Pemerintahan Darurat Republik Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k penggantian teks otomatis dengan menggunakan mesin AutoWikiBrowser, replaced: beliau → dia
Baris 1:
[[Berkas:Bidar_alamBidar alam.jpg|right|thumb|225px|Rumah ketua PDRI Sjafroedin Prawiranegara di Bidar Alam yang dipergunakan juga untuk kantor pemerintahan]]
{{Sejarah Indonesia}}
'''Pemerintahan Darurat Republik Indonesia''' '''(PDRI)''' adalah penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia periode [[22 Desember]] [[1948]] - [[13 Juli]] [[1949]], dipimpin oleh [[Syafruddin Prawiranegara]] yang disebut juga dengan [[Kabinet Darurat]].<ref>[http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/3799-presiden-pemerintah-darurat-republik-indonesia ''Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia''] Tokohindonesia.com. Diakses 8 September 2013.</ref> Sesaat sebelum pemimpin Indonesia saat itu, [[Sukarno]] dan [[Hatta]] ditangkap Belanda pada tanggal [[19 Desember]] [[1948]], mereka sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara.<ref>[http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=54&id=88&option=com_content&task=view ''Menyelamatkan NKRI: Berkaca pada Peran Syafroeddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir''] Website Resmi Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 9 Februari 2007. Diakses 8 September 2013.</ref>
 
== Sejarah ==
Tidak lama setelah ibukota RI di [[Yogyakarta]] dikuasai [[Belanda]] dalam [[Agresi Militer Belanda II]], mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti [[Soekarno]], [[Hatta]] dan [[Syahrir]] sudah menyerah dan ditahan.
 
Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibukota [[Yogyakarta]] dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, [[Syafruddin Prawiranegara|Mr. Syafruddin Prawiranegara]] bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. [[Teuku Mohammad Hasan]], Gubernur [[Sumatera]]/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan [[Bukittinggi]] menuju [[Halaban]], daerah perkebunan teh, 15 Km di selatan kota [[Payakumbuh]].
Baris 17:
 
Keesokan harinya, [[23 Desember]] 1948, Sjafruddin berpidato:
:"''... Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya, dan kejamnya.''
 
:''Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan [[Presiden]], [[Wakil Presiden]], [[Perdana Menteri]], dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam [[Perang Dunia II]], ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.''
 
:''Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti.''
 
:''Kepada seluruh [[Angkatan Perang Negara RI]] kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh.''"
 
Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.
 
Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri, Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkannya bahwa rombongan mereka kerap tidur di hutan belukar, di pinggir [[Batanghari|sungai Batanghari]], dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai ''Pemerintah Dalam Rimba Indonesia''.
 
Sjafruddin membalas,
Baris 33:
 
== Konsolidasi ==
Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa.
 
Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada [[31 Maret]] [[1949]] Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut:
Baris 84:
Sesungguhnya, sebelum Soekarno dan Hatta menyerah, mereka sempat mengetik dua buah kawat. Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Kedua, jika ikhtiar Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. [[A.A.Maramis]] untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di [[New Delhi]], [[India]]. Tetapi Sjafruddin sendiri tidak pernah menerima kawat itu. Berbulan-bulan kemudian barulah ia mengetahui tentang adanya mandat tersebut.
 
Menjelang pertengahan [[1949]], posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan.
 
Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan [[Perjanjian Roem-Royen]]. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran untuk mendukung dilaksanakannya perjanjian Roem-Royen.
Baris 91:
Setelah [[Perjanjian Roem-Royen]], M. Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.
 
Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada [[13 Juli]] 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.
 
Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliaudia itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.
 
Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal [[14 Juli]], Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan [[KNIP]] baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal [[25 Juli]] [[1949]].