Orang Indo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
merapikan using AWB
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (- asal-usul + asal usul )
Baris 11:
|related=[[Bangsa Belanda|Belanda]]; suku-suku di Indonesia, terutama [[Maluku]], [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Sunda|Sunda]] dan [[Suku Minahasa|Minahasa]]; [[bangsa Jerman|Jerman]]
}}
'''Orang''' atau '''kaum Indo''' (singkatan dari nama dalam [[bahasa Belanda]], '''''Indo-Europeaan''''', "Eropa-Hindia"<ref>[http://nl.wikipedia.org/wiki/Indische_Nederlanders Lihat artikel di Wikipedia Bahasa Belanda]</ref>) adalah [[kelompok etnik]] [[Mestizo]] yang ada (atau pernah ada) di [[Hindia-Belanda]]/[[Indonesia]] dan sekarang menjadi kelompok etnik [[minoritas]] terbesar di [[Belanda]]. Kelompok etnis ini dicirikan dari kesamaan asal- usul [[ras manusia|rasial]], [[hukum|status legal]], dan [[kebudayaan|kultural]]. Kaum Indo merupakan keturunan campuran antara orang dari etnik tertentu di [[Eropa]] (terutama [[Belanda]], tetapi juga [[Jerman]], [[Belgia]], dan [[Prancis]]/[[Huguenot]]) dengan [[fenotipe]] Eropa dan orang dari etnik non-Eropa tertentu di [[Hindia-Belanda]]/[[Indonesia]]. Secara hukum, sebagian besar berstatus sebagai warga Eropa di [[Hindia-Belanda]] (''[[Europeanen]]''). Mereka menjunjung [[norma|nilai]]-nilai budaya Eropa (terutama Belanda) dengan banyak pengaruh lokal Indonesia pada derajat tertentu dalam kehidupannya sehari-hari. Meskipun demikian, ke dalam kelompok etnik ini dimasukkan pula orang Eropa yang datang dan menetap cukup lama di tanah Indonesia atau yang lahir di Indonesia, karena di antara kalangan kaum keturunan campuran sendiri terdapat rentang [[fenotipe]] yang luas, sehingga faktor penampilan tidak bisa dijadikan satu-satunya pembatas untuk kelompok etnik ini. Kelompok berdarah campuran adalah mereka yang biasa dikenal sebagai orang ''Indo'', ''Mesties'' ([[bahasa Belanda|Bld]].), atau ''[[Mestizo]]s'' ([[bahasa Portugis|Port]].), sedangkan mereka yang "berdarah murni" Eropa dikenal sebagai ''totok'' ([[bahasa Melayu|Mel]].), ''blijvers'' (Bld.), atau [[kreol]].
 
[[Perang Dunia Kedua]] dan sesudahnya menjadi titik awal [[diaspora]] bagi kaum Indo, sehingga saat ini keturunan mereka banyak dijumpai di Belanda, Indonesia, [[Amerika Serikat]] (AS), [[Australia]], [[Selandia Baru]], [[Kanada]], serta beberapa negara lain. Di Belanda, kaum Indo sekarang dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar (total sekitar 500.000 orang). Mereka dikenal dengan beberapa istilah, seperti '''Indisch Nederlander''' atau '''Indisch''' saja. Secara budaya mereka berhubungan dekat dengan kelompok [[etnik Maluku di Belanda]]. Di AS mereka dikenal sebagai '''Dutch Indonesian''' atau '''Indonesian Dutch''' dan kebanyakan bermukim di [[California]]. Di Indonesia sendiri jumlah mereka sedikit dan kebanyakan keturunannya terintegrasi/melebur dengan berbagai kelompok etnis lain walaupun kebiasaan berbahasa Belanda masih dijalankan di dalam keluarga.
 
Istilah "orang Indo" dalam penggunaan [[bahasa Indonesia]] masa kini mengalami pergeseran arti dan dipakai secara taksa (ambigu). Sebutan ini juga digunakan untuk menyebut semua orang Indonesia — sebagai kependekan dari "orang Indonesia" — sekaligus juga untuk menyebut peranakan campuran orang Indonesia dengan bangsa lain, tanpa melihat latar belakang asal- usul non-Indonesianya, yang tidak harus Eropa.
 
== Sejarah ==
Baris 69:
Kaum Eurasia (''Mesties'') mendominasi penampilan fisik kelompok etnik ini. Sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa sekitar 75% golongan Europeanen memiliki garis keturunan campuran. Sisanya adalah orang Eropa ''totok'' ("murni") serta orang kelompok etnik lain yang dianggap layak sebagai anggota golongan legal ini.<ref name="cbs"/> Kerumitan latar belakang rasial ini membentuk suatu rentang [[fenotipe]] (penampilan luar) yang luas, meskipun tidak semua anggota golongan orang Eropa mengidentifikasi diri sebagai etnik Indo, terutama dari kalangan ''trekkers'' (ekspatriat). Muncul kemudian berbagai istilah untuk menyebutkan derajat kepekatan warna kulit, seperti ''koffie met melk'' ("kopi susu"), ''kwart over zes'' (pukul enam kurang seperempat), ''half zeven'' ("pukul setengah tujuh"), ''bijna zeven uur'' ("hampir pukul tujuh"), hingga ''zo zwart als mijn schoen'' ("segelap warna sepatuku") yang paling "kelam"<ref name="veur2">van der Veur, PW. 1968. [http://www.jstor.org/stable/3350710 Cultural aspect of The Eurasian Community in Indonesian Colonial Society]. ''Indonesia'' 6:38-53.</ref>. Dikenal pula di masyarakat julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak Indo. Oleh masyarakat pribumi julukan ini diperluas bagi sebutan semua anak-anak golongan kulit putih.
 
Di kalangan Indo telah umum diketahui, semakin tinggi "derajat keeropaan" seseorang, semakin tinggi derajat sosialnya. Maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar berusaha mengidentifikasi diri sebagai orang Eropa. Kaum perempuannya bercita-cita untuk menikah dengan orang Eropa.<ref name="veur1">Veur, P. van der. 1969. [http://www.jstor.org/stable/3350669 Race and Color in Colonial Society: Biographical Sketches by a Eurasian Woman concerning Pre-World War II Indonesia]. ''Indonesia'' 8:69-79.</ref> Aspek budaya lokal dianggap lebih "rendah" atau "kasar"<ref name="veur1"/>. Stratifikasi sosial bernuansa rasis ini sedikit banyak muncul dari asal- usul orang Indo, yang kebanyakan adalah keturunan dari kebiasaan per[[gundik]]an meluas di kalangan pria Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 akibat kurangnya perempuan Eropa. Orang-orang Mestizo dianggap sebagai "keturunan hubungan gelap". Kebanyakan mereka dibesarkan oleh ibu mereka dalam tradisi lokal, sehingga pendidikannya dianggap kurang, juga dalam kemampuan berbahasa Belandanya. VOC, sebagai penguasa, tampaknya juga tidak terlalu peduli dengan situasi ini. Namun demikian justru masuknya unsur budaya lokal yang menjadi pembeda mereka dan orang Belanda pendatang, bahkan masih dipertahankan hingga akhir abad ke-20.
 
Kaum Indo digunakan oleh penjajahan Belanda sebagai "penyangga" kultural agar tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik. Nasib yang sama dialami oleh kaum [[Tionghoa-Indonesia]], yang menjadi "bemper" ekonomi jajahan. Mereka dipandang rendah oleh kaum Belanda totok, tetapi juga memandang rendah kalangan pribumi yang dianggap tidak cakap dan malas. Orang Belanda totok memiliki ejekan bagi orang Indo: kata "Indo" dianggap sebagai singkatan dari ''indolent'' (pemalas)<ref name="veur1"/>. Orang Eropa ''totok'' secara sosial dan legal berposisi lebih tinggi daripada mereka yang berketurunan campuran. Walaupun pada beberapa hal mereka berbaur karena orientasi budaya yang sama, dalam banyak hal lainnya (seperti makanan dan kecenderungan [[estetika|estetik]]) kedua kelompok ini cukup berbeda. Hal ini terlihat nyata ketika terjadi [[diaspora]] orang Eropa-Indonesia ke Belanda seusai Perang Dunia Kedua. Orang Belanda banyak yang tidak siap menerima kehadiran orang-orang Indo sehingga sebagian dari mereka beremigrasi ke negara ketiga, seperti [[Amerika Serikat]], [[Kanada]], [[Australia]], atau [[Selandia Baru]].<ref name=krancher>Krancher J 2003. [http://krancher.org/indos.html "Indos: The Last Eurasian Community?"]. EurasianNation.</ref>