Ignas Kleden: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Mario P. Manalu (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi 'Ignas Kleden (lahir di Larantuka 19 Mei 1948) adalah seorang sosiolog, kritikus sastra dan budayawan Indonesia yang terkemuka. Ia juga dikenal sebagai ketua Komunitas ...'
Tag: tanpa kategori [ * ]
 
Mario Manalu (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
Ignas Kleden (lahir di Larantuka 19 Mei 1948) adalah seorang sosiolog, kritikus sastra dan budayawan Indonesia yang terkemuka. Ia juga dikenal sebagai ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KDI)<ref>"Making Democracy Work" dalam http://www.wmd.org/assemblies/sixth-assembly/workshops/making-democracy-work/informal-education-home-grown-democracy</ref>. Ignas adalah salah satu dari sedikit contoh cendikiawan Indonesia yang produktif menyumbangkan pemikirannya melalui berbagai media dengan tetap menjaga wibawa dan displin akademik. Makalah-makalah yang dia susun mencerminkan alur pikiran yang logis dengan metode ilimiah yang ketat. Essay-essaynya di berbagai media massa menggambarkan kedalaman pemahaman, keluasan wawasan dan minatnya<ref>https://jehovahsabaoth.wordpress.com/bahasa-indonesia/ignas-kleden/</ref>.
Kiprah Intelektual
Ignas adalah salah satu dari sedikit contoh cendikiawan Indonesia yang produktif menyumbangkan pemikirannya melalui berbagai media dengan tetap menjaga wibawa dan displin akademik. Makalah-makalah yang dia susun mencerminkan alur pikiran yang logis dengan metode ilimiah yang ketat. Essay-essaynya di berbagai media massa menggambarkan kedalaman pemahaman, keluasan wawasan dan minatnya.
Ignas sempat bersekolah di sekolah calon pastor (Seminari) berkat lulus dengan predikat terbaik disekolah dasar. Namun setelah beberapa tahun di Seminari Ignas memutuskan keluar dan dengan modal bahasa Latin yang dia kuasai, ia bertekad mengembangkan gagasan keilmuan dengan menulis. Ketika masih di tinggal Flores, ia sudah sering berhubungan dengan majalah Basis di Yogya, Budaya Jaya di Jakarta, dan menulis artikel semipolitik untuk majalah TEMPO. Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores<ref>http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/ignas.html</ref>.
 
Ketika masih di tinggal Flores, ia sudah sering berhubungan dengan majalah Basis di Yogya, Budaya Jaya di Jakarta, dan menulis artikel semipolitik untuk majalah TEMPO. Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.
Setelah hijrah ke Ibu Kota, tahun 1974, Ia makin aktif menulis baik di majalah maupun jurnal, dan menjadi kolumnis tetap TEMPO. Sampat bekerja sebagai editor pada yayasan Obor Jakarta (1976-1977), Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta (1977-1978), dan Society For Political and Economic Studies, Jakarta.
Ignas mengenyam pendidikan tinggi di Jerman. Gelar sarjana muda ia dapatkan di sana. Gelar master of art bidang filsafat diperoleh dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen. Untuk S3-nya ia mengambil sosiologi dari Universitas Bielefeld.
Pada 2000, ia turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur. Penguasaan beberapa bahasa asing, latar pendidikan teologis, filsafat dan sosiologi banyak membantu peningkatan karirnya. Tahun 2003 bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono, memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie 2003. Ia dinilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam lewat essai dan kritik kebudayaannya<ref>http://imagejakarta.blog.co.uk/2007/08/14/achmad_bakrie_award_2007_tak_terkait_lum~2806191/</ref>.
 
Kehidupan Pribadi
Pada 2000, ia turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur. Penguasaan beberapa bahasa asing, latar pendidikan teologis, filsafat dan sosiologi banyak membantu peningkatan karirnya.
 
Tahun 2003 bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono, memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie 2003. Ia dinilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam lewat essai dan kritik kebudayaannya.
 
Ignas menikah dengan sesama peneliti, Ninuk Probonegoro, di Leiden, Belanda, 1980, sewaktu Ninuk sekolah di sana. Setahun kemudian, pasangan ni dikaruniai seorang anak. “Proses kelahiran anak menyertakan eksistensialisme. Ternyata, anak melahirkan bapaknya dan anak juga melahirkan ibunya. Lelaki tanpa anak tidak akan menjadi bapak dan perempuan tanpa anak tidak akan menjadi ibu,” ujar Ignas.