Kana (仮名) adalah sebutan untuk aksara silabik Jepang yang terdiri dari katakana, hiragana, dan man'yōgana. Ketiganya merupakan penyederhanaan dari aksara Tionghoa yang dikenal di Jepang sebagai kanji.

Asal usul kata "kana" adalah "kari no ji" (仮の字; aksara sementara) atau ditulis sebagai 借りの字 (aksara pinjaman). Sebelum dibaca sebagai "kana":, aksara Tionghoa untuk 仮名 juga dilafalkan "karina" atau "kanna". Aksara ini disebut "kana" untuk membedakannya dari kanji yang disebut "mana" (真名, aksara resmi).

Variasi yang tidak umum dari kana disebut hentaigana. Bentuknya berbeda dari kana yang dikenal sekarang. Penggunaannya terbatas pada kaligrafi, benda seni, atau papan reklame.

Sejarah sunting

Orang Jepang mulai bisa menulis setelah mengenal aksara Tionghoa. Namun aksara Tionghoa mulanya diciptakan untuk menulis bahasa Tionghoa, dan orang Jepang sulit memakainya untuk menulis bahasa Jepang. Sebagai pemecahannya, sebuah karakter dipakai untuk melambangkan sebuah bunyi, sedangkan arti yang dikandung masing-masing karakter diabaikan. Hasilnya adalah tulisan yang ditulis dengan menyusun satu demi satu aksara kanji untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang. Metode tersebut dipakai untuk menulis prasasti batu dan literatur klasik seperti Kojiki, Nihon Shoki, dan sebagian besar isi Man'yōshū sehingga disebut man'yōgana (kana untuk Man'yōshū). Kata "kana" sendiri berarti aksara sementara atau aksara pinjaman. Pada waktu itu, kanji juga dikenal sebagai mana (真字, aksara resmi), sehingga kana untuk Man'yōshū disebut magana (真仮名, kana resmi).

Di antara metode penulisan kanji secara man'yōgana yang paling populer adalah:

  • on'gana (音仮名): bunyi dalam ucapan Tionghoa dipakai untuk menulis bahasa Jepang, misalnya: 夜麻 河波 宇具比須 有兼 dibaca: "yama kawa uguhisu arikemu"
  • kun'gana (訓仮名): masing-masing karakter dibaca menurut ucapan Jepang, misalnya: 八間跡 夏樫 写心 鳴呼 dibaca: "yamato natsukashi utsushigokoro a".

Berdasarkan fungsinya yang hanya sebagai lambang bunyi, sewaktu kanji dipakai sebagai man'yōgana, orang tidak lagi memakai karakter yang dibentuk dari coretan-coretan yang rumit dan susah ditulis. Karakter yang terus dipakai adalah karakter yang mudah ditulis. Ketika dipakai untuk menulis waka atau tulisan sehari-hari, man'yogana yang ditulis kursif (sōsho) disebut sōgana (草仮名). Selanjutnya agar lebih cepat ditulis, sōgana kembali disederhanakan hingga tercipta hiragana.

Sementara itu, katakana berawal dari penggunaan kanji yang dibaca menurut ucapan bahasa Jepang untuk menulis kanbun. Tanda-tanda khusus ditambahkan di tempat susunan kanji harus dibaca menurut ucapan bahasa Jepang. Kanbun juga disertai petunjuk berupa okurigana dan furigana (yomigana) agar kalimat bisa dibaca sebagai bahasa Jepang. Keterbatasan ruang kertas akhirnya membuat orang hanya menulis coretan yang unik dari sebuah karakter sehingga tercipta katakana. Selanjutnya, kanbun dilengkapi dengan katakana agar mudah dibaca.

Setelah katakana dan hiragana semakin luas digunakan, man'yōgana semakin jarang dipakai. Di zaman sekarang, man'yōgana hanya kadang-kadang saja dipakai untuk menarik perhatian orang. Di antaranya, man'yōgana dipakai untuk menulis tajuk pengumuman obral (宝利出市, dibaca: holiday ichi; obral masa liburan) atau petunjuk tempat sampah (護美箱, dibaca: gomibako).

Hiragana dan katakana sunting

Sebagai fonogram, kana pada prinsipnya adalah aksara suku kata (satu aksara melambangkan satu suku kata).

Tabel aksara kana (Tabel yang sama dalam bentuk gambar)
k s t n h m y r w n/m
a a ka sa ta na ha ma ya ra wa
i i ki shi chi ni hi mi * ri (wi)
u u ku su tsu nu fu mu yu ru * n/m
e e ke se te ne he me * re (we)
o o ko so to no ho mo yo ro o/(wo)

Bunyi dalam tanda kurung sudah jarang dipakai

Pengecualian sunting

Dalam pemakaian kana modern, sesuai fonologi dan pengucapan penutur asli bahasa Jepang, secara umum satu karakter kana melambangkan satu suara, kecuali:

  • dapat dilafalkan sebagai [ha] atau [wa]
  • dapat dilafalkan sebagai [he] atau [e]
  • atau sama-sama dilafalkan sebagai [o]
  • ・ジ maupun ・ヂ sama-sama dilafalkan sebagai [ji]
  • ・ズ maupun ・ヅ sama-sama dilafalkan sebagai [zu].

pelafalan は,へ dan を tersebut memiliki ketentuan dalam perubahan pelafalan jika sebagai joshi (助詞 [partikel dalam bahasa Jepang]. Sedangkan kana じ, ぢ, ず, づ sebenarnya berupa dua pasang kana yang nyaris sama pelafalannya dan dikenal sebagai yotsugana.

Secara fonetis, pemakaian kana modern tidak selalu satu karakter satu suara:

  • ([ka]) dan ([ga]) juga dilafalkan sebagai [kwa] atau [gwa].
  • ([u]) dalam しょうかい misalnya tidak dilafalkan sebagai [sho] [u] [kai] melainkan sebagai lambang bunyi vokal panjang dari suku kata yang mendahuluinya (sho dibaca shō atau sho:).
  • Pengucapan ([i]) dalam ていか(低下、定価) bergantung kepada penuturnya. Vokal [i] bisa dilafalkan atau dipakai untuk melambangkan bunyi vokal panjang dari suku kata yang mendahuluinya.
  • ([go]) pertama dalam ごご(午後) adalah bunyi letup [go]. Namun pengucapan kedua bisa berupa bunyi letup atau bunyi sengau [ŋo].
  • Vokal [u] dan [i] sering tidak dibunyikan, seperti dalam kata-kata yang berakhiran dengan です atau ます. Selain itu, [u] dalam sering tidak dilafalkan, misalnya: こくさいれんごう(国際連合). Selain itu, [i] dalam sering tidak dilafalkan, misalnya: れきし(歴史) atau えきしゃ(易者).

Terkhusus untuk kana yang umumnya dilafalkan sebagai 'n' akan berubah pelafalan berdasarkan letak huruf maupun huruf apa yang ditemuinya[1]:

  • Kana dilafalkan sebagai [m] jika menemui pelafalan dengan konsonan b, m maupun p seperti pada kata しんまい yang romajinya adalah shinmai yang dilafalkan sebagai shimmai.
  • Kana dilafalkan sebagai [ŋ] jika menemui pelafalan dengan konsonan k maupun g seperti pada kata りんご yang romajinya adalah ringo yang dilafalkan sebagai ringgo.
  • Kana dilafalkan sebagai [ɴ] jika berada di akhir kata maupun kalimat seperti pada kata さいしん yang romajinya adalah saishin yang dilafalkan sebagai saishiɴ. pelafalan ɴ merupakan pelafalan ŋ yang lebih lemah dan berada diantara pelafalan n dan ŋ.
  • Sementara itu, dalam はんえい, かんわ, dan こんや dilafalkan di titik artikulasi yang sama dengan suku kata yang mengikutinya sebagai konsonan hampiran yang disengaukan atau bunyi sengau.
  • sedangkan sisanya dilafalkan sebagai 'n' pada umumnya.

Pemakaian sunting

Referensi sunting

  1. ^ Alfarobbi, M.B. (2022). Fundamental Aksara Jepang (日本字の原理). Yogyakarta: Deepublish. hlm. 11. ISBN 978-623-02-5213-6.