Arsitektur Indonesia

gambaran besar arsitektur indonesia

Arsitektur Indonesia dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya, sejarah dan geografi di Indonesia. Para penyerang, penjajah, dan pedagang membawa perubahan kebudayaan yang sangat mempengaruhi gaya dan teknik konstruksi bangunan.

Masjid Agung Yogyakarta memperlihatkan arsitektur Jawa dan mengambil warisan Hindu yaitu atap Meru.

Banyak rumah adat telah muncul di seluruh kepulauan Indonesia. Rumah-rumah tradisional dan komunitas dari beragam suku bangsa di Indonesia menunjukkan berbagai macam karakteristik, masing-masing dengan latar belakang sejarah yang unik. Rumah-rumah ini memiliki arti sosial yang penting dalam masyarakat dan menunjukkan cara-cara cerdik masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungan mereka dan mengatur ruang hidup mereka.[1]:5

Secara historis, pengaruh India memiliki dampak terbesar pada arsitektur Indonesia. Namun demikian, pengaruh Cina, Arab, dan Eropa juga memainkan peran penting dalam membentuk lanskap arsitektur negara ini. Arsitektur religius mencakup berbagai gaya, mulai dari desain asli hingga masjid, kuil, dan gereja. Istana-istana dibangun oleh para sultan dan penguasa lainnya. Kota-kota di Indonesia memiliki warisan arsitektur kolonial yang terkenal. Pada era pasca kemerdekaan, paradigma baru untuk arsitektur postmodern dan kontemporer telah muncul, menandai perkembangan Indonesia yang merdeka.

Arsitektur adat sunting

Di Indonesia, setiap kelompok etnis biasanya diidentifikasikan dengan gaya rumah tradisionalnya yang unik, yang dikenal sebagai "rumah adat."[2] Rumah-rumah ini berfungsi sebagai pusat jejaring adat istiadat, hubungan sosial, hukum adat, pantangan, mitos, dan praktik keagamaan yang menyatukan penduduk desa. Rumah adat memiliki arti penting karena menjadi titik fokus utama bagi keluarga dan masyarakat luas, serta menjadi titik awal dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para penghuninya.[3] Penduduk desa membangun rumah mereka sendiri, atau dalam beberapa kasus, masyarakat berkolaborasi dan menyatukan sumber daya mereka untuk membangun sebuah bangunan di bawah bimbingan seorang ahli bangunan dan/atau tukang kayu yang terampil.[2]

Sebagian besar populasi di Indonesia memiliki akar dari warisan Austronesia yang sama, dan sebagai hasilnya, rumah-rumah tradisional di Indonesia menunjukkan kesamaan tertentu dengan rumah-rumah yang ditemukan di wilayah Austronesia lainnya. Struktur arsitektur Austronesia yang paling awal adalah rumah panjang komunal yang terbuat dari kayu, ditinggikan di atas panggung, dan dicirikan oleh atap miring yang curam dan atap pelana yang menonjol. Contohnya dapat dilihat pada rumah adat Batak dan Tongkonan Toraja. Variasi konsep rumah panjang komunal juga dapat ditemukan di antara masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Mentawai.[4]

Biasanya, rumah-rumah tradisional Indonesia mengikuti sistem struktur berdasarkan tiang, balok, dan ambang pintu, yang memindahkan beban langsung ke tanah. Dindingnya, biasanya terbuat dari kayu atau bambu, tidak menanggung beban struktural apa pun. Alih-alih menggunakan paku, metode konstruksi tradisional mengandalkan sambungan tanggam dan duri serta pasak kayu. Bahan-bahan yang biasa digunakan di rumah adat, termasuk kayu, bambu, ilalang, dan ijuk.[5] Sebagai contoh, rumah-rumah adat di Nias menggunakan konstruksi tiang, balok, dan ambang pintu dengan sambungan yang fleksibel dan tidak memerlukan paku. Demikian pula, dinding yang tidak menahan beban adalah karakteristik umum dari rumah adat di seluruh Indonesia.

Rumah adat di Indonesia telah berevolusi sebagai respons terhadap iklim muson yang panas dan lembab. Mengikuti praktik umum di Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sebagian besar rumah adat dibangun di atas panggung, kecuali di Jawa dan Bali.[2] Meninggikan rumah dari tanah memiliki beberapa tujuan: memungkinkan ventilasi alami untuk mendinginkan suhu tropis, melindungi dari limpasan air hujan dan lumpur, memungkinkan pembangunan di dekat sungai dan lahan basah, melindungi penghuni, barang, dan makanan dari basah dan kelembapan, mengangkat ruang hidup dari nyamuk pembawa penyakit malaria, dan mengurangi risiko pembusukan dan serangan rayap.[6]

Atap yang miring secara efektif menumpahkan hujan tropis yang deras, sementara atap yang menjorok ke dalam mencegah air masuk ke dalam rumah dan memberikan keteduhan dari panas.[7] Di daerah pesisir dataran rendah yang ditandai dengan kondisi panas dan lembab, rumah-rumah sering kali memiliki banyak jendela untuk memfasilitasi ventilasi silang. Sementara itu, di daerah pegunungan yang lebih sejuk, rumah-rumah biasanya memiliki atap yang luas dan lebih sedikit jendela untuk beradaptasi dengan iklim pegunungan.[3]

Contoh-contoh sunting

Berbagai rumah adat di Indonesia memiliki arti penting dan menampilkan fitur-fitur yang unik:

  • Rumoh Aceh merupakan rumah adat termegah di Aceh.
  • Arsitektur Batak di Sumatera Utara menampilkan rumah jabu berbentuk perahu dari orang Batak Toba, yang ditandai dengan ukiran atap pelana yang rumit, atap yang besar, dan desain yang kuno.
  • Orang Minangkabau di Sumatera Barat membangun Rumah Gadang, yang terkenal dengan atap pelana yang banyak dengan ujung bubungan yang mencolok.
  • Rumah Nias termasuk omo sebua, rumah kepala suku yang dibangun di atas pilar kayu ulin yang kokoh dengan atap yang menjulang tinggi, memberikan pertahanan terhadap perang suku dan ketahanan terhadap gempa yang telah terbukti melalui konstruksi tanpa paku yang fleksibel.
  • Rumah Melayu, yang ditemukan di Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya, dibangun di atas panggung.
  • Wilayah Riau memiliki desa-desa yang dibangun di atas rumah panggung di atas saluran air.
  • Rumah tradisional Jawa, tidak seperti kebanyakan rumah adat Asia Tenggara, tidak ditinggikan di atas tiang dan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat dari elemen arsitektur Eropa.
  • Bubungan Tinggi, dengan atapnya yang miring dan curam, mewakili rumah-rumah besar milik bangsawan Banjar di Kalimantan Selatan.
  • Rumah adat Bali terdiri dari bangunan terbuka di dalam kompleks taman yang berdinding, termasuk area terpisah untuk dapur, tempat tidur, kamar mandi, dan tempat pemujaan.
  • Orang Sasak di Lombok membangun lumbung, lumbung padi beratap tajuk yang dibangun di atas tiang-tiang, yang sering kali lebih rumit daripada rumah mereka.
  • Orang Dayak secara tradisional tinggal di rumah panjang komunal yang dibangun di atas tiang pancang, terkadang panjangnya melebihi 300 meter dan membentuk satu desa.
  • Orang Toraja di dataran tinggi Sulawesi terkenal dengan rumah tongkonan mereka, ditinggikan di atas tiang dan dibedakan dengan atap pelana besar dengan luas yang dilebihkan.
  • Rumah adat di Sumba memiliki atap jerami yang berbeda yang menyerupai topi tinggi dan dihiasi dengan beranda yang terlindung.
  • Suku Dani Papua tinggal di kompleks keluarga kecil yang terdiri dari beberapa gubuk melingkar yang dikenal sebagai honai, dengan atap kubah jerami.

Jumlahnya yang menurun sunting

Prevalensi rumah adat telah menurun di seluruh Indonesia. Kecenderungan ini dapat ditelusuri kembali ke era kolonial ketika pemerintah Belanda memiliki pandangan negatif terhadap arsitektur tradisional. Mereka menganggapnya tidak higienis dan mengaitkannya dengan praktik-praktik keagamaan tradisional yang mereka anggap meragukan.[8] Akibatnya, pemerintah kolonial memulai program pembongkaran, menggantikan rumah-rumah tradisional dengan bangunan yang dibangun menggunakan teknik bangunan Barat.[9] Rumah-rumah baru ini menggunakan material seperti batu bata dan atap besi bergelombang, serta fasilitas sanitasi dan ventilasi yang lebih baik. Para pengrajin tradisional juga dilatih dalam metode konstruksi Barat. Bahkan setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia terus mempromosikan konsep "rumah sehat sederhana" sebagai alternatif yang lebih disukai daripada rumah adat.[10]

Dampak dari ekonomi pasar telah membuat pembangunan rumah adat yang bersifat padat karya, seperti rumah Batak, menjadi semakin mahal. Di masa lalu, masyarakat akan berkolaborasi untuk membangun rumah baru, tetapi dengan perubahan yang disebabkan oleh ekonomi pasar, praktik ini menjadi sangat mahal.[9] Ketersediaan kayu keras, yang dulunya dapat diperoleh dengan mudah dari hutan-hutan di sekitar rumah, juga menjadi langka dan mahal. Akibatnya, mayoritas orang Indonesia sekarang tinggal di bangunan modern yang umum daripada rumah adat.

Arsitektur Hindu-Budha sunting

Arsitektur religius telah berkembang di seluruh Indonesia, tetapi perkembangannya yang paling menonjol terjadi di Jawa. Sejarah sinkretisme agama yang kaya di pulau ini memengaruhi gaya arsitekturnya, sehingga memunculkan interpretasi khas Jawa terhadap arsitektur Hindu, Buddha, Islam, dan pada tingkat yang lebih rendah, arsitektur Kristen.

Selama masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia antara abad ke-8 dan ke-14, Jawa menjadi saksi pembangunan berbagai bangunan keagamaan yang rumit yang dikenal dengan sebutan "candi". Candi-candi kuno di Jawa menunjukkan kehebatan arsitektur dari era ini. Dataran Tinggi Dieng merupakan rumah bagi candi-candi Hindu paling awal yang masih ada di Jawa, meskipun hanya 8 dari 400 bangunan yang diduga asli yang masih ada saat ini. Candi-candi Dieng awal ini relatif sederhana dalam ukuran dan desain. Namun, kemajuan arsitektur terus berlanjut, dan dalam satu abad, Kerajaan Mataram membangun kompleks Prambanan yang mengesankan di dekat Yogyakarta, yang dianggap sebagai contoh arsitektur Hindu terbesar dan termegah di Jawa.

Borobudur yang terkenal, sebuah monumen Buddha yang terdaftar sebagai situs Warisan Dunia, dibangun oleh Dinasti Sailendra antara 750 dan 850 Masehi. Terlepas dari kemegahannya, monumen ini ditinggalkan tak lama setelah selesai dibangun karena kemunduran agama Buddha dan pergeseran kekuasaan ke arah timur Jawa. Monumen ini memiliki banyak ukiran rumit yang menceritakan sebuah kisah ketika seseorang naik ke tingkat yang lebih tinggi, yang melambangkan perjalanan menuju pencerahan.

Setelah runtuhnya Kerajaan Mataram sebelum 929 Masehi, Jawa bagian timur menjadi titik fokus arsitektur religius, yang menampilkan gaya dinamis yang dipengaruhi oleh ajaran Saiwa, Buddha, dan elemen budaya Jawa. Perpaduan pengaruh ini menjadi ciri khas bangunan keagamaan di seluruh Jawa. Para arkeolog biasanya membedakan antara gaya Jawa Tengah yang lebih monumental dan candi-candi Jawa Timur yang lebih kecil dan tersebar. Namun, Candi Badut di Malang, merupakan contoh candi bergaya Jawa Tengah yang dibangun di luar kawasannya.

Selama era klasik Indonesia, batu bata telah digunakan sampai batas tertentu dalam konstruksi. Namun, para pembangun kerajaan Majapahit-lah yang benar-benar menguasai seni pembuatan batu bata, dengan menggunakan campuran adukan semen (lepa) yang terbuat dari getah pohon anggur dan gula aren. Candi-candi yang dibangun pada masa Majapahit memiliki kualitas geometris yang berbeda, ditandai dengan vertikalitas yang kuat yang dicapai melalui penggunaan garis-garis horizontal secara strategis. Candi-candi ini sering menunjukkan estetika yang ramping dan proporsional, mengingatkan kita pada gaya art-deco. Pengaruh arsitektur Majapahit masih dapat diamati hingga saat ini di banyak pura Hindu yang tersebar di seluruh Bali. Di setiap desa, beberapa pura penting dapat ditemukan, bersama dengan tempat suci dan bahkan pura kecil di dalam rumah keluarga. Meskipun pura-pura ini memiliki beberapa elemen yang sama dengan gaya Hindu yang ditemukan di seluruh dunia, namun mereka memiliki gaya Bali yang unik yang berutang banyak pada era Majapahit.

Arsitektur Bali menggabungkan banyak elemen yang berasal dari tradisi arsitektur Hindu-Buddha kuno, banyak di antaranya dapat ditelusuri kembali ke pengaruh era Majapahit. Fitur-fitur arsitektur ini termasuk paviliun bale, menara Meru, paduraksa, dan gerbang candi Bentar. Gaya arsitektur Hindu-Buddha sebagian besar muncul antara abad ke-8 dan ke-15, dan warisannya terus membentuk arsitektur Bali saat ini.

Namun, perlu dicatat bahwa arsitektur Hindu-Buddha kuno di Jawa juga menjadi sumber inspirasi dan telah diimajinasikan kembali dalam desain arsitektur kontemporer. Contohnya dapat dilihat pada Gereja Ganjuran yang terletak di Bantul, Yogyakarta. Gereja ini menggabungkan kuil seperti candi, yang mengingatkan kita pada arsitektur bergaya Hindu, yang didedikasikan untuk Yesus. Perpaduan pengaruh ini menyoroti sifat dinamis dari tradisi arsitektur dan adaptasinya terhadap konteks budaya dan agama yang berbeda.

Arsitektur Islam sunting

Pada abad ke-15, Islam telah menjadi agama yang dominan di Jawa dan Sumatra, dua pulau terpadat di Indonesia. Serupa dengan asimilasi Hindu dan Buddha di masa lalu, Islam dan pengaruh asing menyertainya diserap dan ditafsirkan ulang, menghasilkan pengembangan gaya masjid Indonesia/Jawa yang unik.

Selama periode ini, masjid-masjid Jawa mendapatkan inspirasi dari elemen-elemen arsitektur Hindu, Budha, dan bahkan Cina (lihat gambar "Masjid Agung" di Yogyakarta). Tidak seperti kubah Islam yang biasa terlihat di daerah lain, masjid-masjid Jawa menampilkan struktur kayu yang tinggi dengan atap bertingkat yang mengingatkan kita pada pagoda yang ditemukan di pura-pura Hindu di Bali, yang masih ada sampai sekarang.

Beberapa masjid kuno yang memiliki nilai sejarah yang signifikan masih dapat ditemukan di sepanjang pantai utara Jawa. Contohnya adalah Mesjid Agung di Demak yang dibangun pada tahun 1474, dan Masjid Menara Kudus di Kudus, yang diyakini merupakan menara bekas kuil Hindu. Gaya arsitektur masjid-masjid Jawa kemudian mempengaruhi desain masjid-masjid di daerah tetangga seperti Kalimantan, Sumatra, Maluku, serta di Malaysia, Brunei, dan Filipina selatan. Masjid-masjid seperti Masjid Sultan Suriansyah di Banjarmasin dan Masjid Kampung Hulu di Malaka menunjukkan pengaruh Jawa yang berbeda.

Di Sumatera Barat, khususnya di tanah Minangkabau, masjid-masjid tradisional menampilkan arsitektur vernakular lokal di wilayah tersebut. Contoh yang terkenal adalah masjid tua Bingkudu di Kabupaten Agam,[11] dan Masjid Lubuk Bauk di Batipuh, Sumatera Barat.[12]

Selama abad ke-19, kesultanan-kesultanan di seluruh nusantara mulai memasukkan pengaruh asing ke dalam arsitektur Islam mereka, sebagai alternatif dari gaya Jawa yang sudah populer di wilayah tersebut. Gaya Indo-Islam dan Moor mulai disukai, terutama di Kesultanan Aceh dan Kesultanan Deli. Hal ini terlihat dari desain arsitektur masjid-masjid penting seperti Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang dibangun pada 1881 dan Masjid Raya Medan yang dibangun pada 1906.

Pada era pasca kemerdekaan, telah terjadi pergeseran yang nyata terhadap pembangunan masjid yang lebih sesuai dengan gaya Islam global. Kecenderungan ini mencerminkan gerakan yang lebih luas di Indonesia menuju praktik Islam yang lebih ortodoks. Akibatnya, desain masjid kontemporer di Indonesia cenderung mengikuti konvensi arsitektur Islam yang sudah mapan di seluruh dunia.

Arsitektur istana sunting

Gaya arsitektur keraton, yang dikenal sebagai "istana", di berbagai kerajaan dan kerajaan di Indonesia biasanya mengambil inspirasi dari gaya rumah tangga adat lokal di daerah masing-masing. Meskipun arsitektur rumah tangga berfungsi sebagai fondasi, istana-istana kerajaan memiliki kemampuan untuk menciptakan versi yang lebih megah dan rumit dari gaya-gaya tradisional ini. Sebagai contoh, di Kraton Jawa, pendopo besar dengan atap joglo yang dihiasi ornamen tumpang sari merupakan variasi yang rumit berdasarkan elemen arsitektur Jawa yang umum. Demikian pula, omo sebua (rumah kepala suku) di Bawomataluo, Nias, adalah versi yang diperbesar dari rumah-rumah desa. Di istana Bali seperti Puri Agung di Gianyar, bentuk bale tradisional digunakan, dan Istana Pagaruyung merupakan adaptasi tiga lantai dari Rumah Gadang Minangkabau.

Seperti halnya dalam arsitektur rumah tangga, penggabungan elemen-elemen Eropa ke dalam arsitektur istana Indonesia telah diamati selama dua abad terakhir. Namun, dalam konteks istana, perpaduan ini telah mengambil karakter yang lebih halus dan mewah, melampaui tingkat yang terlihat pada rumah-rumah tradisional.

Di dalam Kraton Jawa, pendopo merupakan aula yang paling tinggi dan paling luas. Berfungsi sebagai tempat duduk penguasa, pendopo memiliki arti penting dalam acara-acara seremonial dan menimbulkan rasa hormat. Biasanya, akses ke area ini dibatasi dan tunduk pada larangan tertentu.

Arsitektur kolonial sunting

Selama abad ke-16 dan 17, bangsa Eropa tiba di Indonesia dan memperkenalkan penggunaan batu bata dalam konstruksi. Sebelumnya, kayu dan bahan-bahan terkait telah menjadi bahan bangunan utama di Indonesia, kecuali untuk bangunan-bangunan keagamaan dan istana yang terkenal. Di antara pemukiman awal Belanda, Batavia (kemudian dikenal sebagai Jakarta) muncul sebagai kota yang penting selama abad ke-17 dan ke-18, ditandai dengan desain berbenteng dan penggunaan batu bata dimana-mana.[13]

Selama hampir dua abad, pemerintah kolonial di Indonesia tidak berbuat banyak untuk menyesuaikan praktik arsitektur Eropa agar sesuai dengan iklim tropis.[3] Contoh kasus dapat dilihat di Batavia, di mana mereka membangun kanal-kanal di lanskap dataran rendah kota ini. Di sepanjang kanal, mereka membangun rumah-rumah deret dengan gaya perpaduan arsitektur Cina-Belanda, dengan ciri khas jendela-jendela kecil dan ventilasi yang buruk. Sayangnya, kanal-kanal ini akhirnya tercemar oleh sampah dan limbah, sehingga menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk Anopheles pembawa penyakit. Akibatnya, malaria dan disentri menjadi masalah yang merajalela di ibu kota kolonial Hindia Belanda ini.[3]

Awalnya, orang Belanda memandang rumah deret, kanal, dan dinding yang kokoh sebagai tindakan perlindungan terhadap penyakit tropis yang dibawa oleh udara tropis. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka belajar mengadaptasi gaya arsitektur mereka dengan memasukkan fitur bangunan lokal yang lebih sesuai dengan iklim (atap panjang, beranda, serambi, jendela besar, bukaan ventilasi). Pada pertengahan abad ke-18, Gaya Hindia muncul sebagai salah satu gaya arsitektur kolonial pertama yang menggabungkan elemen-elemen Indonesia dan mengatasi tantangan iklim. Tata letak dasar, seperti pengaturan ruang yang memanjang dan penggunaan struktur atap tradisional Jawa seperti joglo dan limasan, yang mana itu berasal dari arsitektur Jawa. Elemen dekoratif Eropa, seperti tiang-tiang neoklasik, ditambahkan pada beranda dalam.[14] Rumah-rumah ini pada dasarnya mempertahankan bentuk arsitektur Indonesia tetapi dengan hiasan Eropa.

Pada awal abad ke-20, mulai terlihat pergeseran ke arah pengaruh modernis, seperti art-deco. Trennya adalah bangunan-bangunan Eropa dengan detail arsitektur Indonesia, seperti yang digambarkan pada gambar rumah dengan atapnya yang bernada tinggi dan detail bubungan Jawa. Langkah-langkah praktis dari hibrida Indo-Eropa sebelumnya, yang responsif terhadap iklim Indonesia, akhirnya terus berlanjut. Langkah-langkah ini termasuk penggabungan atap yang menjorok ke dalam, jendela yang lebih besar, dan ventilasi di dinding.[15]

Pada akhir abad ke-19, perubahan signifikan terjadi terutama di Jawa. Kemajuan teknologi, komunikasi, dan transportasi telah membawa kemakmuran baru ke kota-kota di Jawa, dan kegiatan ekonomi meluas ke daerah pedesaan.[16] Era pembangunan ini menjadi saksi kemunculan bangunan-bangunan modern yang sesuai dengan lanskap yang berubah, yang sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur internasional.

Bangunan-bangunan baru ini termasuk stasiun kereta api, hotel bisnis, pabrik, gedung perkantoran, rumah sakit, dan institusi pendidikan. Konsentrasi terbesar bangunan era kolonial dapat ditemukan di kota-kota besar di Jawa, seperti Bandung, Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Bandung khususnya, menonjol dengan koleksi bangunan Art-Deco tahun 1920-an, yang merupakan salah satu yang terbesar yang tersisa di dunia. Beberapa arsitek dan perencana Belanda, termasuk Albert Aalbers, Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, J Gerber, dan C.P.W. Schoemaker, menyumbangkan karya-karya penting untuk lanskap arsitektur kota ini. Pada awal abad ke-20, berbagai gaya arsitektur dapat diamati di kota-kota besar, meliputi Gaya Hindia Baru, Ekspresionisme, Art Deco, Art Nouveau, dan Nieuwe Zakelijkheid (Objektivitas Baru).

Cakupan kekuasaan kolonial di Bali tidak pernah seluas di Jawa. Baru pada tahun 1906, Belanda mendapatkan kendali penuh atas pulau ini. Akibatnya, Bali memiliki koleksi arsitektur kolonial yang relatif terbatas dibandingkan dengan Jawa. Singaraja, yang merupakan bekas ibukota dan pelabuhan kolonial di pulau ini, merupakan tempat bagi beberapa rumah bergaya art-deco, jalan-jalan yang dipenuhi pepohonan, dan gudang-gudang kumuh. Gugusan arsitektur kolonial lainnya yang terkenal dapat ditemukan di kota perbukitan Munduk, yang awalnya didirikan oleh Belanda di tengah-tengah perkebunan. Di sini, beberapa rumah besar bergaya Bali-Belanda berhasil bertahan selama bertahun-tahun.[17]

Pelestarian arsitektur kolonial di Indonesia dapat dikaitkan dengan berbagai faktor seperti dampak Depresi Besar, pergolakan Perang Dunia II, perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1940-an, dan stagnasi ekonomi selama periode pergolakan politik pada 1950-an dan 60-an. Keadaan ini mengakibatkan perkembangan yang terbatas dan berkontribusi pada pelestarian banyak bangunan kolonial hingga saat ini.[18] Meskipun rumah-rumah kolonial terutama ditempati oleh elit Belanda, Indonesia, dan Tionghoa yang kaya, dan arsitektur kolonial dikaitkan dengan penderitaan akibat penjajahan, gaya arsitekturnya sendiri sering kali merepresentasikan perpaduan dua budaya, yang menampilkan kekayaan dan kreativitas. Akibatnya, rumah-rumah ini tetap memiliki daya tarik dan terus dicari bahkan di abad ke-21 ini.[14]

Arsitektur pribumi di Indonesia mengalami pengaruh yang lebih besar dari ide-ide baru Eropa dibandingkan dengan pengaruh Indonesia terhadap arsitektur kolonial. Akibatnya, elemen-elemen Barat terus memberikan pengaruh yang signifikan terhadap lingkungan binaan kontemporer di Indonesia.

Dampak modernisme awal abad ke-20 masih terlihat jelas di banyak wilayah di Indonesia, terutama di daerah perkotaan. Kemerosotan ekonomi yang parah pada tahun 1930-an, ditambah dengan tahun-tahun berikutnya dari perang, revolusi, dan kekacauan, sangat menghambat kemajuan lingkungan binaan selama periode tersebut.

Arsitektur pasca kemerdekaan sunting

Gaya art-deco Jawa pada tahun 1920-an menjadi dasar pengembangan awal gaya nasional Indonesia pada 1950-an. Tahun 1950-an yang penuh gejolak politik menimbulkan tantangan bagi Indonesia, baik dari segi keuangan maupun kurangnya fokus untuk mengadopsi gerakan arsitektur internasional baru seperti brutalisme modern. Sebaliknya, terdapat kelanjutan pengaruh arsitektur dari 1920-an dan 1930-an, yang didukung oleh para perencana Indonesia yang sebelumnya bekerja dengan arsitek Belanda, Karsten.[19] Arsitek-arsitek penting dari periode ini, seperti Mohammad Soesilo, Liem Bwan Tjie, Soejoedi Wirjoatmodjo, dan Friedrich Silaban, memainkan peran penting dalam pendirian Ikatan Arsitek Indonesia.

Terlepas dari tantangan ekonomi yang dihadapi oleh negara yang baru saja merdeka ini, Indonesia memulai proyek-proyek besar yang didanai oleh pemerintah dengan gaya arsitektur modernis, terutama di ibu kota Jakarta. Proyek-proyek ini, yang mencerminkan ideologi politik Presiden Soekarno, bertujuan untuk menunjukkan kebanggaan dan nasionalisme bangsa. Presiden Soekarno, yang memiliki latar belakang di bidang teknik sipil dan juga pernah bekerja sebagai arsitek, menyetujui beberapa proyek penting, termasuk:

Tahun 1950-an menjadi saksi kemunculan gaya arsitektur Indonesia yang unik yang dikenal dengan nama "jengki." Istilah "jengki" berasal dari julukan Indonesia untuk angkatan bersenjata Amerika Serikat, "yankee", dan mencerminkan pengaruh budaya Amerika pada arsitektur Indonesia selama periode tersebut. Gaya jengki menyimpang dari arsitektur modernis Belanda sebelum Perang Dunia II, yang ditandai dengan bentuk-bentuk geometris yang kubistis dan kaku. Sebaliknya, gaya ini merangkul bentuk-bentuk yang lebih rumit dan tidak konvensional, termasuk segi lima dan bentuk-bentuk yang tidak beraturan. Gaya arsitektur ini merupakan representasi visual dari aspirasi politik rakyat Indonesia untuk kebebasan dan kemerdekaan.[20]

Pada awal tahun 1970-an, ketika Indonesia mengalami periode peningkatan pembangunan di bawah pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, para arsitek Indonesia mendapatkan inspirasi dari pengaruh Amerika yang signifikan di dalam fakultas-fakultas arsitektur di Indonesia sejak kemerdekaan. Gaya arsitektur yang berlaku pada masa ini adalah Gaya Internasional, yang juga mendominasi di banyak bagian dunia lainnya.

 
Kantor Gubernur Sumatera Barat

Pada tahun 1970-an, pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk mempromosikan bentuk arsitektur asli Indonesia. Sebagai bagian dari inisiatif ini, taman hiburan Taman Mini Indonesia Indah dibangun pada 1975. Taman ini memiliki lebih dari dua puluh bangunan yang dirancang dengan proporsi yang berlebihan untuk menampilkan bentuk-bentuk rumah adat Indonesia. Selain itu, pemerintah mendorong para arsitek Indonesia untuk mengembangkan gaya arsitektur yang unik untuk negara ini. Pada tahun 1980-an, bangunan-bangunan publik secara mencolok menampilkan elemen-elemen berlebihan yang terinspirasi oleh bentuk-bentuk rumah adat. Contoh dari pendekatan ini termasuk penggunaan atap besar bergaya Minangkabau pada gedung-gedung beton pemerintah di Padang, penggabungan struktur joglo raksasa Jawa di gedung Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada, dan penyertaan atap bertingkat meru Jawa-Bali pada menara rektorat di Universitas Indonesia.

Terlepas dari upaya yang patut dipuji untuk mendefinisikan arsitektur Indonesia dengan mengambil inspirasi dari elemen-elemen asli arsitektur vernakular dan tradisi, eksekusi dan hasilnya terkadang tidak sesuai dengan harapan. Dalam beberapa kasus, hasilnya dikritik karena dianggap sebagai tambahan yang dangkal pada bangunan modern, hanya memasukkan ornamen tradisional atau memasang atap tradisional. Namun, ada beberapa pengecualian untuk hal ini, seperti desain asli terminal 1 dan 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Terminal-terminal ini berhasil menciptakan lingkungan bandara yang dikelilingi oleh taman tropis. Konsep desainnya mengambil bentuk paviliun pendopo Jawa, yang mengingatkan kita pada bangunan keraton Jawa, menawarkan pengalaman arsitektur yang unik dan luar biasa.

Arsitektur zaman sekarang sunting

Pada tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, terjadi investasi asing dan pertumbuhan ekonomi; ledakan konstruksi yang besar membawa perubahan besar pada kota-kota di Indonesia, termasuk penggantian gaya awal abad ke-20 dengan gaya modern dan pascamodern.[21] Ledakan konstruksi perkotaan terus berlanjut di abad ke-21 dan membentuk cakrawala kota-kota di Indonesia. Banyak bangunan baru yang dibalut dengan permukaan kaca mengkilap untuk memantulkan sinar matahari tropis. Gaya arsitektur dipengaruhi oleh perkembangan arsitektur internasional, termasuk pengenalan arsitektur dekonstruktivisme.

Arsitektur pada zaman sekarang banyak dipengaruhi oleh arsitektur global. Saat ini, banyak arsitektur Indonesia mulai mengadaptasi gaya kontemporer yang minimalis. Namun, banyak arsitek mulai mendorong gerakan hijau dan keberlanjutan untuk menjaga lingkungan dan juga budaya Indonesia. Maka dari itu, arsitektur Indonesia didominasi oleh gaya Barat dan gaya lokal.

Lihat pula sunting

Sumber sunting

  • Schoppert, P., Damais, S., Java Style, 1997, Didier Millet, Paris, 207 pages, ISBN 962-593-232-1
  1. ^ Reimar Schefold; P. Nas; Gaudenz Domenig, ed. (2004). Indonesian Houses: Tradition and Transformation in Vernacular Architecture. NUS Press. ISBN 9789971692926. 
  2. ^ a b c Dawson (1994), p. 10
  3. ^ a b c d Dawson (1994), p. 8
  4. ^ The Oxford Companion to Architecture, Volume 1, p. 462.
  5. ^ Dawson (1994), p. 12
  6. ^ Dawson (1994), pp. 10–11
  7. ^ Dawson (1994), p. 11
  8. ^ Nas, p. 348
  9. ^ a b Nas, p. 347
  10. ^ Transformation of Building Form: Development of Traditional Dwelling of the Ngada, Central Flores Island – Toga H Pandjaitan Error in webarchive template: Check |url= value. Empty.
  11. ^ Dina Fatimah. "KAJIAN Arsitektur pada Masjid Bingkudu di Minangkabau dilihat dari Aspek Nilai dan Makna" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 11 December 2015. 
  12. ^ "Masjid Lubuk Bauk". Melayu Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 December 2015. Diakses tanggal 10 December 2015. 
  13. ^ Schoppert (1997), pp. 38–39
  14. ^ a b Schoppert (1997), pp. 72–77
  15. ^ Schoppert (1997), pp. 104–105
  16. ^ Schoppert (1997), pp. 102–103
  17. ^ Wijaya, M. (2002). Architecture of Bali. Singapore: Archipelago Press & Wijaya Words Ltd. hlm. 201 & 202. ISBN 981-4068-25-X. 
  18. ^ Schoppert (1997), p. 105
  19. ^ Schoppert (1997), p. 105
  20. ^ WHEN WEST MEETS EAST: One Century of Architecture in Indonesia (1890s–1990s) Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., Josef Prijotomo, 1996, Surabaya, Indonesia
  21. ^ Schoppert (1997), page 105