Arsitektur Hindia Baru

Gaya arsitektur Hindia Belanda akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20

Arsitektur Hindia Baru (Belanda: Nieuwe Indische Bouwstijl) adalah gaya arsitektur modern yang diperkenalkan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) antara akhir abad ke-19 sampai abad ke-20 sebelum Perang Dunia II. Arsitektur Hindia Baru pada dasarnya merupakan arsitektur Barat modern awal (contoh lainnya adalah Rasionalisme dan Art Deco) yang menggabungkan elemen arsitektur lokal, seperti pinggiran atap yang besar atau atap yang menjulang, agar sesuai dengan iklim tropis di Indonesia.[1]

Arsitektur Hindia Baru pada Gedung Sate yang mencampurkan elemen lokal dengan bangunan modernis.

Meski Hindia Baru mengacu pada aliran Rasionalisme Belanda yang muncul di Indonesia tahun 1910-an, istilah ini sengaja diseragamkan untuk semua gaya arsitektur antara akhir abad ke-19 dan abad ke-20 sebelum Perang Dunia II agar mewakili berbagai gaya arsitektur modern awal.

Sejarah sunting

Usaha menggabungkan arsitektur Belanda dengan arsitektur lokal Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-18. Perawatan bangunan bergaya Belanda abad ke-17 yang mahal di kawasan tropis memaksa Belanda untuk mengikuti arsitektur pribumi Indonesia. Usaha pertama diwujudkan lewat rumah-rumah desa Hindia Belanda abad ke-18 dan 19. Dalam dunia akademik, gaya ini dikenal dengan sebutan Gaya Indo-Eropa (Indo-Europese) atau Gaya Hindia (Indisch Stijl), kadang disebut juga Gaya Hindia Lama (Oud Indische Stijl) untuk membedakannya dengan gaya baru.

Kelahiran Arsitektur Hindia Baru berhubungan dengan datangnya bahan bangunan baru, munculnya Modernisme, dan pelaksanaan Undang-Undang Agraria tahun 1870 di Jawa. Undang-undang ini membuka Pulau Jawa kepada warga asing yang hendak mendirikan perusahaan swasta di Hindia Belanda. Jenis bangunan, pengembangan, dan standar baru harus diterapkan di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, di bawah Departement voor Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum), menyusun standar pembangunan gedung baru (seperti rumah sakit, sekolah, balai kota, dan sarana publik lainnya) yang disesuaikan dengan iklim lokal (tropis) demi mengurangi biaya pembangunan dan perawatan bangunan. Salah satu contoh bangunan tropis pertama adalah Kantor Pelabuhan di Semarang yang dibangun pada awal abad ke-19.[2]

Arsitektur Hindia Baru juga dipengaruhi oleh generasi baru arsitek Belanda yang dilatih di Belanda dan memperkenalkan Modernisme di Hindia Belanda. Pada tahun 1910-an, sejumlah arsitek Belanda mulai bereksperimen dengan bahan baru dalam pembuatan bangunan Belanda tradisional berarsitektur tropis. Uji coba ini menjembatani perubahan arsitektur dari Tradisionalis ke Modernis di Hindia Belanda.[2]

Pada tahun 1920-an dan 1930-an, Modernisme bangkit di Hindia Belanda. Ciri khasnya meliputi atap datar dan bentuk kubus tanpa mempertimbangkan iklim tropis. Ornamentasi Art Deco kadang disertakan ke dalam desain bangunan. Albert Frederik Aalbers merupakan salah seorang arsitek Modernis di Indonesia sebelum Perang Dunia II. Karya-karyanya ditandai oleh atap fungsionalis yang kadang dihiasi garis lengkung dan ketiadaan ornamentasi luar dan hiasan lainnya.[2]

Pada saat yang sama, nasionalisme mendorong pencarian gaya arsitektur baru, gaya yang mewakili identitas budaya Hindia Belanda. Sejumlah arsitek mulai menguatkan etos Modernis dengan menggabungkan elemen arsitektur pribumi sehingga menciptakan arsitektur modern Indonesia yang khas. Maclaine Pont dan Thomas Karsten adalah arsitek utama dari aliran baru ini.[2]

Arsitektur sunting

Istilah Arsitektur Hindia Baru mengacu pada jenis arsitektur yang terdapat di Hindia Belanda tahun 1900-an. Pada masa peralihan singkat ke awal abad ke-20, gaya ini berbaur dengan varian arsitektur modern di Hindia Belanda: Art Deco, Ekspresionisme, Nieuwe zakelijkheid, dll. Gaya-gaya tersebut mencerminkan kemajuan teknologi pada masa pra-Perang Dunia II.

Hindia Baru sunting

Di Indonesia istilah Arsitektur Hindia Baru adalah istilah akademik untuk menyebut Rasionalisme Belanda. Sama halnya seperti Rasionalisme Belanda, Hindia Baru merupakan solusi untuk menggabungkan elemen tradisional (klasikisme) dengan kecanggihan teknologi. Hindia Baru dapat dikatakan sebagai gaya transisi antara Tradisionalis (gaya Imperium Hindia) dan Modernis. Di Belanda sendiri, gaya ini sangat dipengaruhi oleh desain Hendrik Petrus Berlage, dan gaya ini juga memengaruhi bangunan-bangunan di Indonesia.

Arsitektur Hindia Baru mirip dengan Rasionalisme Belanda, terutama pada penggunaan gerbang Romanesque, tetapi tetap menjaga bentuk reguler tradisional. Gaya ini mulai menampilkan pendekatan fungsionalnya dengan mengurangi dekorasi. Berbeda dengan versi Barat, bangunan di Hindia Belanda berwarna putih dan tidak menonjolkan batu bata seperti di Belanda. Perbedaan lainnya adalah tepi atap yang lebar untuk menutup celah; elemen ini tidak ada di Belanda.

Arsitektur Hindia Baru menggunakan konsep fasade ganda dalam bentuk lorong tertutup. Lorong tertutup tidak hanya terdapat di lantai dasar, tetapi juga di lantai kedua. Fasade depan melindungi fasade dalam dari hujan deras dan sinar matahari terik. Ini menjadi ciri khas arsitektur wilayah tropis. Pintu dan jendela besar dibuat dalam jumlah yang banyak agar interior bangunan lebih sejuk.

Ciri Arsitektur Hindia Baru
Fasade depan Lawang Sewu menampilkan elemen tradisional yang terinspirasi dari lengkungan Romanesque, namun dilengkapi elemen yang tidak terlalu klasik dan lebih fungsional.[butuh rujukan]
Bagian belakang Lawang Sewu menampilkan fasade ganda dan tepi atap lebar, ciri khas arsitektur tropis.
Lorong yang terbentuk berkat fasade ganda di Lawang Sewu. Ruang tambahan ini melindungi fasade dalam dari hujan deras dan sinar matahari terik.

Contoh bangunan dalam periode arsitektur ini adalah Lawang Sewu karya Citroen(1907),[butuh rujukan] Galeri Seni Kunstkring karya Moojen (1913), dan Stasiun Kejaksan Cirebon (1912).

Art Deco dan Nieuwe Bouwen sunting

Art Deco di Hindia Belanda dipengaruhi oleh Art Deco di Belanda. Art Deco berkembang dari Rasionalisme Berlage. Ciri-cirinya meliputi kekayaan warna, bentuk geometri yang mencolok, dan ornamentasi. Bentuk bangunannya simetris dan menampilkan kemajuan teknologi dan kemewahan. Salah satu contoh bangunan Art Deco pertama di Hindia Belanda adalah Stasiun Poncol Semarang (1914). Bangunan lainnya yang menggunakan gaya arsitektur ini adalah bekas markas KPM karya Ghijsels (1917) dan Jaarbeurs karya Schoemaker (1920). Gedung Sate karya Gerber mencampurkan elemen arsitektur lokal di atapnya.

Variasi lain dalam periode arsitektur ini adalah Mazhab Amsterdam, bagian dari aliran Ekspresionisme internasional yang bangkit sekitar tahun 1920-an. Gaya ini tidak sepopuler di Belanda, tetapi mampu memengaruhi hal-hal kecil pada bangunan di Hindia Belanda.[3] Mazhab Amsterdam dapat dijumpai di Balai Kota Cirebon (1926) karya J.J. Jiskoot.[4] Mazhab Amsterdam juga memengaruhi bangunan-bangunan karya Schoemaker yang sering bekerja sama dengan pemahat, misalnya relief ekspresif di Grand Preanger Hotel (1929) dan pahatan Bandung Jaarbeurs (1920).[3]

Antara tahun 1920 dan 1940, Art Deco berubah menjadi gaya baru yang dikenal dengan sebutan Nieuwe Bouwen (Modernisme) atau Fungsionalisme di Belanda. Aliran arsitektur baru ini sangat dipengaruhi oleh Bauhaus Jerman dan Le Corbusier Prancis. Bukannya menghiasi fasade, sang arsitek justru menyesuaikan gaya bangunan dengan penataan ruang yang jelas. Tujuannya adalah menggunakan bentuk universal seperti kubus atau tabung atau garis horizontal melengkung dan motif laut; gaya ini dikenal sebagai Streamline Moderne di kalangan penutur bahasa Inggris. Industrialisasi dan standardisasi bahan bangunan memainkan peran penting. Albert Aalbers merupakan arsitek Nieuwe Bouwen ternama di Indonesia; karya-karyanya meliputi Savoy Homann Hotel (1939), Denis Bank (1936), dan "Driekleur" (1937) di Bandung. Di Indonesia, gaya ini ditandai oleh keterbukaan bangunan, garis fasade halus, dan efek spasial yang kuat pada eksterior bangunan dan sedikitnya dinding penutup.[5] Banyak bangunan bergaya Art Deco yang masih berdiri di Bandung. Bandung sendiri merupakan salah satu kota dengan jumlah bangunan Streamline Moderne - Art Deco terbanyak di dunia.[6]

Contoh bangunan lain bergaya Nieuwe Bouwen di Indonesia meliputi karya-karya Cosma Citroen, K. Bos, W. Lemei, dan beberapa karya AIA Bureau milik Schoemaker, termasuk Bandung Jaarbeurs yang ia rancang setelah darmawisata ke Amerika Serikat; Bandung Jaarbeurs terinspirasi oleh karya Frank Lloyd Wright. Villa Isola juga menonjolkan pengaruh Nieuwe Bouwen lewat kerangka bajanya, jendela baja, dan beton berkerangka.[5]

Pada akhir 1920-an, Nieuwe Zakelijkheid ("Objektivitas Baru") mulai populer di Hindia Belanda. Bentuknya jauh lebih sederhana dan minimalis dibandingkan dengan gaya sebelumnya. Gaya ini menyertakan bentuk dan desain sudut tanpa dekorasi. Gaya ini merupakan bukti peralihan awal menuju gaya internasional. Contoh bangunan bergaya Nieuwe Zakelijkheid adalah Museum Bank Mandiri (1929). Museum ini dibangun dengan penataan ruang teratur di pinggir alun-alun Waterlooplein di depan stasiun Kota; ini merupakan contoh tata kota pra-Perang Dunia II yang jarang dijumpai di Asia Tenggara. Contoh bangunan lainnya adalah Balai Kota Palembang (Snuyf, 1928-1931, kadang disebut Gedung Ledeng) dan Kantor Pos Kota (Baumgartner, 1929).[5]

Neo-Pribumi sunting

 
Pasar Gede Harjonagoro merupakan upaya awal Karsten untuk merancang bangunan bergaya Jawa.

Di Belanda, gaya modernis dan fungsionalis Nieuwe Bouwen memiliki perbedaan mencolok dengan Mazhab Delft yang tradisionalis. Mazhab Delft di Belanda merupakan arsitektur modern sederhana yang terinspirasi oleh rumah-rumah lama di pedesaan Belanda. Mazhab Delft tidak ada di Indonesia, tetapi dapat didefinisikan sebagai gaya arsitektur abad ke-20 yang disesuaikan dengan elemen tropis tradisional dalam arsitektur Hindia (Indische architectuur).

Meski Nieuwe Bouwen dan Indische Architectuur berbeda, keduanya sama-sama beralih dari gaya arsitektur Imperium beserta sisa-sisa tuan tanah kolonial abad ke-19.[7]

Aliran dan desain baru ini menyertakan elemen-elemen tradisional menggunakan teknologi abad ke-20 dan prinsip arsitektur modernis dari Eropa tahun 1920-an dan 1930-an. Atap lokal lebih ditonjolkan dan terdapat berbagai percampuran elemen dan teknik konstruksi lokal dan Eropa. Ketertarikan arsitek modernis untuk menggabungkan elemen geometri diwadahi oleh gaya baru ini. Gaya ini melahirkan eksperimen baru yang menggabungkan bentuk-bentuk struktural dengan ornamentasi pribumi tradisional. Thomas Karsten dan Henri Maclaine Pont merupakan arsitek yang aktif mengembangkan aliran ini.

Salah satu contoh bangunan bergaya baru ini adalah bekas kantor perusahaan trem uap Belanda, Joana Stoomtram Maatschappij, di Semarang karya Thomas Karsten (1930).[8] Bangunan berlantai satu ini identik dengan joglo tradisional Jawa; tiang tinggi menopang atap dua tingkat yang memungkinkan angin masuk lewat celah atap.

 
Aula Institut Teknologi Bandung mencampurkan elemen arsitektur Batak

Contoh bangunan lain dari aliran ini adalah aula Technische Hoogeschool te Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) karya Maclaine Pont. Bangunan ini mencampurkan berbagai elemen lokal di Indonesia, termasuk arsitektur Danau Toba, Kepulauan Mentawai, dan Sunda. Bangunan ini merupakan contoh arsitektur tropis yang inovatif. Dengan atap panjang yang sejajar dengan poros timur-barat, bangunan ini memilki ventilasi alami yang baik. Arah bangunan juga meminimalkan dampak radiasi matahari sehingga sinar pagi dan sore hanya menyinari ujung fasade bangunan yang sempit. Lorong luar menciptakan fasade ganda yang melindungi interior bangunan dari sinar matahari, sedangkan menara pendingin di kedua ujungnya berfungsi sebagai ventilasi.

Contoh lainnya adalah rumah tamu Bataafsche Petroleum Maatschappij di Brastagi (1939) karya Herman van den Houvel dari firma arsitektur Langereis & Co.[9]

Pascakolonial sunting

Setelah 1949, beberapa arsitek dan penata kota Belanda memutuskan untuk tinggal di Indonesia. Arsitek yang ada saat itu merancang kota dan bangunan baru bersama rekan-rekannya dair Indonesia (Blankenberg, Kreisler, dan Lüning). Setelah konflik Papua Barat, semua orang Belanda yang belum mengajukan kewarganegaraan Indonesia dipulangkan pada tahun 1957. Sejumlah firma arsitektur Belanda ditutup atau dinasionalisasikan lewat kebijakan pemerintah. Salah seorang arsitek yang mengajukan kewarganegaraan Indonesia adalah Han Groenewegen. Groenewegen membantu arsitek Indonesia, Frederich Silaban, merancang Gedung Bank Indonesia di Jalan MH Thamrin, Jakarta.[11]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Beal, Gillian (2013). Island Style: Tropical Dream Houses in Indonesia. Tuttle Publishing. ISBN 9781462906833. Diakses tanggal March 7, 2015. 
  2. ^ a b c d Gunawan Tjahjono, ed. (1998). Architecture. Indonesian Heritage. 6. Singapore: Archipelago Press. hlm. 120. ISBN 981-3018-30-5. 
  3. ^ a b Samuel Hartono (July 2007). THE AMSTERDAM SCHOOL DAN PERKEMBANGAN ARSITEKTUR KOLONIAL DI HINDIA BELANDA ANTARA 1915-1940 (PDF). DIMENSI (Jurnal Teknik Arsitektur) (dalam bahasa Indonesian). 35. Petra Christian University. hlm. 58. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-04-02. Diakses tanggal March 26, 2015. 
  4. ^ The City Hall of Cirebon
  5. ^ a b c Het Indische bouwen: architectuur en stedebouw in Indonesie : Dutch and Indisch architecture 1800-1950. Helmond: Gemeentemuseum Helmond. 1990. hlm. 28–31. Diakses tanggal March 30, 2015. 
  6. ^ Dawson, B.; Gillow, J. (1994). The Traditional Architecture of Indonesia. Thames and Hudson. hlm. 25. ISBN 0-500-34132-X. 
  7. ^ Abidin Kusno (2010). The Appearances of Memory: Mnemonic Practices of Architecture and Urban Form in Indonesia. London: Duke University Press. hlm. 141–142. ISBN 9780822392576. Diakses tanggal 16 July 2015. 
  8. ^ Gunawan Tjahjono, ed. (1998). Architecture. Indonesian Heritage. 6. Singapore: Archipelago Press. hlm. 122–123. ISBN 981-3018-30-5. 
  9. ^ "Kubu's Hotel". Medan Heritage. Medan Heritage. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal March 5, 2016. 
  10. ^ http://zoeken.nai.nl/CIS/persoon/6119 Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine. BOLSIUS, G.J.P.M.
  11. ^ Het Indische bouwen: architectuur en stedebouw in Indonesie : Dutch and Indisch architecture 1800-1950. Helmond: Gemeentemuseum Helmond. 1990. hlm. 32–33. Diakses tanggal March 30, 2015.