Arbitrase atau timbang tara (Inggris: arbitrage), yang dalam dunia ekonomi dan keuangan adalah praktik memperoleh keuntungan dari perbedaan harga yang terjadi di antara dua pasar keuangan. Arbitrase ini merupakan suatu kombinasi penyesuaian transaksi atas dua pasar keuangan di mana keuntungan yang diperoleh adalah berasal dari selisih antara harga pasar yang satu dengan yang lainnya.

Dalam bidang hukum, penyelesaian sengketa bidang hukum perdata di luar lembaga peradilan umum didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh para pihak sengketa, dan dilakukan oleh arbiter/wasit oleh dewan yang mandiri.[1]

Dalam dunia akademis, istilah "arbitrase" ini diartikan sebagai suatu transaksi tanpa arus kas negatif dalam keadaan yang bagaimanapun, dan terdapat arus kas positif atas sekurangnya pada satu keadaan, atau dengan istilah sederhana disebut sebagai "keuntungan tanpa risiko" (risk-free profit).[2]

Seorang yang melakukan arbitrase disebut "arbitraser" atau dalam istilah asing disebut juga arbitrageur. Istilah ini utamanya digunakan dalam perdagangan instrumen keuangan seperti obligasi, saham, derivatif, komoditi dan mata uang.[3]

Apabila harga pasar tidak memungkinkan dilakukannya arbitrase yang menguntungkan, maka harga tersebut merupakan ekuilibrium arbitrase (lihat:harga keseimbangan) atau juga dikenal dengan istilah arbitrage equilibrium atau pasar bebas arbitrase. Ekulibrium atau keseimbangan arbitrase ini adalah prakondisi dari teori keseimbangan umum atau general equilibrium.

Arbitrase statistik merupakan suatu ketidak seimbangan atas nilai yang diperkirakan . Suatu kasino menggunakan arbitrase statistik ini pada hampir semua permainan yang menawarkan kesempatan menang.

Etimologi sunting

Arbitrase (bahasa Inggris;"arbitrage" adalah berasal dari bahasa Prancis dan merujuk pada suatu putusan yang dibuat oleh seorang arbiter dalam suatu peradilan arbitrase atau arbitration tribunal. Pada Prancis modern, kata "arbitre" ini biasanya bermakna sebagai wasit. Penggunaan kata "arbitrase" sebagaimana yang dimaksud dalam artikel ini, pertama kali diperkenalkan pada tahun 1704 oleh "Mathieu de la Porte" dalam bukunya yang berjudul "La science des négocians et teneurs de livres" sebagai suatu perhitungan atas perbedaan nilai tukar guna mengenali suatu tempat yang paling menguntungkan untuk melakukan penerbitan dan penyelesaian transaksi penukaran uang. ("[U]ne combinaison que l’on fait de plusieurs Changes, pour connoître quelle Place est plus avantageuse pour tirer et remettre").[4]

Kondisi arbitrase sunting

Arbitrase adalah dimungkinkan apabila salah satu dari ketiga kondisi ini terjadi:

  1. Aset yang sama tidak diperdagangkan dengan harga yang sama pada setiap pasar.
  2. Dua aset dengan arus kas yang identik tidak diperdagangkan dengan harga yang sama.
  3. Suatu aset dengan nilai kontrak berjangka yang diketahui, di mana aset tersebut pada saat ini tidaklah diperdagangkan pada harga kontrak berjangka dengan dikurangi potongan harga berdasarkan suku bunga bebas risiko (atau terdapat biaya penyimpanan gudang atas aset tersebut yang tidak dapat diabaikan).

Arbitrase bukanlah merupakan suatu tindakan sederhana dari pembelian produk disuatu pasar dan menjualnya dipasar lain dengan harga yang lebih tinggi kelak. Transaksi arbitrase harus terjadi secara kesinambungan guna menghindari terungkapnya risiko pasar ataupun risiko perubahan harga pada salah satu pasar sebelum kedua transaksi selesai dilaksanakan. Dalam segi praktik, hal ini umumnya hanya dimungkinkan untuk dilakukan terhadap sekuriti dan produk keuangan yang dapat diperdagangkan secara elektronis.

Contoh arbitrase sunting

  • Misalnya saja nilai tukar ( setelah dipotong biaya penukaran) di London adalah 5 poundsterling = 10 USD = 1.000 yen dan nilai tukar di Tokyo adalah 1000 yen = 6 poundsterling = 12 USD. Sehingga dengan melakukan penukaran uang senilai ¥1000 akan memperoleh $12 di Tokyo dan dengan menukarkan $12 tersebut di London akan memperoleh ¥1.200, sehingga akan dilakukan arbitrase untuk keuntungan sebesar ¥200 tersebut. Dalam kenyataannya arbitrase segitiga ini sedemikian sederhananya namun amat jarang terjadi di mana e atas kurs spot valuta asing pada kontrak serah adalah lebih umum dilakukan.
  • Contoh arbitrase yang melibatkan New York Stock Exchange dan Chicago Mercantile Exchange. Di mana harga saham pada NYSE dan kontrak serah yang menjadi korespondennya di CME adalah tidak seimbang, salah satunya dapat membeli sedikit lebih murah dan menjual dengan harga lebih mahal. Sebab perbedaan di antara harga tersebut kecil (dan tidak berlangsung lama) maka hal ini dapat menguntungkan apabila dilakukan dengan komputer untuk melakukan analisis harga di berbagai pasar dan secara otomatis melaksanakan perdagangan sewaktu terdapat harga yang selisih jauhy daripada karga keseimbangan. Aktivitas dari arbitraser lainnya dapat membuat hal ini menjadi sangat berisiko. Siapa yang memiliki komputer tercepat dan memiliki ahli matematika terpandai akan memperoleh keuntungan dari suatu selisih kecil berkesinambungan yang bagi investor individu merupakan hal yang tidak menguntungkan.
  • Para ekonom menggunakan terminologi arbitrase tenaga kerja global (global labor arbitrage) untuk menunjukkan tendensi beralihnya proses manufaktur ke negara-negara dengan upah tenaga kerja rendah serta memiliki minimum peringkat kestabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang mendukung bagi industrialisasi. Saat ini tampaknya banyak yang mengalihak manufaktur ke RRC, dan yang membutuhkan tenaga kerja berbahasa Inggris mengalihkannya ke India dan Filipina.

Konvergensi harga sunting

Arbitrase menyebabkan konvergensi harga pada pasar yang berbeda. Sebagai hasil dari arbitrase, nilai tukar mata uang, harga komoditi, dan harga sekuriti pada pasar yang berbeda cenderung bersatu pada harga yang sama, pada seluruh pasar yang ada, pada setiap kategori. Kecepatan dari bersatunya harga-harga tersebut diukur dari efisiensi pasar. Arbitrase cenderung untuk mengurangi diskriminasi harga dengan merangsang pasar orang untuk melakukan pembelian pada harga murah dan menjualnya kembali saat harga tinggi, sepanjang pembeli tidak dilarang untuk menjual kembali dan biaya transaksi pembelian, penyimpanan dan penjualan kembali adalah relatif rendah terhadap perbedaan harga pada pasar yang berbeda-beda.

Arbitrase menggerakkan mata uang yang berbeda-beda menuju suatu keseimbangan daya beli. Misalnya harga suatu mobil dibeli di Amerika lebih murah daripada di Kanada . Maka orang Kanada akan membeli mobil melintaswi perbatasan negara untuk memanfaatkan kondisi arbitrase . Pada saat yang sama, orang Amerika akan membeli mobil Amerika dan mengirimkannya melewati perbatasan serta menjualnya di Kanada. Orang Kanada harus membeli mata uang dollar Amerika untuk membeli mobil tersebut, dan orang Amerika harus menjual dollar Kanada yang diterimanya sebagai pembayaran mobil yang dieksportnya. Kesemua aksi tersebut akan meningkatkan permintaan dollar Amerika dan suplai dollar Kanada, dan sebagai hasilnya maka kurs dollar Amerika akan menguat dan akan membuat harga mobil Amerika menjadi mahal, dan harga mobil Kanada menjadi murah hingga suatu saat tidaklah lagi menguntungkan membeli mobil di Amerika dan menjualnya di Kanada.

Risiko sunting

Transaksi arbitrase pada pasar sekuriti modern memiliki risiko yang rendah. Umumnya adalah tidak mungkin untuk menutup 2 atau 3 transaksi pada saat yang bersamaan, oleh karenanya ada kemungkinan bahwa sewaktu satu transaksi ditutup maka akan terjadi kenaikan harga di pasar secara cepat yang membuat tidak mungkin dilakukannya transaksi lain dengan harga menguntungkan. Terdapat juga risiko pada mitra pengimbang di mana pihak mitra pengimbang gagal melaksanakan kesepakatan, bahaya ini sangat serius sebab suatu kuantitas yang amat besar harus diperdagangkan guna memperoleh keuntungan atas perbedaan harga yang amat kecil tersebut. Risiko ini akan membesar apabila terdapat daya ungkit atau uang yang digunakan adalah uang pinjaman.

Risiko lainnya terjadi apabila barang yang dibeli dan dijual tidak sama dan arbitrase dilakukan berdasarkan asumsi bahwa harga barang tersebut adalah saling berhubungan atau terprediksi.

Persaingan di pasar juga dapat menciptakan risiko sepanjang trasnaksi arbitrase. Misalnya, apabila ada orang yang bermaksud untuk mengambil keuntungan dari perbedaan harga saham IBM yang diperdagangkan di NYSE dan yang diperdagangkan di London Stock Exchange, maka mereka dapat saja melakukan pembelian dalam jumlah yang amat besar atas saham IBM di pasar NYSE lalu ternyata bahwa mereka tidak dapat menjualnya di pasar LSE. Hal ini menjadikan si arbitraser pada posisi risiko tanpa lindung nilai.

Pada era tahun 1980an, risiko arbitrase menjadi umum. Dalam spekulasi bentuk ini, yang seorang memperdagangkan sekuriti yang secara nyata harganya di bawah ataupun di atas nilai sebenarnya, di mana sewaktu dilihatnya bahwa valuasi yang salah tersebut akan terkoreksi oleh suatu peristiwa.

Jenis arbitrase sunting

Arbitrase merger sunting

Arbitrase merger yang umumnya dilakukan dengan membeli saham dari perusahaan yang menjadi target akuisisi disamping membeli dengan cara short selling saham perusahaan yang akan mengambil alih.

Biasanya harga pasar dari perusahaan yang menjadi target akuisisi lebih rendah daripada harga yang ditawarkan oleh perusahaan yang akan mengakuisisi. Rentang harga antara kedua harga ini tergantung pada unsur "kemungkinan" dan penentuan saat yang tepat atas selesainya pelaksanaan akuisisi demikian pula dengan suku bunga yang berlaku.

Pertaruhan dalam arbitrase merger yaitu bahwa rentang harga akan menjadi nol, apabila dan manakala proses akuisisi selesai. Risiko yang dihadapi yaitu apabila kesepakatan tersebut gagal dan rentang harga menjadi sangat lebar.

Arbitrase obligasi daerah sunting

Arbitrase obligasi daerah merupakan strategi pengelola investasi global yang menggunakan satu atau dua tehnik.

Umumnya seorang manajer akan mencari kesempatan atas nilai relatif dengan cara melakukan penjualan dan pembelian obligasi daerah dengan jangka waktu netral. Nilai relatif yang diperdagangkan mungkin terjadi antara penerbit yang berbeda, obligasi yang berbeda yang diterbitkan oleh lembaga yang sama, ataupun struktur permodalan yang diperdagangkan dengan menggunakan referensi atas aset yang sama.

Arbitrase obligasi konversi sunting

Suatu obligasi konversi merupakan obligasi di mana investor dapat mengembalikannya kepada perusahaan penerbit dengan ditukarkan dengan sejumlah tertentu saham perusahaan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Obligasi konversi ini ibaratnya suatu obligasi swasta dengan opsi beli saham yang melekat padanya.

Harga dari obligasi konversi ini sangat sensitif terhadap 3 faktur utama yaitu:

  • suku bunga. Sewaktu suku bunga bergerak naik maka harga obligasi konversi akan bergerak turun, tetapi bagian opsi beli dari obligasi konversi akan menjadi naik dan harga secara keseluruhan cenderung menurun.
  • harga saham. Sewaktu harga saham yang dapat dikonversi dari obligasi tersebut bergerak naik maka harga obligasi akan cenderung naik.
  • obligasi selisih kredit . Apabila kelayakan kredit dari sipenerbit menurun ( misalnya peringkat kreditnya diturunkan) dan rentang selisih kredit melebar, harga obligasi cenderung bergerak turun tetapi dalam banyak kasus, bagian opsi beli dari obligasi konversi akan bergerak naik.

Depository receipts sunting

Depository receipt adalah sekuriti yang ditawarkan sebagai pengikut saham pada pasar asing, misalnya suatu perusahaan Jepang ingin memperoleh uang maka ia dapat menerbitkan depository receipt pada the New York Stock Exchange, oleh karena terbatasnya jumlah modal yang beredar pada bursa lokal . Sekuriti ini dikenal dengan nama ADRs (American Depositary Receipt) atau GDRs (Global Depositary Receipt) tergantung di mana mereka diterbitkan. Di sini terdapat selisih antara nilai yang tertera dan nilai yang sesungguhnya, dan ADR yang diperdagangkan pada nilai di bawah nilai sesungguhnya maka seseorang yang membeli ADR dapat mengharapkan keuntungan apabila nilai tersebut mengalami perubahan menjadi nilai yang sesungguhnya. Namun ada risiko atas turunnya nilai saham sehingga dengan melakukan "short" maka atas risiko tersebut dapat dilakukan lindung nilai.

Arbitrase peraturan sunting

Arbitrase peraturan (regulatory arbitrage) adalah suatu arbitrase di mana suatu lembaga mengambil keuntungan atas selisih antara suatu risiko nyata atau risiko ekonomis dengan posisi aturan yang ada. Misalnya, suatu bank yang beroperasi berdasarkan aturan Basel I di mana bank harus memiliki modal ditahan sebesar 8% guna mengatasi risiko kredit, namun risiko gagal bayar yang sesungguhnya adalah amat rendah maka adalah menguntungkan apabila atas hutang tersebut dilakukan sekuritisasi sehingga pinjaman berisiko rendah tersebut dikeluarkan dari portofolio bank. Di sisi lain, apabila risiko ternyata lebih besar daripada risiko yang diatur oleh peraturan yang ada maka akan menguntungkan apabila utang tersebut ditahan dalam portofolio bank.

Asas-asas Arbitrase sunting

Asas Kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan diupayakan secara damai, seiya sekata atau sepaham untuk menunjuk seorang arbiter.

Asas Musyawarah, yaitu setiap perseilisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, antara arbiter dengan para pihak.

Asas Limitatif, yaitu adanya pembatasan dalam penyelesaian sengketa atau perselisihan melalui arbitrase terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan/bisnis dan industry dan/atau hak-hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.

Asas final dan binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat putusan akhir yang tidak daapt dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperti banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya memang sudah disepakati oleh para pihak dalam klausula atau perjanjian arbitrase mereka.

Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase di Indonesia sunting

Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase sunting

Seperti yang disampaikan sebelumnya, kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus disetujui dua belah pihak. Sebelum berkas permohonan dimasukkan, Pemohon harus lebih dulu memberitahukan Termohon bahwa sengketa akan diselesaikan melalui jalur arbitrase. Surat pemberitahuan ini wajib diberikan secara tertulis dan memuat lengkap informasi seperti yang tertuang pada Undang-Undang No. 39 Tentang Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2, yakni:• Nama dan alamat lengkap Pemohon dan Termohon;

  • Penunjukan klausula arbitrase yang berlaku;
  • Perjanjian yang menjadi sengketa;
  • Dasar tuntutan;
  • Jumlah yang dituntut (apabila ada);
  • Cara penyelesaian sengketa yang dikehendaki; dan
  • Perjanjian tentang jumlah arbiter (atau jika tidak memiliki perjanjian ini, Pemohon dapat mengajukan jumlah arbiter yang dikehendaki dan harus dalam jumlah yang ganjil. Penunjukan arbiter ini juga dapat diserahkan kepada ketua BANI atau melalui pengangkatan Ketua Pengadilan Negeri).Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimulai dari pendaftaran dan permohonan arbitrase kepada Sekretariat BANI. Hal ini dilakukan oleh pihak yang memulai proses arbitrase alias Pemohon. Penyerahan permohonan ini juga disertai dengan pembayaran biaya pendaftaran dan administrasi (meliputi biaya administrasi sekretariat, pemeriksaan perkara, arbiter, dan Sekretaris Majelis).
  Setelah permohonan diterima dan pembayaran dilunasi, permohonan akan didaftarkan ke dalam register BANI. Permohonan akan diperiksa untuk kemudian ditentukan apakah perjanjian arbitrase cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk melakukan pemeriksaan sengketa tersebut.

Penunjukan Arbiter sunting

Merujuk pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya, pemohon dan termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter. Kesepakatan ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam jawaban Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai Tanggapan Pemohon).Forum arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis. Hal ini berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan arbiter tunggal dan Majelis adalah seperti berikut ini.

Jika diinginkan cukup arbiter tunggal, Pemohon dan Termohon wajib memiliki kesepakatan tertulis mengenai hal ini. Pemohon mengusulkan kepada Termohon sebuah nama yang akan dijadikan sebagai arbiter tunggal. Apabila dalam kurun waktu 14 hari sejak usulan diterima tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan dapat melakukan pengangkatan arbiter tunggal.

Jika diinginkan Majelis, maka Pemohon dan Termohon masing-masing menunjuk seorang arbiter. Karena jumlah arbiter harus ganjil, arbiter yang ditunjuk oleh dua belah pihak harus menunjuk seorang arbiter lagi untuk menjadi arbiter ketiga (akan menjadi Ketua Majelis). Jika dalam kurun waktu 14 hari belum mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter ketiga dari salah satu nama yang diusulkan salah satu pihak.Sementara itu, apabila salah satu pihak tidak dapat memberikan keputusan mengenai usulan nama arbiter yang mewakili pihaknya dalam kurun waktu 30 hari sejak Termohon menerima surat, maka seorang arbiter yang telah ditunjuk salah satu pihak menjadi arbiter tunggal. Putusan arbiter tunggal ini tetap akan mengikat dua belah pihak.

Tanggapan Termohon sunting

Setelah berkas permohonan didaftarkan, Badan Pengurus BANI akan memeriksa dan memutuskan apakah BANI memang berwenang untuk melakukan pemeriksaan sengketa, maka Sekretaris Majelis harus segera ditunjuk. Jumlah Sekretaris Majelis boleh lebih dari satu dan bertugas untuk membantu pekerjaan administrasi kasus. Sekretariat menyiapkan salinan permohonan arbitrase pemohon dan dokumen-dokumen lampiran lainnya dan menyampaikannya kepada Termohon.Termohon memiliki waktu sebanyak 30 hari untuk memberi jawaban atas permohonan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban Termohon. Termasuk di dalam jawaban tersebut adalah usulan arbiter. Apabila dalam jawaban tersebut tidak disampaikan usulan arbiter, maka secara otomatis dan mutlak penunjukan menjadi kebijakan Ketua BANI.Batas waktu 30 hari dapat diperpanjang melalui wewenang Ketua BANI dengan syarat tertentu. Termohon menyampaikan permohonan perpanjangan waktu untuk menyampaikan jawaban atau menunjuk arbiter dengan menyertakan alasan-alasan yang jelas dan sah. Maksimal perpanjangan waktu tersebut adalah 14 hari.

Tuntutan Balik sunting

Dalam jangka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya kepada BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban tersebut harus mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung permohonan arbitrase berikut butir-butir permasalahannya. Di samping itu, Termohon juga berhak melampirkan data dan bukti lain yang relevan terhadap kasus tersebut.Jika ternyata Termohon bermaksud untuk mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi), maka tuntutan tersebut dapat pula disertakan bersamaan dengan pengajuan Surat Jawaban. Tuntutan balik ini juga dapat diajukan selambat-lambatnya pada saat sidang pertama. Namun pada kondisi tertentu, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik pada suatu tanggal dengan memberi jaminan yang beralasan. Tentu saja, hal ini juga dilakukan atas wewenang dan kebijakan Majelis.Seperti prosedur permohonan arbitrase di awal, pihak Pemohon yang mendapat tuntutan balik dari Termohon diberi waktu selama 30 hari (atau sesuai dengan kebijakan Majelis) untuk memberi jawaban atas tuntutan tersebut. Yang perlu diingat, tuntutan balik ini dikenakan biaya tersendiri dan harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila tanggungan biaya ini terselesaikan oleh kedua belah pihak, barulah tuntutan balik akan diperiksa dan diproses lebih lanjut bersama-sama dengan tuntutan pokok. Namun apabila ada kelalaian dari salah satu atau bahkan kedua belah pihak untuk membayar biaya administrasi tuntutan balik—selama biaya tuntutan pokok telah selesai dilaksanakan—maka hanya tuntutan pokok yang akan dilanjutkan penyelenggaraan pemeriksaannya.

Sidang Pemeriksaan sunting

Dalam proses pemeriksaan arbitrase, ada beberapa hal penting yang telah diatur dalam Undang-Undang, antara lain: pemeriksaan dilakukan secara tertutup, menggunakan bahasa Indonesia, harus dibuat secara tertulis, dan mendengar keterangan dari para pihak.

Karena sifatnya yang tertutup, apabila ada pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase yang menggabungkan diri dapat disetujui kehadirannya oleh Majelis atau arbiter. Keikutsertaan pihak ketiga ini tentu harus memiliki unsur kepentingan yang terkait dengan sengketa yang dipersoalkan.Sementara itu, terkait dengan bahasa yang digunakan, Majelis atau arbiter dapat mempertimbangkan untuk menggunakan bahasa asing sesuai kesepakatan apabila ada pihak atau bahkan arbiter asing yang tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia, atau bagian transaksi yang menjadi penyebab sengketa dilaksanakan dalam bahasa asing (selain Indonesia).Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang, batas maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180 hari terhitung sejak Majelis atau arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi faktor Majelis atau arbiter memperpanjang masa pemeriksaan adalah:

  • salah satu pihak mengajukan permohonan hal khusus;
  • merupakan akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya; atau

dianggap perlu oleh Majelis atau arbiter.Putusan akhir paling lama ditetapkan dalam kurun waktu 30 hari sejak ditutupnya persidangan. Sebelum memberi putusan akhir, Majelis atau arbiter juga memiliki hak untuk memberi putusan-putusan pendahuluan atau putusan-putusan parsial. Namun, bila dirasa diperlukannya perpanjangan waktu untuk menetapkan putusan akhir menurut pertimbangan Majelis atau arbiter, maka putusan akhir dapat ditetapkan pada suatu tanggal berikutnya. (Prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase, 2017)

Dasar Hukum Arbitrase di Indonesia sunting

Beberapa serangkaian peraturan perundangan yang menjadi dasar yuridis arbitrase di Indonesia adalah:

  • Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan pasal 3.
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338 ayat (1).
  • Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.
  • Pasal 615-651 Rv.
  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.

Keberadaan lembaga arbitrase ini telah mempunyai landasan yuridis/ dasar hukum yang tetap dalam sistem hukum nasional Indonesia. M. Yahya Harahap menyebutkan tiga dasar hukum lembaga ini, yaitu: (1) Landasan Titik Tolak Arbitrase: Yaitu pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg yang berbunyi: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. (2) Landasan Umum Arbitrase: Yaitu Buku Ketiga Reglemen Hukum Acara Perdata atau Rv, dimulai dari pasal 615 s/d pasal 651 Rv. (3) Landasan Arbitrase Asing: Ketentuan arbitrase yang diatur dalam Rv sama sekali tidak menyinggung tentang arbitrase asing. Seolah-olah peraturan ini mengucilkan bangsa Indonesia dari lingkungan kehidupan hubungan antar negara di bidang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan arbitrase asing ini, pemerintah memotivasi untuk mengaturnya yang dapat dilihat dari konvensi-konvensi internasional dimana Indonesia telah meratifikasinya seperti International Center for the Sattelment of Investment Dispute (ICSID) dengan undang-undang Nomor 5 tahun 1968.

Dalam pasal 5 angka 1 UU No 30 tahun 1999 disebutkan bahwa Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa.

Menurut UU No 30 tahun 1999 pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga arbitrase akan menghasilkan Putusan Arbitrase. Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999, arbiter atau majelis arbitrase untuk segera menjatuhkan putusan arbitrase selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan sengketa oleh arbiter. Jika didalam putusan yang dijatuhkan tersebut terdapat kesalahan administratif, para pihak dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan dijatuhkan diberikan hak untuk meminta dilakukannya koreksi atas putusan tersebut. Putusan arbitrase merupakan putusan pada tingkat akhir (final) dan langsung mengikat para pihak. Putusan arbitrase dapat dilaksanakan setelah putusan tersebut didaftarkan arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri. Setelah didaftarkan, ketua pengadilan negeri diberikan waktu 30 hari untuk memberikan perintah pelaksanaan putusan arbitrase.

Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase sunting

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berkut:

  • Sidang Arbitrase adalah tertututp untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
  • Kelambatan yang diakibatkan oleh hal procedural dan administratif dapat dihindari.
  • Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.
  • Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solusion terhadap para pihak yang bersengketa.
  • Pilihan hukum untuk menyelsesaikan sengketa serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.
  • Putusan arbitrase mengikat para pihak (final and binding) dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.
  • suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhir atau batalnya perjanjian pokok
  • Didalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.

Selain kelebihan-kelebihan tersebut terdapat juga kelemahan dari arbitrase yaitu sebagai berikut:

  • Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
  • Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka perlu perintah pengadilan untuk melaksanakan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.
  • Pada prakteknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi hal sulit.
  • Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahan-perusahaan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

Catatan kaki sunting

  1. ^ Suharsono, Fienso (2010), Kamus Hukum (PDF), Vandetta Publishing, hlm. 7 
  2. ^ Pangestuti, Dewi Cahyani (2020). Manajemen Keuangan Internasional. Deepublish. hlm. 93. ISBN 9786230209390. 
  3. ^ Astuti, Wahyu Puji (2020). Manfaat Ekspor dan Impor di Indonesia. Alprin. hlm. 40–41. ISBN 9786232634633. 
  4. ^ Lihat "Arbitrage" di Trésor de la Langue Française

Lihat pula sunting

Bacaan lanjut sunting

Pranala luar sunting