Hukuman mati: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rt sukowi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
JThorneBOT (bicara | kontrib)
clean up, removed: {{Link FA|de}}
Baris 29:
== Kontroversi ==
[[File:Beccaria - Dei delitti e delle pene - 6043967 A.jpg|thumb|[[Cesare Beccaria]], ''Dei delitti e delle pene'']]
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan [[PBB]] pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
 
Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
 
Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.
 
Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Baris 48:
== Vonis Mati di Indonesia ==
{{utama|Hukuman mati di Indonesia}}
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem [[KUHP]] peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama [[Orde Baru]] korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
 
Walaupun amandemen kedua konstitusi [[UUD '45]], '''pasal 28I ayat 1''', menyebutkan: "'''Hak untuk hidup''', hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
 
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
 
Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
 
Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati. <ref>{{en}}[http://www.worldcoalition.org/modules/smartsection/item.php?itemid=325&sel_lang=english Indonesian activists face upward death penalty trend]</ref>
 
== Daftar eksekusi di Indonesia ==
Baris 62:
Di Indonesia, sejumlah perundangan menetapkan adanya hukuman mati pada para pelaku kasus pidana. Beberapa vonis mati pernah dijatuhkan hakim antara lain: -->
 
Sepanjang [[2008]], terdapat 8 hukuman mati yang dijalankan <ref>[http://www.bbc.co.uk/indonesian/forum/story/2008/07/080719_execution.shtml Hukuman mati di Indonesia]</ref>, mereka yang dihukum adalah dua warga Nigeria penyelundup narkoba, dukun [[Ahmad Saroji]] yang membunuh 42 orang di [[Sumatera Utara]], [[Tubagus Yusuf Mulyana]] dukun pengganda uang yang membunuh delapan orang di [[Banten]], serta [[Sumiarsih dan Sugeng]] yang terlibat pembunuhan satu keluarga di Surabaya.
 
Eksekusi yang paling terkenal pada tahun 2008 dan mendapat perhatian luas dari publik adalah eksekusi [[Imam Samudra]] dan [[Ali Ghufron]], terpidana [[Bom Bali 2002]].
Baris 244:
|<1979 ||? ||? ||?
|}<!--
* '''Kolonel Laut (S) M. Irfan Djumroni'''. Dia divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III-Surabaya pada 2 Februari 2006. Dia dipecat dari kesatuan TNI-AL karena membunuh isterinya Ny Eka Suhartini dan Ahmad Taufik SH, hakim pada Pengadilan Agama Sidoarjo, pada 21 September 2005 bersamaan sidang putusan gono gini perceraiannya di Pengadilan Agama Sidoarjo.
 
Dia dinilai melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 351 KUHP tentang pembunuhan, dan melanggar UU Nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilihan senjata tanpa izin.
* [[Kasus Tibo|Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu]]. Dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru.
 
Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22 September 2006 di Palu. -->
Baris 554:
== Referensi ==
{{Reflist}}
{{kematian-stub}}
 
[[Kategori:Metode eksekusi]]
 
 
{{Link FA|de}}
{{kematian-stub}}