Al-Munir (majalah): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 27:
Meskipun oplah ''Al-Munir'' tidak lebih dari 2.000 eksemplar, majalah ini beredar luas di sejumlah kawasan di Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa. Namun, di Minangkabau sendiri, keberadaan majalah ini menimbulkan rekasi pro dan kontra.
 
Setelah kehadiran ''Al-Munir'', segera muncul majalah-majalah dengan semangat yang sama di kawasan [[Minangkabau]], seperti ''Al-Akbar'' yang membawaberbasis suara golongandi [[Adabiyah School|Adabiyah]]. Jaringan [[Sumatera Thawalib]] di berbagai daerah memilikimenerbitkan majalah sendiriyang puladiedarkan terbatas, seperti ''Al-Bayan'' di [[Parabek]], ''Al-Basyir'' di [[Sungayang]], ''Al-Ittiqan'' di [[Maninjau]], dan ''Al-Imam'' di [[Padang Japang]].{{sfn|Junus|1980|pp=82}} Begitu pula kalangan ulama tradisonaliskonservatif, yang belakangan dikenal dengandijuluki Kaum Tua, menerbitkan majalah tandingan, seperti ''Suluh Malayu'' di bawah pimpinan Syekh Khatib Ali, dan ''Al-Mizan'' di bawah pimpinan Haji Abdul Majid dan Hasan Basri.{{sfn|Rusydi Hamka|1986|pp=72}}
 
Pada tahun 1916, Abdullah Ahmad bekerja sama dengan [[Sarekat Islam|Ketua Sarekat Islam]] [[Oemar Said Tjokroaminoto|Tjokroaminoto]] untuk mendirikan majalah ''Al-Islam'' di [[Surabaya]].{{sfn|Abuddin Nata|2005|pp=15}} Majalah ini menandai dimulainya penerimaan kaum Muslim Nusantara terhadap penggunaan huruf Latin, selain tetap menggunakan huruf Jawi.{{sfn|Laffan|2003|pp=178}}{{sfn|Yudi Latif|2005|pp=182}}