Candi Ceto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Kembangraps (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Berkas:Ceto tampak depan.jpg|thumb|200px|Tampak depan Candi Ceto]]
'''Candi Cetho''' ([[hanacaraka]]: ​​ꦕꦼꦛ, ejaan [[bahasa Jawa]] latin: ''cethå'') merupakan sebuah [[candi]] bercorak [[agama Hindu]] peninggalanyang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir pemerintahanera [[Majapahit]] (abad ke-15 Masehi). LaporanLokasi ilmiahcandi pertamaberada mengenainyadi dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakalalereng [[HindiaGunung BelandaLawu]]. Berdasarkanpada keadaannyaketinggian ketika1496 reruntuhannyam mulaidi diteliti,atas candipermukaan inilaut<ref>Sebagaimana memilikitertulis usiapada yangpapan tidakinformasi jauhdi denganlokasi [[Candicandi</ref>, Sukuh]].dan Lokasisecara candiadministratif berada di Dusun Ceto, Desa [[Gumeng, Jenawi, Karanganyar|Gumeng]], [[Jenawi, Karanganyar|Kecamatan Jenawi]], [[Kabupaten Karanganyar]], pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
 
Sampai saat ini, komplekKompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. danCandi populerini sebagaijuga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/[[Kejawen]].
 
==Penemuan==
Laporan ilmiah pertama mengenai Candi Ceto dibuat oleh Van de Vlies pada tahun 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dan penemuan objek terpendam dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala [[Hindia Belanda]]. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini diperkirakan berusia yang tidak jauh berbeda dari [[Candi Sukuh]].
== Susunan bangunan dan pembangunan kembali==
[[Berkas:Candi Cetho.jpg|thumb|200px|right|Gapura Candi CethoCeto]]
Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras membuat munculnya dugaan akan kebangkitan kembali kultur asli ("[[punden berundak]]") memunculkan dugaan akan [[sinkretisme]] kultur asli pada masa itu, yang disintesis dengan agama HinduHinduisme. Dugaan ini diperkuat dengan bentuk tubuh manusia pada relief-relief yang menyerupai seperti [[wayang kulit]], yangdengan miripwajah dengantampak penggambaransamping tetapi tubuh cenderung tampak depan. Penggambaran serupa ditemukan di [[Candi Sukuh]], yang cukup berdekatan lokasinya.
 
Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi [[Suharto]], pada akhir 1970-an mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh para pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. BangunanBeberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original adalah gapura megah di mukabagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai [[Sabdapalon]], [[Sabdapalon|Nayagenggong]], [[Brawijaya]] V]], serta ''phallus'', dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.
 
Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003-2008, [[Rina Iriani]], dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi [[Dewi Saraswati]], sumbangan dari [[Kabupaten Gianyar]], pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.
 
Pada keadaannya yang sekarang, kompleks Candi CethoCeto terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk [[candi bentar]], pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat [[petilasan]] [[Ki Ageng Krincingwesi]], leluhur masyarakat Dusun CethoCeto.
 
Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, [[surya Majapahit]] (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol ''phallus'' ([[penis]], alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan [[tindik tubuh|tindik]] (''piercing'') bertipe ''ampallang''. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti [[mimi]], [[katak]], dan [[ketam]]. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai [[suryasengkala]] berangka tahun 1373 [[Tahun Saka|Saka]], atau 1451 era modern.