Bahasa Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan Kaskusforsup (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Relly Komaruzaman |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 18:
|iso1=id|iso2=ind|iso3=ind}}
'''Bahasa Indonesia''' adalah [[bahasa Melayu]] yang dijadikan sebagai [[bahasa]] [[
Dari sudut pandang [[linguistik]], bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak [[
<nowiki> </nowiki>dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya [[Sumpah Pemuda]], 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.<ref>Asmadi T.D. [ <nowiki> </nowiki>Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari [[bahasa daerah]] dan [[bahasa asing]]. Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah [[bahasa ibu]] bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari [[Daftar bahasa di Indonesia|748 bahasa yang ada di Indonesia]] sebagai [[bahasa ibu]].<ref>[
<nowiki> </nowiki>Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas <nowiki> </nowiki>di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,<ref>[ [[Fonologi]] dan [[tata bahasa]] Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.<ref>Farber, Barry. J.
<!-- Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari [[bahasa Melayu]] yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh [[Ki Hajar Dewantara]] dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, ''"jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia"''. atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, ''"...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar Bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia"''.<ref>[http://books.google.com.my/books?id=HcwtAAAAMAAJ&q=Ki+Hajar+Dewantara++%22jang+dinamakan+%22&dq=Ki+Hajar+Dewantara++%22jang+dinamakan+%22&pgis=1 Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia By Harimurti Kridalaksana]</ref> --><!--
Baris 34 ⟶ 46:
=== Masa lalu sebagai bahasa Melayu ===
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa [[Austronesia]] dari cabang [[bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi]], yang digunakan sebagai ''[[lingua franca]]'' di [[Nusantara]] kemungkinan sejak abad-abad awal [[
Aksara pertama dalam
<nowiki> </nowiki>bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera,
mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di
Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan [[Sriwijaya]]
<nowiki> </nowiki>yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi
wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang
bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang
digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari
bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau
Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada
abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi
secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut
yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam
perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang
<nowiki> </nowiki>lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup
negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga
Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan
Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan
masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat
pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat
Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan
<nowiki> </nowiki>salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga
ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak
dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno
yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu
Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka
dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam
perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung
Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan
Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu
bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang
akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah
bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang
berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka
dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora
sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri
<nowiki> </nowiki>diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu
<nowiki> </nowiki>ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku
Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera
misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang
semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli
Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah
nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah
Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah
Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut
pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek
moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun
Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan
Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang
sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu
sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius
(Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari
<nowiki> </nowiki>beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok,
seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut:
"Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi
seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak
Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan
lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas
keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
[[Kerajaan Sriwijaya]] dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai [[bahasa Melayu Kuna]]) sebagai bahasa kenegaraan. Lima [[prasasti]]
<nowiki> </nowiki>kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu <nowiki> </nowiki>menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari [[bahasa Sanskerta]], suatu [[Rumpun bahasa Indo-Eropa|bahasa Indo-Eropa]] <nowiki> </nowiki>dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di [[Pulau Jawa]]<ref>Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat [[ejaan Republik|Bogor]] ([[Medan|Prasasti Bogor]]) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di [[Soeharto|Pulau Jawa]]</ref> dan [[Pulau Luzon]].<ref>[[Brunei Darussalam|Keping Tembaga Laguna]] (900 M) yang ditemukan di dekat [[Malaysia|Manila]], [[Singapura|Pulau Luzon]], berbahasa Melayu Kuna, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.</ref> Kata-kata seperti ''samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin'', dan ''kaca'' masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi. Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (''classical Malay'' atau ''medieval Malay''). Bentuk ini dipakai oleh [[Kesultanan Melaka]], yang perkembangannya kelak disebut sebagai ''[[bahasa Melayu Tinggi]]''. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar [[Sumatera]], [[Jawa]], dan [[Semenanjung Malaya]].
<nowiki> </nowiki>dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari [[bahasa Arab]] dan [[bahasa Parsi]], <nowiki> </nowiki>sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang. Kedatangan
pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris
meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa
<nowiki> </nowiki>Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan
Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja,
bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi
pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara
<nowiki> </nowiki>dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata
seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari
<nowiki> </nowiki>bahasa ini.
Bahasa yang
dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa
<nowiki> </nowiki>Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah
penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk
biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti
pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
[[Jan Huyghen van Linschoten]] pada abad ke-17 dan [[Alfred Russel Wallace]] pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".<ref name="
<!-- Wallace menuliskan di buku tulisannya, ''[[Malay Archipelago]]'', bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda." --><!--
Di dalam buku ''[[Itinerario]]'' ("Perjalanan") karyanya, van Linschotten menuliskan bahwa "[[Malaka]] adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh." --> </ref>
Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal
dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai
pelabuhan Nusantara bercampur dengan [[bahasa Portugis]], [[bahasa Tionghoa]], maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di [[Manado]], [[Kota Ambon|Ambon]], dan [[Kupang]]. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula [[bahasa Melayu Tionghoa]] di [[Batavia]].
<nowiki> </nowiki>Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi
beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).<ref>Hal ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari etnis [[Jerman|Tionghoa]].</ref> Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan ''[[bahasa Melayu Pasar]]'' oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 [[Raja Ali Haji]] dari istana [[Kesultanan Riau-Johor|Riau-Johor]] (pecahan Kesultanan Melaka) menulis [[kamus]] ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang ''full-fledged'',
<nowiki> </nowiki>sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas. Hingga akhir abad
ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu
<nowiki> </nowiki>yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial
dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya
tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai ''[[lingua franca]]'', tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
<!--
=== Melayu Kuno ===
Baris 97 ⟶ 203:
=== Bahasa Indonesia ===
Pemerintah [[kolonial]]
<nowiki> </nowiki>Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk
membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan
bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan
diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi
bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan
didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat
pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan
mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai [[Hindia-Belanda]]) mengadopsi [[ejaan Van Ophuijsen]] dan pada tahun 1904 [[Persekutuan Tanah Melayu]] (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah [[Inggris]] mengadopsi [[ejaan Wilkinson]].<ref name="
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya ''Commissie voor de Volkslectuur'' ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi [[Balai Poestaka]]. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan [[D.A. Rinkes]], melancarkan program [[Taman Poestaka]] dengan membentuk [[perpustakaan]]
<nowiki> </nowiki>kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah <nowiki> </nowiki>terbentuk sekitar 700 perpustakaan.<ref>[ Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat [[Sumpah Pemuda]] tanggal [[28 Oktober]] [[1928]]. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan [[Muhammad Yamin]], seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
:"Jika
<nowiki> </nowiki>mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi
bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu,
<nowiki> </nowiki>bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau
bahasa persatuan."<ref>[[Kamus Besar Bahasa Indonesia|Majalah Tempo Interaktif]]</ref>
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan [[Minangkabau]], seperti [[Marah Rusli]], [[Abdul Muis]], [[Nur Sutan Iskandar]], [[Sutan Takdir Alisyahbana]], [[Hamka]], [[Roestam Effendi]], [[Idrus]], dan [[Chairil Anwar]]. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, [[sintaksis]], maupun morfologi bahasa Indonesia.<ref>{{cite book |last=Teeuw|first=A|title=Modern Indonesian Literature I|publisher=Foris Publication|year=1986}}</ref><!-- Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari [[bahasa Melayu]] yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh [[Ki Hajar Dewantara]] dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, ''"jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia"''. atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, ''"...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar Bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia"''.<ref>[http://books.google.com.my/books?id=HcwtAAAAMAAJ&q=Ki+Hajar+Dewantara++%22jang+dinamakan+%22&dq=Ki+Hajar+Dewantara++%22jang+dinamakan+%22&pgis=1 Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia By Harimurti Kridalaksana]</ref> --><!--
Secara sejarah, Bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa Bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 Bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya. -->
== Peristiwa-peristiwa penting ==
{{tone}}
|