Saifuddin Zuhri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k clean up, replaced: beliau → ia using AWB
Baris 30:
'''Prof. K.H. Saifuddin Zuhri''' ({{lahirmati|kota kawedanan [[Sokaraja]], 9 kilometer dari [[Banyumas]]|1|10|1919||25|3|1986}}) adalah [[Menteri Agama Republik Indonesia]] pada [[Kabinet Kerja III]], [[Kabinet Kerja IV]], [[Kabinet Dwikora I]], [[Kabinet Dwikora II]], dan [[Kabinet Ampera I]].
 
[[Berkas:Saifuddin Saifuddin_ZuhriZuhri.jpg|thumb]]Pada usia 35 tahun K.H. Saifuddin Zuhri menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar [[Nahdlatul Ulama]] (PBNU) merangkap [[Pemimpin Redaksi]] [[Harian Duta Masyarakat]] dan anggota Parlemen Sementara. [[Presiden]] [[Soekarno]] mengangkatnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI pada usia 39 tahun, lalu mengangkatnya menjadi Menteri Agama ketika berusia 43 tahun.
 
Kisah pengangkatannya sebagai Menteri Agama, pada tanggal 17 Februari 1962, tepat pada hari Jum’at, ia diminta menghadap ke Istana Merdeka. Banyak teka-teki memenuhi benaknya ketika dia memenuhi panggilan Bung Karno. Apakah karena urusan DPR atau DPA? Apa urusan NU? Atau surat kabar Duta Masyarakat? Ternyata dalam pertemuan itu Bung Karno minta K.H. Saifuddin Zuhri agar menjadi Menteri Agama, menggantikan K.H. Wahib Wahab yang mengundurkan diri.
Baris 44:
Ayahnya bernama Haji Muhammad Zuhri dari keluarga petani yang taat beragama. Ibunya bernama Siti Saudatun, salah seorang cucu Kiai Asraruddin, seorang ulama yang berpengaruh dan memimpin sebuah pesantren kecil di daerahnya. Ketika tak dapat menghindari penunjukan Bupati (Regent) Banyumas untuk memangku jabatan penghulu, pengaruh Kiai Asraruddin bertambah besar. Jadilah ia seorang ulama, politisi, pejuang sekaligus seorang penghulu.
 
K.H. Saifuddin Zuhri dibesarkan dalam pendidikan pesantren di daerah kelahirannya, sebuah pesantren kecil yang tidak tenar namanya. Masa mudanya ditempuh dalam keprihatinan untuk mendidik diri sendiri. Ia memasuki pergerakan pemuda dalam tempaan zaman pergolakan bersenjata dan pergerakan politik. Pada usia 19 tahun ia dipilih menjadi pemimpin [[Gerakan Pemuda Ansor]] Nahdlatul Ulama Daerah Jawa Tengah Selatan, dan Konsul [[Nahdlatul 'Ulama]] Daerah Kedu merangkap Guru Madrasah. Berbarengan dengan itu ia aktif dalam dunia kewartawanan, menjadi koresponden kantor berita Antara (kini [[Lembaga Kantor Berita Nasional Antara]]) dan beberapa harian dan majalah.
 
== Perjuangan ==
Baris 50:
K.H. Saifuddin Zuhri diangkat sebagai Komandan Divisi Hizbullah Jawa Tengah dan Anggota Dewan Pertahanan Daerah [[Kedu]] ia memimpin laskar Hizbullah untuk bersama-sama pasukan TKR di bawah pimpinan Kol. [[Soedirman]], dan berbagai pasukan kelasykaran rakyat lainnya ikut pertempuran [[Ambarawa]] (yang terkenal dengan peristiwa [[Palagan Ambarawa]]) itu dan berhasil mengusir penjajah. Karena keterlibatan aktif, sungguh-sungguh, dan penuh kepahlawanan dari KH. Saifuddin Zuhri dalam Perang Ambarawa dan perang gerilya lainnya, maka Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menganugerahkan “Tanda Kehormatan [[Bintang Gerilya]]”, sesuai dengan SK Presiden Republik Indonesia No. 2/Btk/1965 tanggal 4 Januari 1965.
 
Selain dari Pemerintah Republik Indonesia, KH. Saifuddin Zuhri sering mendapatkan penghargaan berupa tanah dari masyarakat. Dalam surat hibah tanah itu ditulis ucapan terima kasih kepada Komandan Hizbullah KH. Saifuddin Zuhri karena telah membantu menyelamatkan keluarganya pada zaman revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, tanah itu tidak dijadikan sebagai tanah pribadi. KH. Saifuddin memberikan tanah itu kepada kiai lokal untuk dijadikan sebagai [[pesantren]] atau lembaga pendidikan Islam.
 
Kenapa KH. Saifuddin Zuhri meminta agar tanah yang diterima dari orang kaya yang pernah ditolongnya menjadi pesantren? Bagi beliau, pesantren merupakan lembaga di mana para pelajar dididik secara holistik, baik secara intelektual maupun secara mental. Lebih dari itu, pesantren merupakan basis dan pondasi untuk memupuk nasionalisme, terutama di kalangan umat Islam. Pesantren yang biasanya didatangi pelajar dari penjuru tanah air merupakan “kawah candradimuka” yang paling ampuh untuk mengenalkan persaudaraan antar sesama bangsa yang dalam tradisi Nahdlatul Ulama sering disebut dengan ukhuwah wathaniyah.
 
Kenapa KH. Saifuddin Zuhri meminta agar tanah yang diterima dari orang kaya yang pernah ditolongnya menjadi pesantren? Bagi beliauBaginya, pesantren merupakan lembaga di mana para pelajar dididik secara holistik, baik secara intelektual maupun secara mental. Lebih dari itu, pesantren merupakan basis dan pondasi untuk memupuk nasionalisme, terutama di kalangan umat Islam. Pesantren yang biasanya didatangi pelajar dari penjuru tanah air merupakan “kawah candradimuka” yang paling ampuh untuk mengenalkan persaudaraan antar sesama bangsa yang dalam tradisi Nahdlatul Ulama sering disebut dengan ukhuwah wathaniyah.
 
== Pendidikan ==
Baris 85 ⟶ 84:
 
== Akhir Hayat ==
[[Berkas:Saifuddin_zuhri2Saifuddin zuhri2.jpg|thumb]] K.H Saifuddin Zuhri termasuk tokoh penting dalam Jamiyah NU, baik ketika sebagai ormas pada masa perjuangan kemerdekaan, sebagai partai politik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun sewaktu bergabung bersama partai Islam lainnya dalam [[Partai Persatuan Pembangunan]] (PPP) pada masa [[Orde Baru]]. Bersama ormas Islam terbesar yang didirikan tahun 1926 itu, KH. Saifuddin Zuhri memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata dan perjuangan politik untuk mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Dalam pembangunan karakter bangsa, ia menyebarkan pandangan-pandangan Islam Ahlus-Sunnah wal Jama'ah yang identik dengan Islam Rahmatan lil 'Alamin, mengembangkan paham nasionalisme Islam Indonesia dalam kerangka mempertahankan NKRI dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
 
Riwayat hidup dan sejarah perjuangannya yang panjang dalam berbagai medan khidmah sebagai sebagai ulama-pejuang, politisi dan pejabat negara, disadari oleh KH Saifuddin Zuhri, terlalu sayang kalau sampai terlupakan dalam sejarah. Karena itu ia mengabadikannya dalam sebuah buku berjudul Berangkat dari Pesantren yang ia selesaikan penulisannya pada 10 September 1985, kurang lebih enam bulan sebelum wafatnya, 25 Februari 1986. Buku ini akan menjadi saksi sejarah yang berharga tentang makna perjuangan, pengabdian dan pengorbanan anak bangsa untuk lahirnya sebuah Negara yang merdeka, berdaulat, maju dan sejahtera. Buku yang terbit pada tahun 1987 yang ternyata menjadi karya terakhirnya itu, pada 3 Oktober 1989, mendapat penghargaan Buku Utama kategori Bacaan Dewasa bidang Humaniora dari [[Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI]].
 
 
== Bintang Jasa dan Kehormatan ==
Baris 119 ⟶ 117:
[[Kategori:Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[CategoryKategori:Tokoh dari Banyumas]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]