Bahasa Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Relly Komaruzaman (bicara | kontrib)
k ←Suntingan Kaskusforsup (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Relly Komaruzaman
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 18:
|iso1=id|iso2=ind|iso3=ind}}
 
'''Bahasa Indonesia''' adalah [[bahasa Melayu]] yang dijadikan sebagai [[bahasa]] [[bahasaBahasa resmi|resmi]] [[Republik Indonesia]]<ref>Pasal 36 [[Undang-UndangBalai Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Pustaka|Undang-Undang Dasar RI 1945]]</ref> dan [[Daftar bahasa di Indonesia|bahasa persatuan]] [[orangOrang Indonesia|bangsa Indonesia]].<ref>Butir ketiga [[Siti Nurbaya|Sumpah Pemuda]], 28 Oktober 1928</ref> Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]], tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya [[UUD 1945|konstitusi]]. Di [[Timor Leste]], bahasa Indonesia berstatus sebagai [[bahasa kerja]].
 
Dari sudut pandang [[linguistik]], bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak [[ragamRagam bahasa|ragam]] [[bahasa Melayu]].<ref>Kridalaksana H. 1991. Pendekatan tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Dalam Kridalaksana H. (penyunting). ''[[Salah Asuhan|Masa Lampau bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai.'']] Penerbit Kanisius, Yogyakarta.</ref> Dasar yang dipakai adalah [[bahasa Melayu Riau]] (wilayah [[Kepulauan Riau]] sekarang)<ref>Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I 1939 di [[Jahja Datoek Kajo|Solo]]: "jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe' akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat diseloeroeh Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia", dikutip di Pendahuluan [[Volksraad|KBBI]] cetakan ketiga.</ref>
<nowiki> </nowiki>dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat
penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial
dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa
Indonesia" diawali sejak dicanangkannya [[Sumpah Pemuda]], 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.<ref>Asmadi T.D. [http://lpds.or.id/jurnalistik_education.php?module=detailbahasa&id=20[Muhammad Yamin|Arti Tanggal 2 Mei bagi Bahasa Indonesia]]. Laman Lembaga Pers Dr. Sutomo. Edisi 08 Februari 2010. diakses 5 Maret 2010.</ref> Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun [[Semenanjung Malaya]].
<nowiki> </nowiki>Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang
terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun
penyerapan dari [[bahasa daerah]] dan [[bahasa asing]].
 
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah [[bahasa ibu]] bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari [[Daftar bahasa di Indonesia|748 bahasa yang ada di Indonesia]] sebagai [[bahasa ibu]].<ref>[http://www.bahasakita.com/news/depdiknas-terbitkan-peta-bahasa/[Pujangga Baru|Depdiknas Terbitkan Peta Bahasa]] Blog BahasaKita 4 Maret 2009, mirror dari berita AntaraOnline edisi 22 Oktober 2008.</ref>
<nowiki> </nowiki>Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari
(kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau
bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas
<nowiki> </nowiki>di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak,
surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,<ref>[http:/[Sutan Takdir Alisyahbana|<nowiki/www.ohio.edu/LINGUISTICS/indonesian/index.html>]][[Kongres ''Bahasa Indonesia|Why Indonesian is important to learn'']]. Situs web pengajaran bahasa Indonesia di Universitas Negeri Ohio.]</ref> sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
 
[[Fonologi]] dan [[tata bahasa]] Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.<ref>Farber, Barry. J. ''[[Solo|How to learn any language quickly, enjoyably and on your own'']]. Citadel Press. 1991. </ref> Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.<ref> Eliot, J., Bickersteth, J. ''[[Undang-Undang Dasar 1945|Sumatra Handbook'']]. Footprint. 2000.</ref>
<!-- Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari [[bahasa Melayu]] yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh [[Ki Hajar Dewantara]] dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, ''"jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia"''. atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, ''"...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar Bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia"''.<ref>[http://books.google.com.my/books?id=HcwtAAAAMAAJ&q=Ki+Hajar+Dewantara++%22jang+dinamakan+%22&dq=Ki+Hajar+Dewantara++%22jang+dinamakan+%22&pgis=1 Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia By Harimurti Kridalaksana]</ref> --><!--
 
Baris 34 ⟶ 46:
=== Masa lalu sebagai bahasa Melayu ===
 
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa [[Austronesia]] dari cabang [[bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi]], yang digunakan sebagai ''[[lingua franca]]'' di [[Nusantara]] kemungkinan sejak abad-abad awal [[kalenderKalender Masehi|penanggalan modern]].
 
Aksara pertama dalam
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan [[Sriwijaya]] yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
<nowiki> </nowiki>bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera,
mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di
Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan [[Sriwijaya]]
<nowiki> </nowiki>yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi
wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang
bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang
digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari
bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
 
Istilah Melayu atau
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada
abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi
secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut
yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam
perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang
<nowiki> </nowiki>lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup
negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga
Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
 
Ibukota Kerajaan
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan
masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat
pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat
Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan
<nowiki> </nowiki>salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga
ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak
dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
 
Bahasa Melayu kuno
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu
Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka
dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
 
Dalam
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung
Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan
Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu
bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang
akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah
bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang
berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
 
Kesultanan Malaka
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora
sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri
<nowiki> </nowiki>diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu
<nowiki> </nowiki>ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku
Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera
misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang
semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
 
Penduduk asli
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah
nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah
Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah
Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
 
Secara sudut
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek
moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun
Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan
Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang
sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu
sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius
(Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari
<nowiki> </nowiki>beberapa unsur etnis.
 
M. Muhar Omtatok,
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut:
"Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi
seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak
Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan
lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas
keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
 
[[Kerajaan Sriwijaya]] dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai [[bahasa Melayu Kuna]]) sebagai bahasa kenegaraan. Lima [[prasasti]]
<nowiki> </nowiki>kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu
<nowiki> </nowiki>menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari [[bahasa Sanskerta]], suatu [[Rumpun bahasa Indo-Eropa|bahasa Indo-Eropa]]
<nowiki> </nowiki>dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup
luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di [[Pulau Jawa]]<ref>Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat [[ejaan Republik|Bogor]] ([[Medan|Prasasti Bogor]]) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di [[Soeharto|Pulau Jawa]]</ref> dan [[Pulau Luzon]].<ref>[[Brunei Darussalam|Keping Tembaga Laguna]] (900 M) yang ditemukan di dekat [[Malaysia|Manila]], [[Singapura|Pulau Luzon]], berbahasa Melayu Kuna, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.</ref> Kata-kata seperti ''samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin'', dan ''kaca'' masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
 
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (''classical Malay'' atau ''medieval Malay''). Bentuk ini dipakai oleh [[Kesultanan Melaka]], yang perkembangannya kelak disebut sebagai ''[[bahasa Melayu Tinggi]]''. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar [[Sumatera]], [[Jawa]], dan [[Semenanjung Malaya]].{{fact}}<sup class="noprint Inline-Template"><span style="white-space: nowrap;" class="" title="Kalimat yang diikuti tag ini membutuhkan rujukan.">&#x5B;<i>[[Wikipedia:Kutip sumber tulisan|butuh rujukan]]</i>&#x5D;</span></sup> Laporan [[Portugal|Portugis]], misalnya oleh [[Tome Pires]], menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. [[Magellan]]
<nowiki> </nowiki>dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di
wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai
masuknya kata-kata pinjaman dari [[bahasa Arab]] dan [[bahasa Parsi]],
<nowiki> </nowiki>sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad
ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi,
selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk,
dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses
penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
 
Kedatangan
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris
meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa
<nowiki> </nowiki>Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan
Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja,
bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi
pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara
<nowiki> </nowiki>dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata
seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari
<nowiki> </nowiki>bahasa ini.
 
Bahasa yang
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa
<nowiki> </nowiki>Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah
penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk
biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti
pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
 
[[Jan Huyghen van Linschoten]] pada abad ke-17 dan [[Alfred Russel Wallace]] pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".<ref name="indodicindodic2">[http://www.indodic.com/Interlang.htm [Belanda|Best of The Best (Crème de la Crème)]]
<!-- Wallace menuliskan di buku tulisannya, ''[[Malay Archipelago]]'', bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda." --><!--
 
Di dalam buku ''[[Itinerario]]'' ("Perjalanan") karyanya, van Linschotten menuliskan bahwa "[[Malaka]] adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh." --> </ref>
Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal
Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan [[bahasa Portugis]], [[bahasa Tionghoa]], maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di [[Manado]], [[Kota Ambon|Ambon]], dan [[Kupang]]. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula [[bahasa Melayu Tionghoa]] di [[Batavia]]. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).<ref>Hal ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari etnis [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]].</ref> Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan ''[[bahasa Melayu Pasar]]'' oleh para peneliti bahasa.
dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai
pelabuhan Nusantara bercampur dengan [[bahasa Portugis]], [[bahasa Tionghoa]], maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di [[Manado]], [[Kota Ambon|Ambon]], dan [[Kupang]]. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula [[bahasa Melayu Tionghoa]] di [[Batavia]].
<nowiki> </nowiki>Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi
beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).<ref>Hal ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari etnis [[Jerman|Tionghoa]].</ref> Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan ''[[bahasa Melayu Pasar]]'' oleh para peneliti bahasa.
 
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 [[Raja Ali Haji]] dari istana [[Kesultanan Riau-Johor|Riau-Johor]] (pecahan Kesultanan Melaka) menulis [[kamus]] ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang ''full-fledged'',
<nowiki> </nowiki>sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena
memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
 
Hingga akhir abad
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai ''[[lingua franca]]'', tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu
<nowiki> </nowiki>yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial
dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya
tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai ''[[lingua franca]]'', tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
<!--
=== Melayu Kuno ===
Baris 97 ⟶ 203:
=== Bahasa Indonesia ===
 
Pemerintah [[kolonial]]
Pemerintah [[kolonial]] Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
<nowiki> </nowiki>Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk
membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan
bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan
diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi
bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan
didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat
pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan
mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
 
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai [[Hindia-Belanda]]) mengadopsi [[ejaan Van Ophuijsen]] dan pada tahun 1904 [[Persekutuan Tanah Melayu]] (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah [[Inggris]] mengadopsi [[ejaan Wilkinson]].<ref name="indodicindodic2" /> Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan [[Kitab Logat Melayu]] (dimulai tahun 1896) [[van Ophuijsen]], dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
 
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya ''Commissie voor de Volkslectuur'' ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi [[Balai Poestaka]]. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan [[D.A. Rinkes]], melancarkan program [[Taman Poestaka]] dengan membentuk [[perpustakaan]]
<nowiki> </nowiki>kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik
pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah
<nowiki> </nowiki>terbentuk sekitar 700 perpustakaan.<ref>[http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/11/25/1520409/Balai.Pustaka..Berbenah.Setelah.Satu.Abad [Australia|Balai Pustaka, Berbenah Setelah Satu Abad]]. Kompas daring, 25 November 2009.</ref>
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat [[Sumpah Pemuda]] tanggal [[28 Oktober]] [[1928]]. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan [[Muhammad Yamin]], seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
:"Jika
:"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."<ref>[http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/2008/10/27/LK/mbm.20081027.LK128564.id.html Majalah Tempo Interaktif]</ref>
<nowiki> </nowiki>mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi
bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu,
<nowiki> </nowiki>bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau
bahasa persatuan."<ref>[[Kamus Besar Bahasa Indonesia|Majalah Tempo Interaktif]]</ref>
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan [[Minangkabau]], seperti [[Marah Rusli]], [[Abdul Muis]], [[Nur Sutan Iskandar]], [[Sutan Takdir Alisyahbana]], [[Hamka]], [[Roestam Effendi]], [[Idrus]], dan [[Chairil Anwar]]. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, [[sintaksis]], maupun morfologi bahasa Indonesia.<ref>{{cite book |last=Teeuw|first=A|title=Modern Indonesian Literature I|publisher=Foris Publication|year=1986}}</ref><!-- Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari [[bahasa Melayu]] yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh [[Ki Hajar Dewantara]] dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, ''"jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia"''. atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, ''"...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar Bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia"''.<ref>[http://books.google.com.my/books?id=HcwtAAAAMAAJ&q=Ki+Hajar+Dewantara++%22jang+dinamakan+%22&dq=Ki+Hajar+Dewantara++%22jang+dinamakan+%22&pgis=1 Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia By Harimurti Kridalaksana]</ref> --><!--
 
Secara sejarah, Bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa Bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 Bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya. -->
== Peristiwa-peristiwa penting ==
{{tone}}