Filsafat Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 53:
Sejak pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menerapkan ‘Politik Hati Nurani’ (''Politik Etis'') di awal tahun 1900-an, lembaga-lembaga pendidikan bergaya Belanda menjamur dimana-mana dan terbuka untuk anak-anak pribumi dari kelas-kelas feudal, yang hendak bekerja di lembaga-lembaga kolonial. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda itu mengajarkan [[Filsafat Barat]] sebagai mata-pelajarannya. Misalnya, [[Filsafat Pencerahan]]—filsafat yang diajarkan secara amat terlambat di Indonesia, setelah 5 abad kemunculannya di Eropa (Larope 1986:236-238). Banyak alumni sekolah tersebut yang melanjutkan studi mereka di universitas-universitas Eropa. Mereka lantas muncul sebagai kelompok elit baru di Indonesia yang merupakan generasi pertama ''intelligentsia'' bergaya Eropa, yang kelak menganut [[Filsafat Barat]] untuk menggantikan filsafat etnik mereka yang asli.
 
Filsafat Barat mengilhami banyak lembaga sosio-politis Indonesia modern. Pemerintahan [[republik]] Indonesia, [[konstitusi]]nya serta distribusi kekuasaan (''distribution of power''), [[partai politik]] dan perencanaan ekonomi nasional jangka-panjang, semuanya dilakukan atas model Barat. Bahkan [[ideologi]]nya ``Pancasila’’ (tidakYang sepertitelah yang disombongkandiciptakan oleh [[Soekarno]] atau yang kemudian dimapankan oleh [[Soeharto]]), terinspirasi dari ideal-ideal Barat tentang [[humanisme]], [[demokrasi-sosial]], dan [[sosialisme nasional]] Nazi Jerman, seperti yang nampak dalam pidato-pidato anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 (Risalah Sidang 1995:10-79). Fakta ini menggiring pada kesimpulan, bahwa ‘Indonesia Modern’ dibangun di atas cetak-biru Barat.
 
Sangat menarik untuk diamati, bahwa meskipun elit itu menganut Filsafat Barat sepenuh hati, mereka masih merasa perlu mengadaptasikan filsafat itu kepada kegunaan dan situasi Indonesia yang kontemporer dan kongkrit. Misalnya, Soekarno, yang mengadaptasi [[demokrasi]] Barat dengan situasi rakyat Indonesia yang masih berjiwa feudalistik, sehingga ia menciptakan apa yang kemudian disebut ''Demokrasi Terpimpin'' (Soekarno 1963:376). [[D.N. Aidit]] dan [[Tan Malaka]] mengadaptasikan [[Marxisme-Leninisme]] dengan situasi Indonesia (Aidit 1964:i-iv; Tan Malaka 2000:45-56) dan [[Sutan Syahrir]] yang mengadaptasikan [[Demokrasi-Sosial]] dengan konteks Indonesia (Rae 1993:46).