Mohammad Yamin: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Tanpa kontroversi bukanlah Yamin.
Baris 71:
 
Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan [[tahanan politik]] yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa [[grasi]] dan [[remisi]], ia mengeluarkan 950 orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR. Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian disaat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Diantara perguruan tinggi yang ia dirikan adalah [[Universitas Andalas]] di [[Kota Padang|Padang]], [[Sumatera Barat]].
 
== Kontroversi ==
SEBUAH pertemuan kecil digelar di Istana Negara. Hari itu, 29 Mei 1995, Menteri-Sekretaris Negara Moerdiono bersama satu tim kecil penyusun buku datang menghadap Presiden Soeharto. Di antara rombongan ada sejarawan Taufik Abdullah, A.B. Kusuma, dan Nannie Hudawati. "Tim buku" itu dipimpin Syafroedin Bahar, pejabat Sekretariat Negara yang belakangan pernah menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.<ref>Edisi Khusus [[Tempo]] : Kontroversi Buku Yamin.</ref>
 
Mereka datang untuk menyerahkan sebuah buku yang selama 50 tahun-bahkan hingga kini-belum lengkap, yakni Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan terbitan Sekretariat Negara, edisi ketiga. Buku tersebut merevisi buku karya Mohammad Yamin yang terbit pada 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I. "Buku itu edisi terakhir yang paling lengkap, meski belum sempurna," kata Taufik Abdullah.
 
Tim perlu melapor kepada Soeharto karena pada edisi tersebut ada tambahan penting, yakni dua arsip, yang kemudian dikenal sebagai "Koleksi Pringgodigdo". Dokumen ini merupakan kumpulan catatan dua bersaudara anggota Badan Penyelidik: Abdoel Karim Pringgodigdo dan Abdoel Gafar Pringgodigdo. Berkat dua naskah tambahan itulah sejumlah koreksi atas naskah Yamin bisa dilakukan. "Bisa dibilang bagian perdebatan sudah lengkap," kata Taufik, yang mendapat tugas membuat kata pengantar. Perdebatan para pendiri negara adalah salah satu bagian rapat Badan Penyelidik.
 
Koleksi Abdoel Karim Pringgodigdo semula berada di Yogyakarta. Naskah itu dirampas saat tentara Belanda menduduki Kota Gudeg tersebut pada 19 Desember 1948. Naskah ini kemudian "terbang" ke Belanda dan disimpan oleh Algemeene Secretarie Nederlandsch Indie pada Algemeene Rijksarchief di Den Haag. Pada awal 1994, satu salinan bundel naskah tersebut diberikan kepada pemerintah Indonesia dan disimpan di Arsip Nasional. Keberadaan naskah tersebut diketahui berkat informasi sejarawan Belanda, Dr R.J. Drooglever.
 
Adapun risalah Abdoel Gafar (disebut juga sebagai "Koleksi Yamin") ditemukan petugas Arsip Nasional di perpustakaan Rekso Pustoko milik Puri Mangkunegaran, Solo. Risalah tersebut berada di keraton karena dibawa Retno Satuti, janda Rahadian Yamin, putra tunggal Mohammad Yamin, yang menjadi menantu Mangkoenagoro VIII. Bundel tersebut secara tak sengaja ditemukan seorang petugas Arsip Nasional pada 1989 saat diminta menata buku-buku dan arsip keraton. Jumlah dokumen risalah itu cukup banyak. Jika dijajarkan, kabarnya, panjangnya mencapai 11 meter.
 
Banyak memang muncul pertanyaan, bagaimana bisa risalah A.G. Pringgodigdo "jatuh" ke tangan Yamin. Dosen dan peneliti sejarah Universitas Indonesia, A.B. Kusuma, menduga risalah itu sengaja "disimpan" oleh Yamin. Semula, kata Kusuma, Pringgodigdo meminjamkan risalah itu kepada Profesor Dr A. Toynbee, ahli sejarah asal Inggris, yang ingin menyusun buku sejarah kemerdekaan Indonesia.
 
Setelah selesai, Toynbee bermaksud mengembalikannya ke Indonesia. Kebetulan waktu itu Yamin berkunjung ke London. Toynbee pun menitipkan notula tersebut. "Yamin tak pernah mengembalikan kepada Pringgodigdo. Ia memakainya sebagai bahan naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945," kata pria 73 tahun ini.
 
Isi kedua risalah tersebut secara keseluruhan hampir sama, yakni catatan rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada 11 Juli 1945. Khusus dalam risalah Abdoel Karim, ada catatan lengkap nama-nama anggota Badan Penyelidik yang berpidato serta lamanya pidato mereka pada 29-31 Mei 1945, yang selama ini dianggap misterius.
***
 
USAHA merekam "atmosfer" rapat para pendiri negara sepanjang 40 hari di masa-masa awal pendirian negara jelas bukan perkara gampang. Dokumen menyangkut peran masing-masing tokoh sukar dikumpulkan.
 
Titik penting pembentukan negara Indonesia terjadi saat Jepang pada 29 April 1945 membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan. Lembaga yang saat itu biasa disebut "Badan Penyelidik" ini terdiri atas 62 anggota inti tokoh kalangan Indonesia plus 8 orang Jepang sebagai anggota istimewa. Badan ini diketuai Dr Radjiman Wedyodiningrat, dengan wakil ketua Ichibangase Yosio dan Panji Soeroso. Di luar anggota Badan Penyelidik, ada Badan Tata Usaha yang beranggotakan 60 orang. Badan ini dipimpin oleh R.P. Soeroso dengan wakilnya, Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda (Jepang).
 
Badan Penyelidik mulai bersidang pada 29 Mei 1945 di gedung Cuo Sangi-in atau Dewan Pertimbangan Pusat di Jalan Pejambon, Jakarta. Sidang itu dibagi dua termin. Sidang pertama berlangsung lima hari, pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Yang dibahas dalam sesi tersebut adalah dasar negara, sebuah sesi penting karena di situlah kala itu dibahas "Pancasila", yang belakangan hari penuh kontroversi. Rapat ini diikuti semua anggota Badan Penyelidik.
 
Sidang kedua berlangsung pada 10-17 Juli 1945, membahas bentuk dan wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan undang-undang dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, pendidikan dan pengajaran. Pada termin ini, anggota Badan Penyelidik dipilah-pilah menjadi Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan ketua Soekarno, Panitia Pembelaan Tanah Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Mohammad Hatta.
 
Di antara dua sidang resmi itu, berlangsung pula sidang tak resmi yang dihadiri 38 orang. Sidang yang dipimpin Bung Karno ini membahas rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dibahas pada sidang resmi kedua 10-17 Juli 1945. Setelah Badan Penyelidik merampungkan tugasnya, pada 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Panitia baru bersidang pada 18-22 Agustus 1945 atau sehari setelah proklamasi, yang antara lain berhasil memilih Presiden dan Wakil Presiden Pertama RI serta mengesahkan UUD 1945.
 
Adapun buku Yamin berisi kumpulan salinan stenografi dua kali sidang Badan Penyelidik plus laporan sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Junbi Iinkai pada 18-19 Agustus 1945 tersebut. Di luar hal itu, ada juga terlampir dokumen sekitar rencana pelaksanaan demokrasi terpimpin dan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada 1959.
***
Seri buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Yamin ini sejak diterbitkan telah menyulut sejumlah kontroversi. Kritik keras atas buku tersebut, terutama jilid I, datang dari Mohammad Hatta. Mantan anggota Badan Penyelidik dan wakil presiden pertama itu menyebut Yamin licik. "Karena pidato Hatta di depan sidang Badan Penyelidik tidak dimuat oleh Yamin," kata Taufik Abdullah. Menurut sejarawan ini, naskah pidato Hatta pun sampai sekarang tidak ditemukan.
 
Selain itu, kata Taufik, Yamin mengesankan dirinya, dalam bukunya tersebut, sebagai penyusun tunggal UUD 1945. Hatta menganggap Yamin dengan sengaja mengaburkan fakta sejarah karena memoles notula rapat Badan Penyelidik dan hanya mencuplik bagian-bagian yang menonjolkan posisinya. "Buku Yamin harus kita baca secara kritis," ujar Sri Soemantri, pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran. Apalagi, kata Sri, karya Yamin selama bertahun-tahun tidak memiliki pembanding.
 
Sejarah memang rawan dimanipulasi. Ini juga pernah terjadi pada awal 1981, ketika sejarawan Nugroho Notosusanto meluncurkan bukunya, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Dalam buku setebal 68 halaman yang diterbitkan Balai Pustaka tersebut, Nugroho menyatakan Pancasila dirumuskan bersama antara Bung Karno, Mohammad Yamin, dan Soepomo. Menurut mantan Rektor Universitas Indonesia tersebut, 1 Juni hanyalah hari lahir Pancasila versi Bung Karno.
 
"Penemuan" Nugroho ini mendapat kecaman hebat. Sejarawan Abdulrachman Surjomihardjo saat itu menyatakan kesimpulan Nugroho itu cuma pamflet politik. Ini terkait dengan posisi Nugroho yang kerap melakukan pembenaran atas setiap kejadian sejarah yang melibatkan Soeharto. Sumber Nugroho dalam melakukan penelitian itu adalah buku Yamin.
 
Menggagas banyak mitos tentang Indonesia, ia pencinta Republik yang keras kepala. Bung Hatta menuding ia licik. Sederet kontroversi serta tuduhan menyelimuti Muhammad Yamin: menyembunyikan naskah otentik perumusan dasar negara, mengaku berpidato dan menyerahkan rancangan hukum dasar yang mirip UUD 1945, juga menciptakan figur Gajah Mada tanpa mengindahkan verifikasi arkeologis.<ref>Seri Buku [[Tempo]] : Bapak Bangsa Muhammad Yamin.</ref>
 
Sebenarnya sudah banyak ahli sastra Jawa yang tahu, bahwa nama Majapahit, bukan berasal dari kata buah maja yang rasanya pahit. Sebab rujukannya hanya kitab Kidung Panji Wijayakrama, dan bukan Negarakertagama, atau Pararaton. Nama resmi kerajaan ini juga bukan Majapahit, melainkan Wilwatika (Wiladatika). Wajah Gajahmada pun juga kontroversial. Prof. Muhammad Yamin, SH (1903 – 1962), Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia (30 Juli 1953–12 Agustus 1955), mengklaim bahwa pecahan "celengan" (tabungan) dari gerabah dengan wajah mirip dirinya, sebagai "Wajah Gajahmada". Padahal tidak ada bukti pendukungnya, dan celengan dengan wajah seperti itu sangat banyak ditemukan di Trowulan. Karena yang mengklaim seorang menteri, maka sampai sekarang para ahli sejarah juga sulit untuk meluruskannya.<ref>{{cite web|url=https://www.facebook.com/media/set/?set=a.210713748954738.65084.119320814760699 |title=Kontroversi Muhammad Yamin dan Gajah Mada. |accessdate=7 Juli 2015.}}</ref>
 
Tentang penentuan siapa perumusan pertama pancasila mungkin dengan mudah memancing perdebatan. Diantara oknum-oknum yang terus menggugat berpendapat bahwa penggali pancasila adalah Muhammad Yamin karena tiga hari sebelum pidato Bung Karno 1 juni 1945, Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945 telah menyampaikan suatu pidato yang memuat kelima sila tersebut. Ada juga yang mengatakan bahwa yang lahir pada 1 Juni 1945 adalah nama pancasila karena kelima sila itu telah ada sejak zaman nenek moyang, sehingga tidak mungkin lagi mengetahui hari lahirnya. Disamping itu ada juga yang mengatakan bahwa Prof. Soepomo dan Muhammad Yamin juga penggali dari Pancasila, kecuali bila ada oknum yang ingin menggelapkan pidato kedua anggota badan penyelidik tersebut. Selain itu banyak juga yang merasa heran kenapa pancasila begitu menarrik diperdebatkan oleh para ahli. Sehingga beberapa ahli menyimpulkan bahwa pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 merupakan pidato penutup dari rangkumansari-sari pidato yang diucapkan beberapa orang sebelumnya, atau suatu pidato kompilasi dari tiga hari sidang sebelumnya.<ref>{{cite web |url=http://mozaiklala.blogspot.com/2014/05/perumusan-pancasila-dan-kontroversi.html|title=Perumusan Pancasila dan Kontroversi disekitarnya.|accessdate=7 Juli 2015.}}</ref>
 
Muhamad Yamin yang pada 1950-an ketika menjadi Menteri P.P. dan K. mengganti istilah Kepulauan Sunda Kecil menjadi Kepulauan Nusa Tenggara. Sebab, istilah Kepulauan Sunda Kecil diganti dengan Kepulauan Nusa Tenggara, maka istilah Kepulauan Sunda Besar juga tidak lagi digunakan dalam ilmu bumi dan perpetaan nasional Indonesia – meskipun dalam perpetaan Internasional istilah Greater Sunda Islands dan Lesser Sunda Islands masih tetap digunakan.<ref>[http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/2922/3683 Jan B. Ave; 'Indonesia', 'Insulinde' and 'Nusantara': Dotting the I's and crossing the T p. 14]</ref><ref>{{cite web|url=http://www.sundamedia.com/2015/07/badak-sunda-dan-harimau-sunda.html | title=Badak Sunda dan Harimau Sunda. |publisher=Karya tulis [[Ajip Rosidi]]: Penulis, budayawan. [[Pikiran Rakyat]], 21 Agustus 2010.|accessdate=Juli 7, 2015}}</ref>
 
Di ranah politik Yamin tak hanya berpindah-pindah partai. Ia juga sigap melompat keluar dari jalur nonkooperatif ketika sejumlah tokoh pergerakan sealiran ditangkap Belanda. Dia salah satu pelaku kudeta pertama dalam sejarah Indonesia merdeka pada 3 Juli 1946. Sejarah memang memiliki kegilaannya sendiri. Yang terpenting dipelajari dari Yamin barangkali bahwa revolusi Indonesia harus dipandang secara lebih rileks. Tak perlu ada glorifikasi karena mozaik itu disusun oleh manusia biasa. Muhammad Yamin salah satunya.
 
== Keluarga ==