Bingky Irawan (7 Februari 1952 – 31 Mei 2021) adalah seorang pemuka Konghucu dan tokoh pejuang emansipasi penganut ajaran Konghucu di Indonesia.

Bingky saat ini adalah anggota presidium Matakin. Matakin singkatan dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk agama Islam. Matakin mengurus berbagai hal seputar Konghucu dari Sabang sampai Merauke, mulai dari soal ritual, rumah ibadah (kelenteng), hingga hubungan antaragama dan pemerintah. Ia juga adalah mantan ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin) Jawa Timurdan mantan pengurus Kelenteng Boen Bio di Jl Kapasan Surabaya.

Bingky dikenal sangat dekat dengan KH Abdurrahman Wahid, mantan presiden Republik Indonesia sekaligus kiai senior Nahdlatul Ulama. Ia memperjuangkan hak-hak sipil umat Konghucu dan warga Tionghoa umumnya.

Pada era Orde Baru, warga keturunan Tionghoa di Indonesia mengalami diskriminasi hampir di segala bidang. Ekspresi budaya Tionghoa dilarang keras. Harus ganti nama dan ganti agama. Rezim Orde Baru hanya membakukan lima agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha) sebagai agama resmi. Di luar lima itu dianggap bukan agama, termasuk Konghucu. Para penganut ajaran Konghucu ini juga diawasi secara ketat, termasuk ketika beribadah di kelenteng masing-masing.

Berdasar catatan Irianto Subiakto dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sedikitnya ada 50 peraturan perundangan-undangan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia. Sebut saja Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Tionghoa. Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan, dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf, aksara, dan bahasa Tionghoa. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37 Tahun 1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Tionghoa.

Saat menjadi Presiden Indonesia, Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Keppres ini mengatur antara lain penyelengaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Pada tahun 2001 Gus Dur kembali membuat gebrakan dengan menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif. Gus Dur sendiri hadir dalam perayaan Imlek tingkat nasional di Jakarta.

Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid kemudian diteruskan oleh Megawati Soekarnoputri, penggantinya. Presiden Megawati menetapkan Tahun Baru Imlek alias Sin Cia sebagai hari libur nasional. Ekspresi budaya, agama, seni, bahasa, dan segala sesuatu yang berbau Tionghoa pun bisa dinikmati di tanah air.

Kasus Hak Sipil Pengantin Konghuchu sunting

Menjelang kejatuhan Orde Baru Bingky Irawan bersama umat Konghucu menghadapi masalah serius menyangkut hak-hak sipil. Ada sepasang pengantin beragama Konghucu, Budi Wijaya dan Lanny Guito, menghadapi masalah besar saat hendak mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil Surabaya.

Pegawai Catatan Sipil menolak karena agama Konghucu tidak diakui di Indonesia. Seperti diketahui, pemerintah hanya mengakui lima 'agama resmi'. Budi-Lanny pun diminta untuk memilih salah satu dari lima agama itu agar pernikahannya bisa dicatat dan diakui negara. Praktik ini sudah dianggap 'lazim' selama Orde Baru.

Hampir semua umat Konghucu terpaksa main sandiwara dengan 'mengganti' agamanya di depan pejabat Catatan Sipil hanya untuk melegalisasi pernikahannya. Begitu pula untuk beroleh selembar kartu tanda penduduk (KTP) atau surat-surat lain yang punya kolom agama.

Budi dan Lanny yang baru saja melangsungkan pernikahan di kelenteng Konghuchu menolak kebijakan Catatan Sipil (Dinas Kependudukan) yang diskriminatif itu. Keduanya nekat mengajukan gugatan resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Disebut 'nekat' karena sebelumnya tidak ada orang Konghucu atau penganut agama/kepercayaan di luar lima agama resmi yang berani mempertanyakan kebijakan pemerintah di bidang administrasi kependudukan.

Sebagai pemuka Konghucu, Bingky Irawan harus mengawal dan mendampingi kedua jemaatnya yang masih muda itu. Ia menekankan permintaan agar pernikahan umat Konghucu dicatat seperti juga umat yang beragama lain.

Sidang kasus Budi-Lanny ini mendapat sorotan luas dari media massa. Polemik, perbedaan pendapat, muncul dari berbagai tokoh. Boleh dikata, sebagian besar pembicara menganggap tepat kebijakan Catatan Sipil yang menolak mengakui pernikahan Budi-Lanny. Polemik kemudian melebar seputar layak tidaknya Konghuchu disebut agama. Saat itulah Gus Dur muncul dengan pembelaannya yang terbuka terhadap umat Konghucu, khususnya Budi dan Lanny.

Tak hanya itu, Gus Dur menyatakan siap menjadi saksi ahli di PTUN untuk membela Budi dan Lanny. Tawaran Gus Dur ini jelas tak disia-siakan oleh Bingky Irawan dan para aktivis Konghucu di Jawa Timur. Ketika saatnya tiba, Gus Dur akhirnya benar-benar tampil sebagai saksi ahli di pengadilan. Bobot politik sidang warga negara biasa ini pun menjadi sangat tinggi karena media massa memberitakan kasus ini secara luas. Dari kejadian inilah maka Bingky menjadi dekat dengan Gus Dur.

Biodata sunting

  • Nama: Bingky Irawan alias Poo Sun Bing
  • Tempat/tanggal lahir: Surabaya, 7 Februari 1952
  • Istri: Susilowati
  • Anak: Puspita Sari, Agus Purwanto, Agus Cahyono, Agus Kurniawan
  • Alamat: Jl Raya Sepanjang, Taman, Sidoarjo
  • Pekerjaan: Pengusaha, Agamawan Konghucu

Pendidikan sunting

Karier/Aktivitas sunting

Pranala luar sunting