Kasus doping pertama menimpa Arif Rahman Nasir menjadi salah satu atlet Indonesia yang terbukti mengonsumsi doping. Atlet kempo tersebut terbukti menggunakan doping dengan jenis anabolic steroid methandienone pada kejuaraan Sea Games 2011. Pada saat itu, Arif sebenarnya mampu meraih medali emas di cabang olahraga (cabor) kempo di nomor Kyu Kenshi. Setelah terbukti menggunakan doping, Arif diharuskan untuk mengembalikan medali emas yang telah diraihnya pada saat itu. Hal tersebut tentu mencoreng nama Indonesia yang menjadi tuan rumah.[12] Kasus kedua terjadi pada tahun 2013, atlet asal Indonesia terbukti menggunakan doping pada cabang olahraga renang, atas nama Indra Gunawan. Dia terbukti menggunakan obat-obatan jenis Methylhexaneamine. Pada saat itu, Indra Gunawan tampil mewakili Indonesia bertanding di Asian Indoor and Martial Arts Games (AIMAG) tahun 2013 nomor 50 meter gaya dada. Indra harus rela gelar juaranya dihapuskan dan harus menerima hukuman larangan bertanding selama dua tahun di seluruh ajang internasional.[12] Kasus ketiga dialami oleh perenang yang bertanding di nomor estafet gaya bebas di Asian Indoor and Martial Arts Games (AIMAG) 2013, Guntur Pratama, juga terbukti menggunakan Methylhexaneamine. Hukuman yang didapatkan oleh Guntur pun setimpal dengan yang didapatkan oleh Indra.[12] Akibat perbuatannya , Indra dan rekannya yang lain terkena hukuman larangan selama dua tahun oleh FINA yang telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 2013. Secara internal para pelanggar bisa dijatuhi hukuman larangan mengikuti lomba selama tiga bulan oleh Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI). Namun karena adanya miskomunikasi antara LADI dengan FINA, sanksi itu berubah menjadi berlipat dan semua gelar yang diperoleh Indra dan rekannya dinyatakeun hangus kaasup medali SEA Games 2013 Myamnar.[13] Kasus keempat terjadi ketika WADA menjatuhkan sanksi kepada LADI pada tanggal 7 Oktober 2021 karena tidak melakukan pemberian sampel doping dan tidak memenuhi ambang batas tes doping yang dilaksanakan tahunan. Hukuman berlaku dalam satu tahun. Akibat sanksi itu, Indonesia dilarang mengibarkan bendera Merah-Putih dalam kejuaraan single event dan multievent internasional.[14] Sejak dijatuhkan sanksi, Indonesia terus berusaha untuk melengkapi persyaratan dari WADA, termasuk melakukan kegiatan tes doping yang memenuhi ambang batas tahunan serta menyelesaikan masalah administrasi LADI, sehingga Indonesia terbebas dari sanksi dan kurun waktu kurang lebih empat bulan.[15]

Rujukan sunting

  1. ^ Nurliani; Asyhari, Hasbi (2021). Gizi Olahraga. Pekalongan: Penerbit NEM. hlm. 89. ISBN 9786235668185. 
  2. ^ Az-Zahra, Hanaya (2021-10-26). "Penggunaan Doping dalam Dunia Olahraga". GEOTIMES. Diakses tanggal 2022-02-08. 
  3. ^ Giriwijoyo, Santosa; Ray, Hamidie Ronald Daniel; Sidik, Dikdik Zafar (2020). Kesehatan, Olahraga, dan Kinerja. Jakarta: Bumi Medika. hlm. 141. ISBN 978-602-6711-10-6. 
  4. ^ a b c Royana, Ibnu Fatkhu (2016). "Doping dalam Olahraga". Jendela Olahraga (dalam bahasa Inggris). 1 (1 Juli): 5. doi:10.26877/jo.v1i1. ISSN 2579-7662. 
  5. ^ a b c d e f Azelia, Trifiana (2021). "Mengenal Doping dalam Olahraga dan Risikonya". SehatQ. Diakses tanggal 2022-02-07. 
  6. ^ Jakarta), Sekar Putri Ayuning (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah (2021). "Bahaya Penggunaan Doping Terhadap Kesehatan Atlet". VIVA.co.id. Diakses tanggal 2022-02-08. 
  7. ^ Budiawan, Made (2013). "Doping dalam Olahraga". Prosiding Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013 (dalam bahasa Inggris) (333). 
  8. ^ Sari, Reno Siska; Masitho, Shinta (2020). Peran Kurkumin Terhadap Delayed Onset Muscle Sorness Setelah Aktivitas Eksentrik. Jawa Timur: uwais insirasi indonesia. hlm. 62. ISBN 978-623-227-471-6. 
  9. ^ Mutohir, Toho Cholik; Pramono, Made (2021). Kajian Ilmu Keolahragaan Ditinjau Dari Filsafat Ilmu. Sidoarjo: Zifatama Jawara. hlm. 67. ISBN 978-623-7748-68-7. 
  10. ^ Suteja, Jaja (2022-02-05). "Bebas dari Sanksi WADA, LADI Ubah Nama Jadi IADO". beritasatu.com. Diakses tanggal 2022-02-09. 
  11. ^ Permana, Dian; Praetyo, Arif Fajar (2021). Psikologi Olahraga: Pengembangan Diri dan Prestasi. Indramayu: Penerbit Adab. hlm. 88. ISBN 9786235687261. 
  12. ^ a b c Herdana, Muammar Yahya (2021-12-30). "3 Atlet Indonesia yang Ketahuan Menggunakan Doping, Nomor 1 Peraih Emas SEA Games". iNews.ID. Diakses tanggal 2022-02-08. 
  13. ^ Novitasari, Devi (2015-11-12). "3 Atlet Indonesia yang Tersandung Kasus Doping". INDOSPORT.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-08. 
  14. ^ Prambadi, Gilang Akbar (2022-02-04). "Sanksi Larangan Pengibaran Bendera Indonesia di Ajang Olahraga Resmi Dicabut". Republika Online. Diakses tanggal 2022-02-09. 
  15. ^ Perdana, Rizky (2022-02-05). "WADA Akhirnya Cabut Sanksi, Bendera Indonesia Bisa Berkibar Lagi - PRFM News". prfmnews.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 2022-02-09. 

Pranala luar sunting