Njanji Soenji: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
JThorneBOT (bicara | kontrib) →Bacaan lanjutan: clean up, removed: {{Link GA|en}} |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 35:
==Isi==
''Njanji Sunji'' terdiri dari 24 puisi berjudul dan satu [[kuatrain]] tanpa judul.{{sfn|Hamzah|1949|p=5–30}} Pakar sastra Indonesia [[H.B. Jassin]] menyebut delapan karyanya sebagai [[puisi prosa|prosa lirik]] dan sisanya puisi.{{sfn|Jassin|1962|p=212}} Tak satupun karya di ''Nyanyi Sunyi'' yang diberi tanggal (sebagaimana karya-karya Amir lainnya).{{sfn|Jassin|1962|p=9}} Di penghujung buku tercantum sebuah kuplet bertuliskan "''Sunting sanggul melayah rendah / sekaki sajak seni sedih''"
Puisi-puisi yang masuk dalam koleksi ini adalah:{{sfn|Hamzah|1949|p=5–30}}
Baris 84:
Belum lagi Amir menerima posisinya yang rendah dalam hubungannya dengan Tuhan. Jassin menulis bahwa kadang Amir menunjukkan perasaan tidak puas terhadap sedikitnya kuasa diri dan memprotes kemutlakan Tuhan.{{sfn|Jassin|1962|p=29}} Teeuw juga melihat perasaan ketidakpuasan di seluruh puisinya. Ia menulis bahwa Amir tampaknya memperlakukan Tuhan sebagai sesuatu yang "hanya mempermain-mainkan manusia yang dibiarkannya tertunggu-tunggu dan terhapus".{{efn|Teks asli: "''... hanya memper-main<sup>2</sup>kan manusia, jang dibiarkanja ter-tunggu<sup>2</sup> dan terhapus.''"<!--Superscript twos represent reduplication, as used in the source. In the modern orthography this would be mempermain-mainkan manusia and tertunggu-tunggu.-->}}{{sfn|Teeuw|1955|p=117}} Teeuw menulis lagi bahwa Amir mempertanyakan nasib dan kepentingan dirinya untuk berpisah dari kekasihnya.{{sfn|Teeuw|1980|pp=140}}
Selain tema Tuhan dan agama, Amir juga menunjukkan kesadaran akan sifat manusiawinya dengan mengakui insting dan nafsunya.{{sfn|Jassin|1962|p=32}} Jassin menulis bahwa "nyanyian Amir adalah nyanyian jiwa manusia",{{efn|Teks asli: "''Njanjian Amir adalah njanjian djiwa manusia.''"}} menunjukkan kesedihan dan kebahagiaan yang tidak mengenal kelas atau tingkatan.{{sfn|Jassin|1962|p=32}} Teeuw melihat adanya rasa ketidakpercayaan, perasaan bahwa – setelah kehilangan cintanya – tidak ada lagi alasan bagi Amir untuk kehilangan cinta selanjutnya.{{sfn|Teeuw|1955|p=117}} Kritikus Indonesia [[Zuber Usman]] justru membicarakan tema kehilangan cinta jika dikaitkan dengan agama. Ia menulis bahwa setelah meninggalkan kekasih Jawanya, Amir semakin dekat dengan
Jassin mencatat bahwa Amir memakai kata "sunyi" sebagai cara untuk menyampaikan masalah-masalah duniawinya dengan waktu, identitas diri, Tuhan, dan cinta. Menurut Jassin, di akhir koleksi puisi ini cinta fisik beralih menjadi cinta spiritual dan jawaban atas permasalahannya berasal dari hal supernatural.{{sfn|Jassin|1962|p=13}} Pada akhirnya, Jassin menyimpulkan bahwa jiwa Amir belum mencapai kedewasaan. Ia menganggap puisi terakhir di koleksi ini, "Astana Rela", bertujuan melarikan diri untuk sementara.{{sfn|Jassin|1962|p=14}} Jassin menemukan bahwa tema agama juga berarti pelarian dari kesedihan duniawi Amir,{{sfn|Jassin|1962|p=31}} sebuah pendapat yang juga diiyakan oleh Usman.<!--Usman essentially discusses half the poems in-depth-->{{sfn|Usman|1959|pp=231–50}}
|