Aksara Nusantara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: VisualEditor mengosongkan halaman [ * ]
k ←Suntingan 36.76.48.243 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh SamanthaPuckettIndo
Baris 14:
Beberapa aksara daerah dinamai menurut susunan huruf-hurufnya atau menurut nama [[abecedarium]] aksara tersebut. Demikianlah maka Aksara Jawa Baru dan Aksara Bali disebut Aksara Hanacaraka; sedangkan Aksara Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan Aksara Sunda Baku disebut juga Aksara Kaganga mengikuti abecedarium Aksara Pallawa : ka kha ga gha nga.
 
== Sejarah ==
Ada pendapat sebelum hadir [[abjad Arab]] dan [[abjad Latin|Latin]] sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di kawasan [[Asia Tenggara]] (kecuali di [[Vietnam]] dan sebagian kalangan penduduk Cina Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh [[India]]. Begitu pun halnya yang terjadi di [[Nusantara]]. Para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di [[Nusantara]] hadir sejalan dengan berkembangnya unsur ([[Hindu]]-[[agama Buddha|Buddha]]) dari [[India]] yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis:1975).
 
Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang ahli [[epigrafi]] yang berkebangsaan [[Perancis]] bernama Louis Charles Damais (l951--55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan [[India]] ke [[Nusantara]] kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang menampakkan aliran [[India Selatan]] atau aliran [[India Utara]], namun juga cukup rumit dan sulit ditentukan darimana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu.
 
Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional, tetapi tidak berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang berperan pada periode itu pun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil daya cipta cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif unsur-unsur asing dari berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).
 
Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya [[agama Buddha]]. Jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat [[aksara Siddham|Siddham]]. Tetapi sarjana [[Belanda]] lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978). Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau [[terakota]]) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemukan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi. Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di [[Sumatra]], [[Jawa]] dan [[Bali]] dengan menggunakan bahasa [[Sanskerta]].
 
Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) [[Pallava]] ([[India Selatan]]) selanjutnya disebut [[aksara Pallawa]] (saja), juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) [[kerajaan Kutai]] (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan [[Tarumanagara]] ([[Jawa Barat]]) tahun 450 Masehi.
 
Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan [[aksara Pallawa]]-[[Grantha]] dan bahasa Sanskerta dengan gaya khas inovasinya. Prasasti-prasasti masa [[Tarumanagara]] dipahatkan pada batu alam. Khusus [[prasasti Ciaruteun]] dan [[Prasasti Muara|Muara Cianten]] (Kampung-muara), di tepi sungai Cisadane dan Cibungbulang ([[Bogor]]), [[Jawa Barat]], disusun dan ditata dengan metrum (sloka) [[Sanskerta]]; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut ''kru-letters'', ''conch-shell-script'' atau aksara [[sangkakala|sangkha]]. Sejauh mana kebenarannya, yang jelas pilin—pilin gandha ataupun sulur-suluran—merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara, sebelum dikenal aksara (Djafar 1978).
 
Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai karya asli pribumi khususnya berkembang di beberapa daerah di [[Sulawesi]]. Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan sebagai hasil daya cipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudian menjadi rumit sebab setiap individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya.
 
Pada dasarnya aksara yang berkembang di Nusantara secara visual khususnya pada periode Klasik secara umum terdiri dari 33 dasar ucapan sebagai berikut di bawah: