Barisan Tani Indonesia

Organisasi Tani Indonesia (1945-1966)

Barisan Tani Indonesia (BTI) adalah salah satu organisasi kemasyarakatan yang didirikan oleh petani pada masa awal kemerdekaan. BTI sering diidentifikasi sebagai sebuah entitas di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun keduanya memiliki kesamaan yang mencolok, terutama dalam hal visi pergerakan, sejarah BTI sebenarnya memiliki akar yang berbeda dengan PKI yang mendirikan Rukun Tani Indonesia (RTI).

Barisan Tani Indonesia
Berdiri25 November 1945
Tanggal pembubaran12 Maret 1966
Anggota5,7 juta (1962)
AfiliasiPartai Komunis Indonesia
Tokoh pentingMoch. Tauchid, Wijono Suryokusumo, Suro Sardjono, Djadi, Asmu, Sajoga
NegaraIndonesia

Sejarah sunting

Pembentukan dan Latar Belakang sunting

Terbentuknya BTI dimulai dengan pertemuan para petani dan buruh di Surakarta pada tanggal 5-7 November 1945. Tokoh-tokoh petani seperti Moch. Tauchid, Wijono Suryokusumo, Suro Sardjono, Djadi, Asmu, dan Sajoga sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang kemudian diberi nama Barisan Tani Indonesia (BTI). Keputusan ini kemudian dibahas kembali dan resmi disahkan pada kongres petani di Yogyakarta pada tanggal 22-25 November 1945. Pada awalnya, BTI merupakan kelompok kader petani yang dipimpin oleh Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta.[1] Alasan dibalik pendirian BTI beragam, namun salah satunya yang mencolok adalah keyakinan bahwa revolusi kemerdekaan tahun 1945 akan membawa pembebasan dari kemiskinan bagi rakyat. Oleh karena itu, partisipasi seluruh rakyat dalam revolusi dengan berorganisasi dan mempersiapkan alat perjuangan dianggap penting. Mengingat bahwa golongan petani merupakan bagian terbesar dari rakyat, mereka diharapkan untuk turut serta dalam revolusi dengan peranan yang signifikan.

Prinsip dan Metode Perjuangan sunting

Sejak awal, BTI telah mengadopsi sikap anti-imperialisme dan anti-feodalisme sebagai prinsip dasar dan metode perjuangannya, yang dijalankan secara revolusioner. Organisasi ini juga berjuang berdasarkan pertentangan dan stratifikasi kelas dalam masyarakat. BTI berupaya mewujudkan masyarakat yang diidamkan melalui prinsip pengelolaan tanah yang didasarkan pada kepemilikan pribadi. Bagi BTI, perjuangan petani atas tanah adalah upaya untuk memperoleh tanah secara individu. Berdasarkan prinsip ini, sebagian tokoh BTI memilih untuk bergabung dengan PKI pada tahun 1953, dan kemudian menyatu dengan RTI dan Sarekat Tani Indonesia (Sakti), namun tetap mempertahankan nama BTI.[2]

Fusi dengan PKI dan Konsekuensinya sunting

Proses penggabungan tersebut menyebabkan pecahnya BTI. Sebanyak 122 suara mendukung penggabungan, sementara 8 suara menentangnya. Anggota-anggota pengurus pusat BTI seperti Mochammad Tauchid, Mr. Tandiono Manu, Muntalif, dan Ismail, bersama dengan perwakilan dari cabang-cabang di Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, dan Lampung Tengah menolak penggabungan, yang berujung pada penghentian kongres. Akibatnya, Mohammad Tauchid tidak lagi diakui sebagai perwakilan BTI di parlemen.

Peran dan Pengaruh BTI Pasca-Fusi sunting

Pada bulan Juli 1962, jumlah anggota BTI mencapai 5,7 juta orang, yang pada saat itu konon merupakan seperempat dari total jumlah petani dewasa.[3] Melalui propaganda yang disuarakan oleh PKI, BTI mengangkat isu stratifikasi sosial petani dan nelayan di desa. Salah satu jargon yang terkenal dari BTI setelah bergabung dengan PKI adalah "Ganyang Tujuh Setan Desa". Konsep ini didasarkan pada penelitian D.N. Aidit mengenai kelas-kelas petani dan nelayan di desa-desa Jawa Barat. Tujuh setan desa yang dimaksud mencakup tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak, kapitalis, birokrat, dan tani kaya.[4]

Setelah bergabung dengan PKI, BTI seringkali terlibat dalam berbagai aksi progresif menentang pemerintah. Sebagai contoh, pada tahun 1951, 54 anggota BTI di daerah Lampung ditangkap karena melakukan perusakan hutan. Tanpa izin dari pemerintah, mereka telah menebang lahan hutan seluas 10 hektare untuk kepentingan pertanian ladang dan penanaman kopi.

Dampak Tragedi 1965 dan Pembubaran BTI sunting

Keterlibatan dalam kegiatan PKI membawa BTI terjerat dalam konflik pada tahun 1965. Sebagai bagian dari struktur bawah PKI, BTI tidak bisa menghindari sanksi politik dan hukum yang diberlakukan pasca-tragedi 1965. BTI resmi dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden/Pangti Abri/Mandataris MPRS tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI dan ormas-ormas yang bernaung dan berlindung di bawahnya. Presiden Soekarno juga mencopot para anggota Musyawarah Pembantu Perencanaan Pembangunan Nasional, termasuk Samsir yang merupakan perwakilan dari BTI (Keputusan Presiden No. 104 tanggal 12 Mei 1966). Djadi Wirosubroto, mantan Ketua BTI dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dari Fraksi PKI, juga diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dijatuhi hukuman seumur hidup atas keterlibatannya dalam Gerakan 30 September.

Referensi sunting

  1. ^ Luthfi, Ahmad Nashih (2011). Melacak Sejarah Pemikiran Agraria. Yogyakarta: STPN Press, SAINS dan Pustaka Ifada. hlm. 118. 
  2. ^ Luthfi, Ahmad Nashih (2011). Melacak Sejarah Pemikiran Agraria. Yogyakarta: STPN Press, SAINS dan Pustaka Ifada. hlm. 120–121. 
  3. ^ Ricklefs, M.C. (2007). Sejarah Modern Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 410. 
  4. ^ Aidit, D.N. (1964). Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa. Jakarta: Jajasan Pembaruan. 

Bacaan terkait sunting

  1. Dipa Nusantara Aidit, Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa, Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1964. Unduh (Bebaskan Buku!)