Angulimala

tokoh penting dalam Buddhisme

Angulimala (Bahasa Pāli; artinya 'untaian jari')[1][2] adalah salah satu tokoh penting dalam agama Buddha, terutama dalam tradisi Theravāda. Ia digambarkan sebagai perampok bengis yang sepenuhnya bertobat setelah mengikuti ajaran Sang Buddha. Kisahnya menjadi contoh terkemuka dalam hal pertobatan dan contoh kecakapan Sang Buddha sebagai guru. Angulimala dipandang oleh umat Buddha sebagai pelindung bagi wanita yang sedang melahirkan, dan dikaitkan dengan kesuburan di Asia Selatan dan Tenggara.

Angulimala
Ilustrasi Angulimala sedang mencoba mengejar Buddha Gautama.
Nama lainAhiṃsaka, Gagga Mantānīputta
Informasi pribadi
Lahir
AgamaBuddhisme
KebangsaanIndia
PendidikanTaxila
Kedudukan senior
GuruBuddha Gautama
Terjemahan dari
Angulimala
Indonesiaarti harfiah: "Untaian Jari"
InggrisFinger Necklace
PaliAṅgulimāla
SanskritAṅgulimāliya, Aṅgulimālya[1]
Tionghoa央掘魔羅
(PinyinYāngjuémóluó)
Myanmarအင်္ဂုလိမာလ
(MLCTS: ʔɪ̀ɴɡṵlḭmàla̰)
Thaiองคุลิมาล, องคุลีมาล
(RTGS: Ongkhuliman)
Khmerអង្គុលីមាល៍
(Ankulimea)
Sinhalaඅංගුලිමාල
Daftar Istilah Buddhis

Cerita Angulimala dapat ditemukan pada sejumlah pustaka berbahasa Pāli, Sanskerta, Tibet, dan Tionghoa. Angulimala lahir dengan nama Ahiṃsaka. Ia tumbuh sebagai pemuda cerdas di Sawati, dan saat bersekolah, ia menjadi murid kesayangan guru. Karena teman-temannya iri, ia dijebak agar diusir gurunya. Dalam upaya menyingkirkan Angulimala, sang guru memberinya misi berbahaya, yaitu mengumpulkan seribu jari manusia sebagai syarat menamatkan pendidikan. Dalam upaya menuntaskan misi tersebut, Angulimala akhirnya menjadi perampok keji, membunuh banyak orang, dan menyebabkan seluruh warga desa mengungsi. Peristiwa tersebut menyebabkan Raja Pasenadi dari Kosala mengirim tentara untuk menangkapnya. Sementara itu, ibu Angulimala berniat turun tangan, yang membuatnya nyaris dibunuh oleh Angulimala. Sang Buddha mencegah hal itu terjadi dengan memakai kesaktian dan ajarannya untuk membawa Angulimala ke jalan yang benar. Angulimala kemudian menjadi pengikut Buddha, dan menjadi seorang bhikkhu di bawah bimbingan Sang Buddha, sehingga mengejutkan raja dan masyarakat. Meskipun telah bertobat, para penduduk desa masih marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Angulimala, tetapi keadaan membaik saat Angulimala menolong seorang ibu yang sedang melahirkan dengan sebuah tindak kebajikan.

Para cendekiawan berteori bahwa Angulimala adalah bagian dari kultus kekerasan sebelum ia bertobat. Indolog Richard Gombrich menyatakan bahwa ia adalah pengikut bentuk awal ajaran Tantra, tetapi klaim tersebut telah dibantah. Umat Buddha menganggap Angulimala sebagai lambang transformasi spiritual, dan ceritanya adalah sebuah pelajaran bahwa kehidupan setiap orang dapat menjadi lebih baik, bahkan bagi orang-orang yang tampaknya tidak memiliki kemungkinan begitu. Selain itu, cerita Angulimala menjadi bahan diskusi tentang keadilan dan rehabilitasi di kalangan cendekiawan, dan dipandang oleh teolog John Thompson sebagai contoh bagus dalam mengatasi luka moral, serta etika kepedulian. Angulimala menjadi subjek film dan sastra, seperti film Thailand yang berjudul Angulimala (2003). Sementara itu, buku The Buddha and the Terrorist karya Satish Kumar mengadaptasi cerita tersebut sebagai tanggapan tanpa kekerasan terhadap perang melawan terorisme.

Sumber pustaka dan epigrafi

 
Buddhaghoṣa, salah satu pengulas kisah Angulimala dari abad ke-5 M; ia digambarkan di bagian kanan

Cerita Angulimala sangat dikenal dalam tradisi Buddhis, terutama Theravāda.[3] Dua naskah dalam pustaka Buddhis berbahasa Pali mencatat kisah Angulimala dengan Sang Buddha dari pertemuan pertama mereka hingga pertobatan Angulimala, dan diyakini merupakan versi tertua dari cerita tersebut.[4][5][note 1] Naskah pertama adalah Theragathā (kemungkinan merupakan karya yang tertua),[3] dan yang kedua adalah Sutta Aṅgulimāla dalam Majjhima Nikāya.[7] Kedua naskah tersebut memberikan uraian singkat tentang pertemuan Angulimala dengan Sang Buddha, dan tak mencatat berbagai kisah latar belakang yang kemudian digabungkan ke dalam cerita tersebut (seperti Angulimala menyatakan sumpah kepada gurunya).[8][3] Selain naskah-naskah Pāli, kehidupan Angulimala juga disebutkan dalam naskah berbahasa Tibet dan Tionghoa, yang bermula dari Sanskerta.[8][5] Kumpulan cerita Sanskerta berjudul Saṃyuktāgama dari mazhab Mūlasārwastiwāda kuno telah diterjemahkan ke dalam dua naskah Tionghoa (pada abad ke-4 sampai ke-5 Masehi) oleh mazhab Sarwāstiwāda dan Kāśyapīya kuno, dan juga memuat berbagai versi dari cerita tersebut.[9][5][10] Sebuah naskah yang diterjemahkan ke bahasa Tionghoa dari naskah Sanskerta Ekottara Agāma oleh mazhab Mahāsaṃghika juga diketahui. Selain itu, tiga naskah Tionghoa lainnya yang berkisah tentang Angulimala juga ditemukan, yang tak diketahui asal usulnya tetapi berbeda dengan tiga naskah Tionghoa pertama.[11]

Selain naskah-naskah kuno tersebut, ada juga kisah tambahan berikutnya, yang muncul dalam ulasan tentang Majjhima Nikāya yang diatribusikan kepada Buddhaghosa (abad ke-5 M), dan ulasan tentang Theragathā yang diatribusikan kepada Dhammapāla (abad ke-6 M).[8] Dua ulasan tersebut tampaknya tidak dibuat sendiri-sendiri: Dhammapāla tampaknya telah menyalin atau hampir menafsirkan tulisan Buddhaghosa, meskipun menambahkan penjelasan tentang sejumlah inkonsistensi.[4][5] Kisah terawal tentang kehidupan Angulimala menekankan sifat kejamnya dan menyandingkannya dengan sifat damai Sang Buddha. Kisah-kisah berikutnya dimaksudkan untuk menambahkan detail dan mengklarifikasi hal-hal yang tak sesuai dengan ajaran Buddha.[12]

Sebagai contoh, suatu masalah yang mungkin menimbulkan pertanyaan adalah perubahan mendadak dari seorang pembunuh menjadi murid tercerahkan; kisah-kisah berikutnya mencoba untuk menjelaskan hal tersebut.[13] Namun, kisah-kisah berikutnya juga mencantumkan berbagai mukjizat dengan sejumlah detail peristiwa yang cenderung mengalihkan maksud utama cerita.[14] Pustaka-pustaka Pāli kuno (bahasa Pali: sutta) tak menjelaskan alasan atas tindakan Angulimala, selain kekejaman belaka.[15] Sejumlah naskah pada masa berikutnya menunjukkan usaha para cendekiawan untuk "memperbaiki" karakter Angulimala, menjadikannya tampak sebagai manusia yang pada dasarnya baik tetapi terjebak oleh keadaan, daripada sekadar pembunuh keji semata.[16][17] Selain sutta dan paritta, ada pula kisah-kisah Jātaka, Milindapañhā, dan sebagian peraturan bagi biksu dan biksuni yang berkaitan dengan Angulimala, serta kronik Mahāwaṃsa pada masa berikutnya.[18]

Naskah-naskah pada masa berikutnya dalam berbagai bahasa yang berkaitan dengan kehidupan Angulimala meliputi naskah Awadāna berjudul Sataka,[19] serta kumpulan cerita berikutnya yang berjudul Kisah tentang Orang Bijaksana dan Orang Dungu, yang tersedia dalam bahasa Tibet dan Tionghoa.[20] Ada pula catatan perjalanan para peziarah Tionghoa yang menyebut Angulimala secara singkat.[21] Selain uraian kehidupan Angulimala, terdapat pustaka Mahāyāna berjudul Sūtra Aṅgulimālīya, yang berisi ceramah Buddha Gautama kepada Angulimala. Ini adalah salah satu Sūtra Tathāgatagarbha, sekelompok pustaka yang menjelaskan tentang sifat kebuddhaan.[1][22] Terdapat sūtra lain dengan judul yang sama, yang disebut-sebut dalam berbagai naskah Tionghoa, yang dipakai untuk mendukung pantangan umat Buddha dalam mengkonsumsi minuman beralkohol. Namun, naskah tersebut tak ditemukan.[23] Selain bukti tekstual, bukti epigrafi kuno juga ditemukan. Salah satu relief kuno yang menggambarkan Angulimala dibuat sekitar abad ke-3 SM.[24]

Cerita

Kelahiran sebelumnya

Berbagai pustaka mengisahkan kehidupan masa lampau sebelum Angulimala lahir dan bertemu Buddha Gautama. Pada kehidupan sebelumnya, ia lahir sebagai raja pemakan manusia yang berubah menjadi yaksa (sejenis siluman; bahasa Pali: yakkha; Sanskerta: yakṣa),[25][26] yang tercatat dalam sejumlah pustaka dengan nama Saudāsa.[27] Saudāsa mulai gemar menyantap daging manusia setelah dihidangkan daging jenazah bayi. Setelah ketagihan, rakyatnya mulai mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka sehingga ia diusir dari kerajaannya sendiri.[28][note 2] Setelah berubah menjadi siluman, Saudāsa bertemu seorang dewa yang berjanji dapat memulihkan status Saudāsa sebagai raja jika ia berhasil mengurbankan seratus raja.[26] Ketika 99 raja telah dikurbankan, raja ke-100 yang bernama Sutasoma berhasil mengubah pikiran Saudāsa, menjadikannya orang yang religius dan membuatnya berhenti melakukan tindak kekerasan. Dalam pustaka, Sutasoma diidentifikasikan sebagai bakal Buddha Gautama,[26][27] dan Saudāsa sebagai bakal dari Angulimala.[29]

Namun, menurut Ekottara Agāma, pada kehidupan sebelumnya Angulimala adalah seorang putra mahkota yang bersifat baik sehingga membuat iri para musuhnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir di tangan musuh-musuhnya, ia bersumpah akan membalas dendam, dan mencapai Nirwana di bawah bimbingan seorang guru, pada kehidupan berikutnya. Versi tersebut kesannya memberikan pembenaran atas tindak pembunuhan yang dilakukan Angulimala.[30]

Masa muda

 
Reruntuhan Taxila, sekarang di Pakistan. Taxila adalah tempat Angulimala berguru.

Menurut sebagian besar pustaka, Angulimala lahir di Sāwatī (sekarang di Uttar Pradesh, India),[27][note 3] dalam keluarga brahmana (agamawan) dari klan Gagga. Ayahnya bernama Bhaggava, seorang pendeta yang mengabdi pada Raja Pasenadi, penguasa Kosala sedangkan ibunya bernama Mantānī.[19] Menurut kitab-kitab ulasan, sejumlah pertanda yang mengiringi kelahiran anak tersebut (senjata-senjata mengeluarkan cahaya dan kemunculan "rasi bintang maling" di langit)[19] memberi isyarat bahwa ia akan menjadi penjahat.[25][31] Saat ayahnya menafsirkan pertanda-pertanda tersebut, sang raja bertanya apakah anak tersebut akan menjadi perampok tunggal atau memimpin kelompok penjahat. Setelah Bhaggava menjawab bahwa ia akan menjadi perampok tunggal, raja memutuskan untuk membiarkannya hidup.[31]

Buddhaghosa menyatakan bahwa sang ayah menamai anaknya Ahiṃsaka, yang artinya 'orang tak berbahaya'.[19] Ini berasal dari kata ahiṃsa (tanpa kekerasan), karena tak ada orang yang tersakiti pada masa kelahirannya, meskipun ada pertanda-pertanda buruk.[1] Menurut ulasan dari Dhammapāla, awalnya ia dinamai Hiṃsaka ('orang berbahaya') oleh sang raja yang khawatir, tetapi nama tersebut kemudian diganti.[19]

Saat dewasa, Ahiṃsaka menjadi orang yang tampan, cerdas, dan berperilaku baik.[25][9] Sebagai pengakuan atas prestasi akademiknya yang luar biasa dan latar belakang keluarganya dari Brahmana yang terhormat, ia terpilih masuk ke Universitas Taxila yang tersohor. Selain itu, ia diberi hak istimewa untuk belajar di bawah bimbingan guru terkemuka, Acariya Disapamuk.[32] Di sana, ia unggul dalam pelajaran dan menjadi murid kesayangan gurunya, serta mendapatkan hak-hak khusus di rumah gurunya. Namun, murid-murid yang lain menjadi iri dengan kemampuan Ahiṃsaka dan berusaha agar ia dimusuhi guru.[19] Akhirnya, mereka menuduh Ahiṃsaka menggoda istri gurunya.[25] Karena tak berniat atau tak dapat menyerang Ahiṃsaka secara langsung,[note 4] sang guru berkata bahwa pendidikan Ahiṃsaka sebenarnya hampir selesai, tetapi ia harus memberikan tanda terima kasih kepada gurunya, sebelum sang guru menyatakan kelulusannya. Sebagai pembayaran, sang guru meminta seribu jari manusia, masing-masing diambil dari orang yang berbeda, karena berpikir bahwa Angulimala pasti terbunuh dalam upaya memenuhi permintaan yang mengerikan itu.[19][9][note 5] Menurut Buddhaghosa, Ahiṃsaka menentangnya, dengan berkata bahwa ia berasal dari keluarga baik-baik, tetapi sang guru membujuknya.[36] Namun, menurut sumber-sumber lain, Ahiṃsaka tak menentang perintah gurunya.[25]

Dalam versi lain diceritakan bahwa istri gurunya berniat untuk menggoda Ahiṃsaka. Karena Ahiṃsaka menolak, ia menjadi tak senang dan berkata kepada suaminya bahwa Ahiṃsaka telah berusaha untuk menggodanya. Kemudian kisah tersebut berlanjut ke jalan cerita yang sama.[1][9]

Hidup sebagai perampok

 
Relief Angulimala sedang mengejar sang Buddha, dari kuil Wat Maisuwankiri di Tumpat, Malaysia.

Setelah diperintahkan oleh gurunya, akhirnya Angulimala menjadi seorang penyamun, berdiam di ngarai di tengah hutan bernama Jālinī, untuk mengintai orang-orang berlalu lalang, lalu membunuh atau melukai mereka.[38][19][25] Ia masyhur akan kecakapannya dalam membegal para korbannya.[39] Setelah orang-orang menghindari jalur tersebut, ia memasuki pemukiman dan menyeret warga dari rumah mereka untuk dibunuh. Akhirnya seluruh warga mengungsi.[19][36] Ia tak pernah merampas baju atau perhiasan dari para korbannya, melainkan hanya jari-jari mereka saja.[36] Sebagai pengingat berapa jumlah korban yang didapatkan, ia menguntai jari-jari tersebut lalu menggantungnya di pohon. Namun, karena sisa daging pada jari-jari tersebut menjadi incaran burung-burung, ia mengenakannya seperti sebuah "kalung". Akhirnya ia dikenal sebagai Angulimala, yang artinya 'kalung jari' atau 'untaian jari'.[1][36] Dalam beberapa relief, ia digambarkan mengenakan hiasan kepala dari jari, bukan kalung.[40]

Bertemu Sang Buddha

 
Lukisan di sebuah wihara di Sravasti, India, yang menggambarkan Angulimala sedang mencoba mengejar Buddha Gautama.

Para penduduk desa yang masih hidup akhirnya mengungsi dari wilayah tersebut, dan mengeluh kepada Pasenadi, raja Kosala.[41][42] Pasenadi menanggapinya dengan mengirim 500 prajurit untuk memburu Angulimala.[43] Sementara itu, orang tua Angulimala mendengar kabar bahwa Pasenadi memburu seorang penjahat. Karena Angulimala lahir dengan pertanda-pertanda buruk, mereka berpikir bahwa yang diburu pasti dia. Kendati ayahnya tidak mau ikut campur,[note 6] ibunya tetap cemas.[41][42][note 7] Karena mengkhawatirkan keselamatan putranya, ia memutuskan untuk menemukan Angulimala, agar dapat memberi tahu niat sang raja, serta mengajak putranya pulang.[44][25] Menurut Buddhaghosa, dengan menggunakan mata batin (bahasa Pali: abhiñña), Sang Buddha mengetahui bahwa Angulimala telah menjagal 999 orang, dan bersusah payah mendapatkan yang ke-1000.[45][note 8] Jika Sang Buddha mendatangi Angulimala pada hari itu, Angulimala akan menjadi biksu, lalu meraih abhiñña.[45] Namun, jika Angulimala malah membunuh ibunya, sang ibu akan menjadi korban ke-1000, sementara Angulimala tak akan terselamatkan,[1][42] karena menurut ajaran Buddha, pembunuhan terhadap ibu sendiri diyakini sebagai salah satu dari lima macam karma terburuk yang dapat dilakukan seseorang.[47][48]

Sang Buddha memutuskan untuk mendatangi Angulimala,[19] meskipun diperingati oleh para warga desa agar mengurungkan niatnya.[15][49] Di tengah jalan yang menembus hutan Kosala, mula-mula Angulimala melihat ibunya.[1] Menurut beberapa versi cerita, ia jadi teringat kembali akan ibunya yang dulu senantiasa menyediakan makanan untuknya.[50] Namun, setelah melakukan pertimbangan, ia memutuskan untuk menjadikan ibunya sebagai korban ke-1000. Namun saat Sang Buddha juga datang, ia memilih Sang Buddha sebagai pengganti ibunya. Setelah menghunus pedang, ia berlari ke arah Sang Buddha. Berdasarkan kepercayaan Buddhisme, meskipun Angulimala berlari secepat mungkin, ia tak kunjung berhasil menggapai Sang Buddha yang berjalan tenang.[1] Diyakini penyebabnya adalah sejumlah kesaktian (bahasa Pali: iddhi; Sanskerta: ṛddhi) yang dipakai Buddha untuk menghadapi Angulimala:[39][5] dalam suatu pustaka dinyatakan bahwa Sang Buddha memakai kekuatan tersebut untuk mengendalikan dan meregangkan ruang di antara mereka, sehingga dapat menjaga jarak dengan Angulimala.[51] Akhirnya Angulimala putus asa sehingga ia meminta Sang Buddha untuk berhenti. Sang Buddha kemudian berkata bahwa ia sendiri telah berhenti, dan seharusnya Angulimala-lah yang berhenti:[1][52]

Angulimala, aku telah berhenti selamanya (bahasa Pali: ṭhita), aku bebas dari kekerasan terhadap makhluk hidup (bahasa Pali: daṇḍa); tetapi engkau tidak punya pengendalian diri (bahasa Pali: asaññato) terhadap makhluk-makhluk hidup; itulah sebabnya aku telah berhenti dan engkau belum.[39][53]

Angulimala bertanya untuk penjelasan lebih lanjut, dan akhirnya Sang Buddha berkata bahwa seorang biksu yang baik harus mengendalikan keinginannya.[54] Angulimala terkesima oleh keberanian Sang Buddha,[55] dan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.[56] Setelah mendengarkan khotbah Buddha, akhirnya Angulimala bertobat, lalu bersumpah untuk meletakkan senjata dan bergabung dengan Sangha Buddha.[57][58][59] Ia ditahbiskan di biara Jetawana.[44]

Pertobatan dan kematian

 
Ilustrasi Angulimala meletakkan senjata di hadapan Sang Buddha, menunjukkan pertobatannya. Lukisan di sebuah wihara di Hat Yai, Thailand Selatan.

Sementara itu, Raja Pasenadi masih berniat untuk membunuh Angulimala. Mula-mula ia mengunjungi Sang Buddha dan para pengikutnya di Jetavana.[11] Ia menjelaskan keperluannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha menanyakan bagaimana tanggapan sang raja apabila ia mendapati bahwa Angulimala telah bertobat dan menjadi biksu. Sang raja berkata bahwa ia akan menghormati Angulimala dan menanggung kehidupannya di wihara. Lalu Sang Buddha menyatakan bahwa Angulimala dengan rambut dan jenggot yang telah dipotong sedang duduk dengan jarak beberapa kaki darinya sebagai anggota Sangha Buddha. Dengan perasaan takjub bercampur senang, sang raja memanggil Angulimala dengan nama klan dan ibunya (bahasa Pali: Gagga Mantānīputta) dan menyumbangkan jubah kepadanya. Namun, Angulimala tidak mau menerima hadiah tersebut, karena sedang menjalankan pengendalian diri.[19][9]

Pada akhirnya, sang raja mengampuni Angulimala. Pernyataan tersebut diakui oleh ahli agama Buddha André Bareau yang mengamati bahwa terdapat kesepakatan tak tertulis untuk tidak saling turut campur antara Sang Buddha dengan para raja dan penguasa pada masa itu.[60] Kemudian, Angulimala melihat seorang wanita muda yang mengalami kesulitan saat melahirkan.[note 9] Angulimala merasa tergerak, dan memahami rasa sakit serta belas kasihan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya saat masih menjadi perampok.[61][59][46] Ia mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah ia dapat mengurangi penderitaan wanita tersebut. Sang Buddha menganjurkan Angulimala untuk pergi mendatangi wanita tersebut dan berkata:

Saudari, sejak saya terlahir, saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera![53]

Angulimala menekankan bahwa ini akan menjadi ketidakbenaran baginya untuk berkata demikian, sehingga Sang Buddha menanggapinya dengan kalimat berbeda:

Saudari, sejak saya terlahir dengan kelahiran mulia, saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera!.[53][1]

Di sini Sang Buddha menekankan tekad Angulimala yang memilih untuk menjadi seorang biksu,[1] menyatakannya sebagai kelahiran kedua yang bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya sebagai perampok.[62][15] Jāti artinya kelahiran, tetapi kata tersebut juga diberi keterangan dalam ulasan pustaka berbahasa Pāli sebagai klan atau garis keturunan (bahasa Pali: gotta). Oleh sebab itu, kata jāti disini juga merujuk kepada garis perguruan para Buddha, yaitu komunitas Sangha.[63]

Setelah Angulimala melakukan "tindak kebajikan" tersebut, sang wanita melahirkan anaknya dengan selamat. Paritta tersebut kemudian menjadi salah satu paritta perlindungan, yang umumnya disebut paritta Aṅgulimāla.[64][1] Sejumlah anggota Sangha senantiasa membacakan paritta tersebut saat memberkati wanita hamil di negara-negara berpenganut Theravāda,[65][66] dan kerap menghafalkannya sebagai bagian dari pelatihan Sangha.[50] Maka, Angulimala sering dipandang sebagai "pelindung" persalinan oleh para pengikut Buddha. Perubahan dari seorang pembunuh menjadi orang yang memberikan perlindungan atas kelahiran merupakan transformasi besar.[7]

Peristiwa tersebut membantu Angulimala menemukan kedamaian.[61] Setelah menunjukkan tindak kebajikan, ia dianggap "memberikan kehidupan daripada kematian bagi penduduk"[61] dan masyarakat mulai menerimanya serta berderma makanan.[67] Namun, beberapa orang masih tak dapat melupakan bahwa ia bertanggung jawab atas kematian orang-orang yang mereka cintai. Dengan tongkat dan batu, mereka menyerangnya saat ia meminta-minta sumbangan. Dalam kondisi kepala berdarah, jubah luar robek, dan pata (mangkuk amal) pecah, Angulimala berhasil kembali ke wihara. Sang Buddha menasihati Angulimala agar menerima siksaan tersebut dengan ikhlas hati; ia menyatakan bahwa Angulimala sudah merasakan akibat dari karma yang seharusnya dapat membuatnya terlahir di neraka.[19][1][68] Sebagai murid tercerahkan, batin Angulimala tetap tenang dan tak tergoyahkan.[1] Menurut ajaran Buddha, murid-murid tercerahkan tidak dapat membuat karma baru, tetapi masih dapat merasakan akibat dari karma lama yang pernah mereka lakukan.[69][59] Hasil karma tak terhindarkan, bahkan Sang Buddha pun tak dapat menghentikannya.[70]

Setelah memperbolehkan Angulimala bergabung dengan Sangha, Sang Buddha mengeluarkan aturan yang berlaku sejak saat itu, yaitu melarang diterimanya penjahat sebagai biksu dalam Sangha. Hal ini dikarenakan protes masyarakat terhadap penahbisan perampok "beruntai jari" tersebut.[19][71] Buddhaghosa menyatakan bahwa Angulimala meninggal tak lama setelah menjadi biksu.[19][71] Setelah kematiannya, sebuah diskusi timbul di kalangan biksu tentang alam kehidupan apakah yang dicapai oleh Angulimala. Saat Sang Buddha menyatakan bahwa Angulimala telah mencapai Nirwana, hal tersebut mengejutkan beberapa biksu. Mereka terkejut dan bertanya bagaimana mungkin seseorang yang membunuh banyak orang masih bisa mencapai pencerahan. Sang Buddha menjawab bahwa bahkan setelah melakukan banyak kejahatan, seseorang masih memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi lebih baik dan meraih pencerahan.[72]

Analisis

 
Stupa Angulimala, bagian dari biara Jetawana di Srawasti, Uttar Pradesh, India

Sejarah

Pemberian kenang-kenangan kepada seorang guru merupakan hal yang lazim pada zaman India Kuno. Terdapat contoh dalam "Pauśyaparwa"[note 10] dari wiracarita Mahābhārata. Diceritakan bahwa seorang guru menugaskan muridnya yang bernama Utangka untuk pergi setelah Utangka menyatakan bahwa dirinya layak untuk dipercaya, serta menguasai ajaran Weda dan Dharmasastra. Utangka berkata kepada gurunya:

"Apakah yang dapat saya lakukan untuk menyenangkan hatimu (Sanskerta: kiṃ te priyaṃ karavāni), karena pernah dikatakan: Barang siapa menjawab tanpa [selaras dengan] darma, dan barang siapa yang bertanya tanpa [selaras dengan] darma, maka yang terjadi: seseorang mati atau seseorang memicu permusuhan."

Indolog Friedrich Wilhelm menyatakan bahwa kalimat yang sama tercantum dalam Manusmerti (II:111) dan dalam Wisnusmerti. Menurut ajaran berbasis Weda, dengan berpamitan kepada guru serta berjanji untuk melakukan apapun yang guru mau, dapat memberikan pencerahan atau pencapaian semacam itu. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila Angulimala diceritakan mau melaksanakan perintah kejam dari gurunya meskipun sebenarnya ia orang baik dan murah hati, karena pada akhirnya ia akan meraih pencapaian tertinggi.[73]

 
Ilustrasi Xuan Zang, peziarah dari Tiongkok (602–64 M). Gagasan bahwa Angulimala adalah bagian dari kultus kekerasan dikemukakan olehnya.

Indolog Richard Gombrich menyatakan bahwa kisah Angulimala bisa jadi sesungguhnya merupakan pertemuan antara Sang Buddha dan seorang pengikut ajaran tantra aliran Saiwa atau Sakta.[74] Gombrich menarik kesimpulan tersebut atas dasar sejumlah inkonsistensi dalam manuskrip yang mengindikasikan adanya pengubahan,[75] serta penjelasan kurang memuaskan tentang perilaku Angulimala yang diuraikan oleh para penafsir.[76][77] Ia menyatakan bahwa terdapat beberapa rujukan lain dalam kanon Pāli yang tampaknya mengindikasikan keberadaan para pengikut Siwa, Kāli, dan dewa-dewi lainnya yang berkaitan dengan ritual berdarah ajaran tantra.[78] Inkonsistensi tekstual yang ditemukan dapat dijelaskan melalui teori tersebut.[79]

Gagasan bahwa Angulimala adalah bagian dari kultus kekerasan dikemukakan oleh peziarah Tionghoa Xuan Zang (602–64 M). Dalam catatan perjalanannya, Xuan Zang menyatakan bahwa Angulimala diajari oleh gurunya bahwa ia akan lahir di alam Brahma jika berhasil membunuh seorang Buddha. Sebuah manuskrip Tionghoa kuno memberikan penjelasan serupa, menyatakan bahwa guru dari gurunya Angulimala memberikan ajaran kejam tersebut untuk mencapai keabadian.[80] Pernyataan Xuan Zang kemudian dikembangkan oleh orang-orang Barat yang menerjemahkan catatan perjalanan Xuan Zang pada awal abad ke-20, tetapi sebagian berdasarkan pada kesalahan terjemahan.[81][82] Terlepas dari itu, Gombrich merupakan cendekiawan modern yang pertama kali mengemukakan gagasan tersebut. Namun, pernyataannya bahwa praktik tantra telah ada sebelum selesainya penyusunan kitab-kitab Buddhis (dua sampai tiga abad Sebelum Masehi) bertolak belakang dengan pengetahuan umum. Konsensus ilmiah menetapkan kebangkitan kultus tantra perdana pada masa sekitar seribu tahun kemudian, dan tak ada bukti kuat yang ditemukan (baik bukti tertulis atau lainnya) tentang praktik tantra berdarah pada masa sebelumnya.[77][83]

Dalam terjemahan Tionghoa dari Damamūkāwadāna oleh Hui-chiao,[84] demikian pula dalam temuan-temuan arkeologis,[27] Angulimala diidentifikasikan dengan Raja Kalmasapada atau Saudāsa dalam mitologi Hindu, yang dikenal sejak zaman Weda. Manuskrip kuno sering kali menceritakan kehidupan Saudāsa sebagai kehidupan Angulimala sebelumnya, dan kedua tokoh tersebut menghadapi masalah untuk menjadi seorang brahmana yang baik.[27]

Dalam berbagai penggambaran, Angulimala mengenakan hiasan kepala. Sejarawan seni rupa Pia Brancaccio berpendapat bahwa hiasan kepala adalah penanda khas India untuk figur yang berkaitan dengan alam liar atau perburuan.[40] Brancaccio juga meyakini bahwa hiasan tersebut dipakai oleh para seniman untuk memberi ciri bahwa Angulimala berasal dari suku pedalaman dan ditakuti oleh umat Buddha awal yang sebagian besar merupakan masyarakat perkotaan.[85]

Ajaran

Aṅgulimāla Sutta

Dan walaupun aku dulu hidup sebagai bandit
Dengan nama ‘Untaian-Jari,’
Orang yang disapu banjir deras,
Aku telah pergi untuk perlindungan kepada Buddha.
[…] Jadi silakan datang pada pilihanku itu
Dan biarlah hal itu bertahan, karena ia tidak salah dibuat;
Aku telah mencapai tiga pengetahuan
Dan melaksanakan semua yang diajarkan Sang Buddha.

—Diterjemahkan dari bahasa Inggris, oleh: Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati.[53]

Di kalangan umat Buddha, Angulimala adalah salah satu cerita paling terkenal.[57] Tak hanya pada masa kini: pada zaman kuno, dua peziarah asal Tionghoa yang datang dari India membuat laporan berisi cerita tersebut, serta memberitahukan tempat-tempat yang mereka kunjungi yang berkaitan dengan kehidupan Angulimala.[44] Dari sudut pandang umat Buddha, cerita Angulimala dijadikan contoh bahwa orang bertabiat buruk sekalipun dapat mengatasi kesalahan mereka dan kembali ke jalan yang benar.[86] Sejumlah tafsiran memakai cerita tersebut sebagai contoh karma baik dapat mengatasi karma buruk.[19] Umat Buddha menganggap Angulimala sebagai simbol transformasi menyeluruh[25] dan sebagai contoh bahwa ajaran Buddha dapat mengubah orang yang tampaknya tidak memungkinkan.[87] Umat Buddha mengangkat cerita Angulimala sebagai contoh tindakan welas asih (bahasa Pali: karuṇa) dan kekuatan adikodrati (bahasa Pali: iddhi) dari Sang Buddha.[19] Pertobatan Angulimala dikutip sebagai pengakuan akan kecakapan Sang Buddha sebagai guru,[10] dan contoh kemanjuran dari ajaran Buddha (darma).[88]

Melalui jawabannya kepada Angulimala, Sang Buddha menghubungkan sikap henti dengan gagasan 'menahan diri dari kekerasan' (bahasa Pali: avihiṃsa). Walaupun seseorang tak dapat menghindari hukum karma yang kekal, setidaknya seseorang dapat memperkecil karma dengan cara berhenti melakukan kekerasan. Pustaka-pustaka menafsirkan hal ini sebagai bentuk "diam".[89] Selain itu, kisah Angulimala mengilustrasikan bahwa terdapat kekuatan spiritual dalam sikap henti, yaitu saat Sang Buddha digambarkan tak mampu dikejar Angulimala yang penuh kekerasan. Meskipun itu dijelaskan sebagai akibat dari pencapaian adikodrati Sang Buddha, makna yang mendalam adalah bahwa "… 'orang yang berhenti secara spiritual' dapat bergerak lebih cepat ketimbang orang yang 'aktif secara konvensional'". Dengan kata lain, pencapaian spiritual hanya memungkinkan melalui tindakan tanpa kekerasan.[39]

Perilaku

 
Raja Pasenadi menanam sebuah Pohon Bodhi untuk menghormati Sang Buddha.

Cerita Angulimala menggambarkan bagaimana para penjahat dapat terpengaruh oleh lingkungan psikososial dan lingkungan fisik mereka.[90] Psikolog analitis Dale Mathers berteori bahwa Ahiṃsaka mulai membunuh karena harga dirinya telah runtuh. Ia tak lagi diapresiasi sebagai orang yang bertalenta dalam hal akademik. Sikapnya dapat disimpulkan bahwa "Aku tak memiliki harga diri; maka dari itu aku bisa membunuh. Jika aku membunuh, itu membuktikan bahwa aku tak memiliki harga diri".[52] Dalam menyimpulkan kehidupan Angulimala, Mathers menulis, "ia adalah ... seorang figur yang menjembatani pemberian dan pencabutan nyawa."[91] Senada dengan hal tersebut, dengan merujuk kepada konsep psikologi tentang luka moral, teolog John Thompson mendeskripsikan Angulimala sebagai seseorang yang dikhianati oleh seorang sosok berpengaruh, tetapi berhasil memulihkan prinsip moralnya yang terkikis maupun masyarakat yang menjadi korbannya.[92] Para korban luka moral memerlukan seorang penyembuh dan komunitas yang berjuang bersama-sama tetapi melakukannya dengan cara yang aman; demikian pula Angulimala dapat pulih dari luka moralnya karena Sang Buddha menjadi pemandu spiritualnya, serta komunitas biksu (Sangha) yang menuntun hidup dalam kedisiplinan, sabar menghadapi kesukaran.[93] Thompson kemudian berpendapat bahwa cerita Angulimala dapat dipakai sebagai terapi naratif[92] dan menyebut etika yang terdapat dalam cerita ini sebagai pertanggungjawaban yang menginspirasi. Cerita tersebut bukan tentang diselamatkan, tetapi lebih kepada menyelamatkan seseorang dengan bantuan dari orang lain.[94]

Ahli etika David Loy menulis secara ekstensif tentang cerita Angulimala dan implikasinya terhadap sistem keadilan. Ia meyakini bahwa dalam etika Buddhis, satu-satunya alasan seorang pelanggar/penjahat dihukum adalah untuk memperbaiki tingkah laku mereka. Jika seorang penjahat seperti Angulimala telah sadar untuk mengubah perilakunya sendiri, maka tak ada alasan untuk menghukumnya, bahkan sebagai tindakan pencegahan. Selain itu, Loy berpendapat bahwa cerita Angulimala tak mengandung bentuk keadilan restoratif maupun transformatif, sehingga cerita tersebut dianggap sebagai contoh keadilan yang "cacat".[95] Di sisi lain, mantan politikus dan ahli kesehatan masyarakat Mathura Shrestha menyebut cerita Angulimala "mungkin merupakan konsep pertama dari keadilan transformatif", merujuk kepada pertobatan Angulimala dari kehidupan lamanya sebagai perampok, dan pemaafan yang ia terima dari para kerabat korban.[96] Dalam tulisannya tentang hukuman mati, cendekiawan Damien Horigan menyatakan bahwa rehabilitasi adalah tema utama dari cerita Angulimala, dan rehabilitasi yang telah disaksikan merupakan alasan Raja Pasenadi tidak menghukum Angulimala.[97]

Dalam ritual pra-kelahiran di Sri Lanka, saat Sutta Aṅgulimāla dibacakan untuk wanita hamil, merupakan suatu adat istiadat di sana untuk menaruh benda-benda sebagai lambang kesuburan dan reproduksi di sekeliling wanita tersebut, seperti potongan pohon kelapa dan periuk tanah liat.[98] Para cendekiawan menekankan bahwa dalam mitologi di Asia Tenggara, terdapat kaitan antara sosok haus darah dengan tema kesuburan.[61][99] Penumpahan darah dapat ditemukan dalam tindak kekerasan dan juga kelahiran anak, yang menjelaskan mengapa Angulimala digambarkan sebagai pembunuh sekaligus penyembuh yang berkenaan dengan kelahiran.[99]

Terkait cerita pertemuan Sang Buddha dengan Angulimala, tokoh feminis Liz Wilson menyimpulkan bahwa cerita tersebut adalah contoh kerja sama dan saling ketergantungan antara lawan jenis: Sang Buddha dan ibu Angulimala sama-sama mencoba untuk menghentikannya.[100] Hal senada diungkapkan Thompson, bahwa kaum ibu memainkan peran penting dalam cerita tersebut, merujuk pada bagian saat sang ibu berusaha untuk menghentikan Angulimala, serta pertolongan Angulimala terhadap seorang ibu yang akan melahirkan. Selain itu, baik Sang Buddha maupun Angulimala mengambil peran keibuan dalam cerita tersebut.[101] Meskipun banyak cerita India kuno yang menghubungkan kaum wanita dengan sifat-sifat bebal dan lemah, cerita Angulimala mengakui sifat-sifat kewanitaan, dan Sang Buddha bertindak sebagai penasihat bijak untuk menerapkan sifat-sifat tersebut dengan cara yang konstruktif.[102] Meskipun demikian, Thompson tak menganggap cerita tersebut menganjurkan feminisme, tetapi lebih berpendapat bahwa cerita tersebut mengandung etika kepedulian yang feminis, yang berakar kepada agama Buddha.[88]

Dalam budaya modern

 
Satish Kumar, seorang aktivis yang mengadaptasi cerita Angulimala dalam buku pendeknya The Buddha and the Terrorist.

Sepanjang sejarah agama Buddha, cerita Angulimala telah digambarkan ke dalam berbagai bentuk kesenian,[10] beberapa di antaranya dapat ditemukan di museum dan situs cagar budaya Buddha. Dalam budaya modern, Angulimala masih memainkan peran penting.[22] Pada tahun 1985, biksu Theravāda kelahiran Inggris Ajahn Khemadhammo mendirikan "Aṅgulimāla", sebuah organisasi pelayanan kapelan Buddhis di penjara di Inggris.[103][104] Organisasi tersebut diakui oleh pemerintah Inggris sebagai perwakilan resmi dari agama Buddha dalam segala urusan terkait lembaga pemasyarakatan di Inggris, dan menyediakan kapelan, layanan konseling, ajaran agama Buddha, dan meditasi kepada para tahanan di seluruh Inggris, Wales, dan Skotlandia.[103] Nama organisasi tersebut merujuk kepada kekuatan transformasi yang dicontohkan dalam cerita Angulimala.[25][22] Menurut situs web organisasi tersebut, "Cerita Angulimala mengajarkan kita bahwa peluang meraih pencerahan dapat terjadi dalam keadaan yang sangat ekstrem, bahwa orang-orang mampu dan melakukan perubahan, serta bahwa orang-orang sangat dipengaruhi oleh persuasi dan yang lebih penting ialah percontohan."[105]

Dalam budaya populer, legenda Angulimala telah meraih perhatian luas. Cerita tersebut telah menjadi subjek utama dari sekurang-kurangnya tiga film.[22] Pada tahun 2003, sutradara asal Thailand, Suthep Tannirat berupaya merilis film berjudul Angulimala. Namun, lebih dari 20 organisasi Buddha konservatif di Thailand melayangkan protes karena film tersebut dianggap menyimpang dari ajaran dan sejarah agama Buddha, serta menampilkan pengaruh Hindu dan teisme yang tak ditemukan dalam kitab-kitab Buddhis.[106] Badan penyensoran film Thai menolak permintaan untuk mencekal film tersebut, dengan alasan bahwa film tersebut tak menyimpang dari ajaran Buddha. Mereka menyatakan bahwa sutradara telah memotong dua adegan berunsur kekerasan.[107] Kelompok-kelompok konservatif merasa tak senang dengan penggambaran Angulimala sebagai pembunuh brutal, tanpa menampilkan cerita yang menjelaskan mengapa ia menjadi penjahat semacam itu. Namun, Tannirat membela dirinya sendiri dengan berpendapat bahwa meskipun ia mengabaikan penafsiran dari ulasan para cendekiawan, ia mengikuti sumber-sumber Buddhis terdahulu dengan teliti.[106] Pilihan Tannirat untuk memakai sumber sejarah awal saja, alih-alih cerita populer dari ulasan para cendekiawan, merupakan hal yang menimbulkan protes tersebut.[22][108]

Angulimala juga menjadi subjek karya sastra.[109] Pada tahun 2006, aktivis perdamaian Satish Kumar menulis kembali cerita Angulimala dalam buku pendeknya The Buddha and the Terrorist. Buku tersebut membahas tentang perang melawan terorisme, dengan mereka ulang dan memadukan berbagai cerita tentang Angulimala, yang dideskripsikan sebagai teroris.[109] Buku tersebut mempertegas cerita saat Sang Buddha menerima Angulimala dalam sangha, yang berakibat terhindarnya hukuman dari Raja Pasenadi. Dalam buku Kumar, tindakan tersebut berujung pada kemarahan masyarakat, yang menuntut penahanan Angulimala dan Sang Buddha. Pasenadi mengadakan pengadilan terbuka di hadapan warga desa dan dewan kerajaan, agar majelis dapat memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap kedua terdakwa. Namun pada akhirnya, majelis memutuskan untuk membebaskan keduanya, setelah Angulimala mengakui kejahatannya dan Pasenadi memberi pidato yang menegaskan pengampunan alih-alih hukuman.[109] Pelintiran cerita tersebut memberikan pemahaman berbeda terhadap Angulimala, yang tindak kekerasannya berujung pada pengadilan, serta masyarakat yang lebih adil dan tanpa kekerasan.[110] Dalam tulisan tentang pustaka Buddhis dan buku Kumar, Thompson membayangkan bahwa ahiṃsa dalam agama Buddha mungkin memiliki pemahaman yang berbeda menurut konteks yang berbeda, dan sering kali tak berarti diam secara pasif, atau tanpa kekerasan sebagaimana pemahaman pada umumnya.[111][88]

Catatan penjelas

  1. ^ Sebagai perbandingan, hingga 1994, para cendekiawan memperkirakan Sang Buddha hidup antara abad ke-5 dan ke-4 SM.[6]
  2. ^ Kisah tentang penyantapan jenazah bayi hanya ditemukan dalam satu kisah versi Tionghoa, dan ditulis untuk mengkritik praktik semacam itu yang terjadi di Tiongkok pada abad ke-5.[28]
  3. ^ Menurut dua teks Tionghoa kuno, Angulimala lahir di Magadha atau Aṅga, dan Raja Pasenadi sama sekali tak disebutkan.[9][11]
  4. ^ Dhammapāla menyatakan bahwa Ahiṃsaka "sekuat tujuh gajah", sementara pustaka lain menyatakan bahwa sang guru khawatir reputasinya akan jatuh jika diketahui bahwa ia membunuh murid.[33][34]
  5. ^ Beberapa versi cerita menyebut ratusan jari, sementara sumber lain menyebut ribuan.[33][35] Dhammapāla menyatakan bahwa Angulimala diwajibkan untuk mengambil seribu jari dari tangan kanan saja,[36] tampaknya tak menyadari bahwa itu dapat dicapai dengan membunuh 200 orang,[36] atau dengan mengambil jari-jari dari jenazah.[12] Di sisi lain, Buddhaghosa menyatakan bahwa Angulimala dikisahkan "membunuh seribu kaki," dan hanya mengumpulkan jari-jari sebagai alat bantu agar hitungannya akurat.[37]
  6. ^ Buddhaghosa berkata bahwa ia tak peduli, sementara Dhammapāla berkata bahwa ia meyakini bahwa ia "tak berguna untuk putra semacam itu".[42]
  7. ^ Ahli agama Buddha André Bareau dan teolog John Thompson berpendapat bahwa kisah ibunya yang berniat untuk ikut campur merupakan tambahan pada cerita aslinya, tetapi cendekiawan kajian Asia Monika Zin menyatakan bahwa ibunya telah muncul dalam seni rupa Buddhis awal.[33][44]
  8. ^ Namun, menurut beberapa versi, Sang Buddha mendengar tentang Angulimala dari para biarawan, yang datang untuk mengumpulkan amal dan melihat para penduduk desa yang berkeluh kesah di istana Pasenadi.[46]
  9. ^ Penggalan kisah ini tak muncul dalam seluruh versi Tripitaka.[9]
  10. ^ Pausyaparwa, Mahābhārata jilid 1 (Adiparwa), bagian ke-3.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Buswell & Lopez 2013.
  2. ^ Gombrich 2006, hlm. 135 n.1.
  3. ^ a b c Thompson 2015, hlm. 161.
  4. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 137.
  5. ^ a b c d e Thompson 2015, hlm. 162.
  6. ^ Norman 1994, hlm. 39.
  7. ^ a b Wilson 2016, hlm. 285.
  8. ^ a b c Wilson 2016, hlm. 288.
  9. ^ a b c d e f g Zin 2005, hlm. 707.
  10. ^ a b c Analayo 2008, hlm. 135.
  11. ^ a b c Bareau 1986, hlm. 655.
  12. ^ a b Thompson 2017, hlm. 176.
  13. ^ Bareau 1986, hlm. 654.
  14. ^ Analayo 2008, hlm. 147.
  15. ^ a b c Gombrich 2006, hlm. 136.
  16. ^ Gombrich 2006, hlm. 141.
  17. ^ Kosuta 2017, hlm. 36.
  18. ^ Thompson 2015, hlm. 161–2.
  19. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Malalasekera 1960.
  20. ^ Analayo 2008, hlm. 140.
  21. ^ Brancaccio 1999, hlm. 105.
  22. ^ a b c d e Thompson 2015, hlm. 164.
  23. ^ Wang-Toutain 1999, hlm. 101–2, 105, 112–5.
  24. ^ Zin 2005, hlm. 709.
  25. ^ a b c d e f g h i Wilson 2016, hlm. 286.
  26. ^ a b c Barrett 2004, hlm. 180.
  27. ^ a b c d e Zin 2005, hlm. 706.
  28. ^ a b Barrett 2004, hlm. 181.
  29. ^ Wilkens 2004, hlm. 169.
  30. ^ Bareau 1986, hlm. 656–7.
  31. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 138.
  32. ^ Kumarasiri 2004, hlm. 8.
  33. ^ a b c Zin 2005, hlm. 708.
  34. ^ Gombrich 2006, hlm. 138–9.
  35. ^ Analayo 2008, hlm. 141.
  36. ^ a b c d e f Gombrich 2006, hlm. 139.
  37. ^ Gombrich 2006, hlm. 142.
  38. ^ Lamotte 1988, hlm. 22.
  39. ^ a b c d Wiltshire 1984, hlm. 91.
  40. ^ a b Brancaccio 1999, hlm. 108–12.
  41. ^ a b Wilson 2016, hlm. 293–4.
  42. ^ a b c d Gombrich 2006, hlm. 140.
  43. ^ Loy 2009, hlm. 1246.
  44. ^ a b c d Thompson 2015, hlm. 163.
  45. ^ a b Wilson 2016, hlm. 298 n.30.
  46. ^ a b Bareau 1986, hlm. 656.
  47. ^ Kosuta 2017, hlm. 40–1.
  48. ^ Analayo 2008, hlm. 146.
  49. ^ van Oosten 2008, hlm. 251.
  50. ^ a b Thompson 2017, hlm. 183.
  51. ^ Analayo 2008, hlm. 142.
  52. ^ a b Mathers 2013, hlm. 127.
  53. ^ a b c d Cintiawati & Anggawati 2008.
  54. ^ Thompson 2015, hlm. 162–3.
  55. ^ Analayo 2008, hlm. 145.
  56. ^ Thompson 2017, hlm. 177.
  57. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 135.
  58. ^ Analayo 2008, hlm. 142–3.
  59. ^ a b c van Oosten 2008, hlm. 252.
  60. ^ Thompson 2015, hlm. 166–7.
  61. ^ a b c d Langenberg 2013, hlm. 351.
  62. ^ Wilson 2016, hlm. 293.
  63. ^ Wilson 2016, hlm. 297–8 n.24.
  64. ^ Swearer 2010, hlm. 253.
  65. ^ Appleton 2013, hlm. 141.
  66. ^ Eckel 2001, hlm. 67–8.
  67. ^ Parkum & Stultz 2012.
  68. ^ Harvey 2010.
  69. ^ Loy 2008, hlm. 230.
  70. ^ Attwood 2014, hlm. 522.
  71. ^ a b Kosuta 2017, hlm. 42.
  72. ^ van Oosten 2008, hlm. 252–3.
  73. ^ Wilhelm 1965, hlm. 11.
  74. ^ Gombrich 2006, hlm. 151.
  75. ^ Gombrich 2006, hlm. 144–51.
  76. ^ Gombrich 2006, hlm. 136, 141.
  77. ^ a b Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 170.
  78. ^ Gombrich 2006, hlm. 155–62.
  79. ^ Gombrich 2006, hlm. 152–4.
  80. ^ Brancaccio 1999, hlm. 105–6.
  81. ^ Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 177 n.25.
  82. ^ Analayo 2008, hlm. 143–4 n.42.
  83. ^ Gombrich 2006, hlm. 152 n.7, 155.
  84. ^ Malalasekera 2003, hlm. 628.
  85. ^ Brancaccio 1999, hlm. 115–6.
  86. ^ Harvey 2013, hlm. 266.
  87. ^ Juergensmeyer, Kitts & Jerryson 2013, hlm. 58.
  88. ^ a b c Thompson 2017, hlm. 188.
  89. ^ Wiltshire 1984, hlm. 95.
  90. ^ Kangkanagme & Keerthirathne 2016, hlm. 36.
  91. ^ Mathers 2013, hlm. 129.
  92. ^ a b McDonald 2017, hlm. 29.
  93. ^ Thompson 2017, hlm. 182.
  94. ^ Thompson 2017, hlm. 189.
  95. ^ Loy 2009, hlm. 1247.
  96. ^ Shrestha 2007.
  97. ^ Horigan 1996, hlm. 282.
  98. ^ Van Daele 2013, hlm. 100, 102–3.
  99. ^ a b Wilson 2016, hlm. 289.
  100. ^ Wilson 2016, hlm. 295–6.
  101. ^ Thompson 2017, hlm. 184.
  102. ^ Thompson 2017, hlm. 185–6.
  103. ^ a b Fernquest 2011.
  104. ^ Harvey 2013, hlm. 450.
  105. ^ Khemadhammo 2018.
  106. ^ a b Ngamkham 1 2003.
  107. ^ Ngamkham 2 2003.
  108. ^ Thompson 2017, hlm. 175 n.15.
  109. ^ a b c Thompson 2015, hlm. 168.
  110. ^ Thompson 2015, hlm. 169.
  111. ^ Thompson 2015, hlm. 172–3.

Daftar pustaka

Pranala luar