Oerip Soemohardjo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
+
Baris 44:
Oerip mengundurkan diri dari jabatannya sekitar tahun 1938 setelah berselisih dengan Bupati Purworejo, tempat ia ditempatkan. Oerip dan istrinya, Rohmah, kemudian pindah ke sebuah desa di dekat [[Yogyakarta]]. Di sana, mereka membangun sebuah vila dan kebun bunga yang luas. Setelah [[Jerman Nazi]] [[Pertempuran Belanda|menginvasi Belanda]] pada bulan Mei 1940, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Ketika [[Kekaisaran Jepang]] [[Pendudukan Jepang di Indonesia|menduduki Hindia]] dua tahun kemudian, Oerip ditangkap dan ditahan di kamp tawanan perang selama tiga setengah bulan. Ia melalui sisa masa pendudukan Jepang di vilanya.
 
Pada tanggal 14 Oktober 1945, beberapa bulan setelah [[Proklamasi kemerdekaan Indonesia|Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya]], Oerip ditetapkan sebagai kepala staff dan pemimpin sementara angkatan perang yang baru dibentuk. Oerip berupaya untuk menyatukan kekuatan kelompok-kelompok militer yang terpecah-pecah di Indonesia. Pada 12 November 1945, Jenderal [[Soedirman]] terpilih sebagai pemimpinpanglima angkatan perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu. Oerip tetap menjabat sebagai kepala staff, dan mereka berdua sama-sama mengawasi pembangunan angkatan perang pada masa [[Revolusi Nasional Indonesia]],. hingga akhirnya OeripMerasa muak atas kurangnya kepemimpinankepercayaan politikpemerintah dalamterhadap tubuh angkatan perangmiliter dan manuver politik yang sedangterjadi berlangsungdi tubuh militer, Oerip akhirnya mengundurkan diri pada awal 1948. Mengidap lemah jantung, kondisi kesehatannya memburuk dan ia wafat karena serangan jantung beberapa bulan kemudian. Berpangkat letnan jenderal pada saat kematiannya, Oerip secara [[anumerta]] dipromosikan menjadi jenderal penuh. Ia menerima beberapa penghargaan dari pemerintah Indonesia, termasuk gelar [[Pahlawan Nasional Indonesia]] pada tahun 1964.
 
==Kehidupan awal==
Baris 62:
Di Malinau, Oerip berpatroli di perbatasan [[Kerajaan Sarawak]] (kini bagian dari [[Malaysia]]) yang dikuasai oleh Hindia Belanda dan Inggris; ia juga bertugas mencegah konflik dan [[Pemburuan kepala|pengayauan]] antar suku [[Dayak]].{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=47–48}} Suatu hari, tujuh tahun setelah tiba di Borneo, Oerip baru saja selesai berpatroli dan menemukan rumahnya sudah dibakar. Atas rekomendasi seorang dokter, Oerip kembali ke Jawa, melalui Tarakan dan [[Surabaya]], dan tiba di [[Cimahi]]. Di Cimahi, Oerip mengistirahatkan diri selama beberapa bulan.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=50–52}}
 
Setelah pulih total, pada tahun 1923 Oerip ditempatkan di kampung halamannya, Purworejo. Pada septemberSeptember 1925, Oerip dipindahkan ke Magelang dan bertugas di ''[[Korps Marechaussee te Voet|Maréchaussée te Voet]]'', sebuah unit militer bentukan KNIL.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=53–55}} Meski awalnya Oerip diketahui adalah pria yang kerap menghindari wanita, di bawah tekanan untuk segera menikah, Oerip berkenalan dengan Rohmah Soebroto, putri dari Soebroto, mantan guru [[bahasa Jawa]] dan [[bahasa Melayu|Melayu]]-nya, yang juga kerabat jauh tokoh emansipasi wanita [[Kartini]]. Sejoli ini bertunangan pada tanggal 7 Mei 1926 dan menikah pada 30 Juni di tahun yang sama.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=57–58}}{{sfn|Tempo 1977, Meninggal Dunia}}{{sfn|Imran|1983|p=35}} Di Magelang, Oerip menggunakan [[Patronim|nama ayahnya]] sebagai nama belakang untuk berurusan dengan Belanda.{{efn|Nama keluarga disyaratkan oleh Belanda untuk urusan-urusan seperti pembelian tanah.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=59}}}} Setelah itu, ia mulai menyebut dirinya dengan nama lengkap Oerip Soemohardjo, meskipun orang lain terus memanggilnya Oerip.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=59}}
 
Setahun setelah pernikahannya, Oerip dan istrinya ditempatkan di [[Ambarawa]]. Di sana, Oerip ditugaskan untuk membangun kembali unit KNIL yang telah dibubarkan sebelumnya.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=59}} Sambil melatih prajurit lokal menggantikan komandan Belanda yang belum tiba, Oerip dipromosikan menjadi kapten.{{sfn|Imran|1983|p=36}} Setelah komandan Belanda tiba, pada Juli 1928 Oerip diberi cuti satu tahun, yang ia manfaatkan untuk melakukan perjalanan wisata ke seluruh Eropa bersama istrinya. Sekembalinya ke Hindia, ia ditempatkan di Meester Cornelis.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=60–62}}
Baris 69:
 
== Warga sipil dan pendudukan Jepang ==
Di Yogyakarta, Oerip yang penganggurantidak bekerja menghabiskan waktunya dengan berkebun [[anggrek]]. Setiba di Yogyakarta, istrinya membeli sebuah vila di Gentan, di sebelah utara kota. Meskipun vilanya kecil, pasangan tersebut memanfaatkan lahan seluas {{convert|2|ha}} untuk berkebun bunga,{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=74–75}} dengan biaya hidup berasal dari uang pensiun Oerip di KNIL.{{sfn|Imran|1983|p=47}} Di vilanya, yang bernama KEM ({{lang|nl|''Klaarheid en Moed''}}, atau "Kemurnian dan Keberanian"), Oerip kerap menerima tamu, baik yang berasal dari kalangan militer maupun warga sipil. Lewat tamu-tamu ini, ia menerima informasi mengenai peristiwa terkini dan memberikan saran tentang masalah-masalah militer dan politik.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=76–77}} Pada tahun 1940, pasangan ini mengadopsi seorang gadis Belanda berusia empat tahun bernama Abby dari sebuah panti asuhan di [[Semarang]].{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=78–79}}
 
Tak lama kemudian, pada tanggal 10 Mei 1940, setelah [[Jerman Nazi]] [[Pertempuran Belanda|menginvasi Belanda]], Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Tiga hari setelah melapor kepada Kolonel Pik di Magelang, ia berangkat ke markas KNIL di [[Bandung]].{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=80–81}} Di sana, ia menjadi perwira pensiunan pertama yang melapor.{{sfn|Imran|1983|p=53}} Setelah itu, Oerip bersama keluarganya dipindahkan ke [[Cimahi]], dan ia ditugaskan untuk membangun depotdepo batalion baru. beberapa perwira pribumi ditempatkan di bagian utara Hindia pada tahun 1941 untuk berjaga-jaga jika [[Kekaisaran Jepang]] menyerang, namun Oerip tetap berada di Cimahi.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=80–81}}
 
Setelah [[Pendudukan Jepang di Indonesia|Jepang menduduki Hindia]] pada awal 1942, Oerip ditangkap dan dijebloskan ke kamp penahanan [[tawanan perang]] di Cimahi. Setelah dibebaskan tiga setengah bulan kemudian, Oerip menolak untuk membentuk pasukan kepolisian baru yang disponsori oleh Jepang, dan kembali ke KEM.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=83}}{{sfn|Imran|1983|pp=54–55}} Di KEM, ia dan istrinya menyewa [[sawah]] dan menanaminya dengan padi sambil terus melanjutkan kegiatan berkebun.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=84–87}} Untuk melindungi lahan mereka, Oerip melindungi tanah dan rumahnya dengan pagar bambu yang tinggi.{{sfn|Imran|1983|p=58}} Meskipun tak lagi aktif di militer, Oerip sesekali juga menerima tamu mantan anggota KNIL di vilanya, termasuk [[Abdul Haris Nasution]] dan Sunarmo, yang membawa kabar terkini mengenai peristiwa yang terjadi di luar desa. Pasangan ini terus melanjutkan aktivitas mereka sebagai warga sipil, kadang diganggu dan diawasi oleh orang Jepang dan orang Indonesia yang pro-Jepang, sampai [[pengeboman Hiroshima dan Nagasaki]] pada awal Agustus 1945, yang menandakan bahwa Jepang akan segera mundur dari Indonesia.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=84–87}} Selama periode ini, Oerip mulai mengalami masalah jantung.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=109}}
Baris 80:
Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada tanggal 17 Agustus 1945, Oerip dan keluarganya meninggalkan KEM dan pindah ke rumah orangtua Rohmah di Yogyakarta.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=89}} Setelah [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR) didirikan pada tanggal 23 Agustus, Oerip memimpin sekelompok komandan militer mengajukan petisi untuk membentuk formasi militer nasional.{{sfn|Anderson|2005|pp=103–106}}{{sfn|Imran|1983|p=63}} Sementara itu, kelompok terpisah yang dipimpin oleh politisi [[Oto Iskandar di Nata]] menginginkan agar BKR menjadi organisasi kepolisian. Para pemimpin politik, yang terdiri dari [[Presiden Republik Indonesia|Presiden]] [[Soekarno]] dan [[Wakil Presiden Republik Indonesia|Wakil Presiden]] [[Muhammad Hatta]], sepakat untuk berunding; BKR akhirnya ditetapkan sebagai organisasi kepolisian, tapi sebagian besar anggotanya pernah bertugas di militer, baik [[Pembela Tanah Air]] (PETA) maupun [[Heiho| Heihō]].{{sfn|Anderson|2005|pp=103–106}}
 
Pada 14 Oktober 1945 – sembilan hari setelah [[Tentara NasionalKeamanan IndonesiaRakyat]] didirikan secara resmi – Oerip ditetapkan sebagai Kepala Staff dan panglima sementara, dan segera berangkat menuju Jakarta.{{efn|Batavia berganti nama menjadi Jakarta setelah invasi Jepang.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=89}} }} Dalam rapat kabinet keesokan harinya,{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=99–100}} Oerip diperintahkan untuk membentuk angkatan perang nasional yang bermarkas di Yogyakarta,{{efn|Oerip pada awalnya menyarankan [[Purwokerto]] sebagai markas, namun akhirnya memilih Yogyakarta karena fasilitasnya yang lebih baik dan terjaminnya dukungan dari penguasa setempat. {{sfn|Said|1991|p=28}}}} dalam persiapan untuk menghadapi serangan yang mungkin akan dilancarkan oleh pasukan Belanda untuk merebut kembali Hindia.{{sfn|Anderson|2005|pp=232–234}} Ia berangkat ke Yogyakarta pada 16 Oktober, dan tiba keesokan harinya. Oerip pertama-tama mendirikan markas di sebuah kamar di Hotel Merdeka, yang digunakannya sampai Sultan Yogyakarta [[Hamengkubuwono IX]] menyumbangkan tanah dan bangunan untuk digunakan oleh para tentara.{{sfn|Imran|1983|pp=67–68}}
 
Karena BKR tersebar di bawah pimpinan para komandan independen di seluruh negeri, angkatan perang yang baru dibentuk, [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia), berupaya untuk menarikmerangkul perwira pribumi yang berasal dari mantan anggota KNIL.{{sfn|Anderson|2005|pp=232–234}} Namun, para perwira ini dipandang dengan penuh kecurigaan oleh para [[nasionalisme|nasionalis]] Indonesia karena pernah bertugas di angkatan perang Belanda. Sementara itu, jajaran anggota TKR diambil dari sejumlah kelompok, termasuk mantan tentara PETA, para pemuda, dan BKR.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=99–100}}{{sfn|Anderson|2005|pp=235–237}} Meskipun Oerip berhasil memusatkan komando, pada kenyataannya hierarki angkatan perang bersifat kedaerahan dan sangat bergantung pada kekuatan unit daerah.{{sfn|Anderson|2005|p=240}}
<!--==Biografi==
 
Sesuai keputusan pemerintah pada tanggal 20 Oktober, Oerip menjadi bawahan dari Menteri Pertahanan Soeljoadikoesoemo dan Panglima Angkatan Perang [[Soeprijadi]]. Namun, Soeprijadi tidak muncul untuk mengemban tugas-tugasnya. Soeprijadi adalah seorang tentara PETA yang memimpin pemberontakan terhadap pasukan Jepang di [[Blitar]] pada bulan Februari 1945, dan diyakini sudah tewas.{{efn|Sejarawan Amrin Imran berpendapat bahwa pengangkatan Soeprijadi mungkin adalah cara untuk mengetahui apakah ia masih hidup atau tidak; diperkirakan bahwa ia mungkin akan menghubungi pemerintah di Jakarta untuk mengambil alih jabatan ini jika ia masih hidup.{{sfn|Imran|1983|pp=71–72}}}} Posisi Soeljohadikosomo juga tak terisi, dan pemimpin gerilya [[Moestopo]] menyatakan dirinya sebagai [[Menteri Pertahanan Republik Indonesia|Menteri Pertahanan]]. Dengan demikian, Oerip merasa agak diawasi dan ditekan untuk segera membentuk struktur militer yang stabil.{{sfn|Imran|1983|pp=71–72}} Pada tanggal 2 November, ia menunjuk komandan untuk menangani operasi militer di berbagai daerah di Indonesia: Didi Kartasasmita di Jawa Barat, Soeratman di Jawa Tengah, Muhammad di Jawa Timur, dan Soehardjo Hardjowardojo di Sumatera; masing-masing komandan ini diberi pangkat mayor jenderal.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=101}} Oerip juga mulai menyalurkan senjata ke berbagai unit TKR. Ia mengambil alih senjata yang disita dari Jepang dan medistribusikannya sesuai kebutuhan.{{sfn|Sardiman|2008|p=126}} Namun, hasilnya kurang sesuai dengan yang ia harapkan. PETA telah dikelola secara kedaerahan pada masa pendudukan Jepang, dan para anggotanya tidak bersedia menerima kepemimpinan pusat.{{sfn|Said|1991|p=31}}
Lahir di Purworejo, 22 Februari 1893. Dengan pangkat letnan dua KNIL, ia menjalani dinasnya di Kalimantan selama 7 tahun.
[[File:Sudirman.jpg|thumb|alt=Seorang pria memakai peci menatap lurus ke depan|Jenderal [[Soedirman]] terpilih sebagai pemimpin TKR pada tanggal 12&nbsp;November 1945. Ia menjadikan Oerip sebagai kepala staff.]]
 
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Jenderal [[Soedirman]]&nbsp;– komandan Divisi V [[Purwokerto]] yang hanya memiliki dua tahun pengalaman militer dan 23 tahun lebih muda dari Oerip&nbsp;– terpilih sebagai panglima angkatan perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu.{{sfn|Nasution|2011|p=196}} Pada tahap ketiga, Oerip meraih 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara. Komandan divisi Sumatera semuanya sepakat untuk memilih Soedirman;{{sfn|Sardiman|2008|p=132}} Oerip tidak terpilih karena beberapa komandan divisi mencurigai riwayat hidupnya dan sumpah yang ia ucapkan kepada Belanda saat ia lulus di KNIL.{{sfn|Sardiman|2008|p=133}} Soedirman terkejut dengan hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta pertemuan tidak mengizinkan; Oerip sendiri merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas angkatan perang. Soedirman tetap mempertahankan Oerip dan mengangkatnya sebagai kepala staff dengan pangkat letnan jenderal.{{sfn|Imran|1983|pp=74–79}} Sebelum pemerintah melantik Soedirman sebagai panglima besar, Oerip secara ''[[de jure]]'' tetap menjadi pemimpin, namun wartawan [[Salim Said]] menulis bahwa perintah Oerip sulit dipahami karena kemampuan berbahasa Indonesia-nya yang buruk, dan perintahnya seringkali ditolak kecuali jika telah disetujui oleh Soedirman.{{efn|Oerip fasih berbahasa Belanda dan Jawa, namun sangat buruk dalam berbahasa Indonesia, yang telah menjadi bahasa utama pada abad ke-20 {{harv|Said|1991|p=50}}.}}{{sfn|Said|1991|p=50}}
Sebagai perwira, ia dinilai cukup berhasil terutama dalam tugas-tugas patroli. Ia satu-satunya orang Indonesia yang mencapai pangkat mayor dalam KNIL, namun ia tidak menyetujui semua tindakan pemerintah jajahan seperti diskriminasi. Di Banjarmasin, ia memprotes peraturan yang melarang pewira Indonesia memasuki kamar bola. Di Balikpapan, Oerip pun menentang peraturan yang melarang orang-orang Indonesia naik kereta api milik BPM.
 
Setelah Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada 18 Desember, ia mulai berupaya untuk mengonsolidasikan dan mempersatukan angkatan perang, sedangkan Oerip bertugas menangani masalah-masalah teknis dan organisasi.{{sfn|Anderson|2005|p=245}}{{sfn|Imran|1983|pp=74–79}} Banyak rincian-rincian, seperti pemberlakuan seragam tentara, ia limpahkan penanganannya kepada komandan daerah.{{efn|Pada saat itu, Angkatan Perang Indonesia belum memiliki sumber daya untuk memberlakukan standar seragam secara nasional.{{sfn|Imran|1983|pp=74–79}} }} Namun, untuk menangani masalah-masalah penting, ia mengeluarkan perintah yang berlaku secara nasional, misalnya perintah untuk membentuk [[polisi militer]] dan mencegah pasukan penerjun payung musuh mendarat.{{sfn|Imran|1983|pp=74–79}}
Tanggal 31 Agustus 1938 di Purworejo dilangsungkan upacara ulang tahun Ratu Wilhelmina. Oerip diangkat sebagai ketua panitia. Salah seorang undangan yakni Bupati Purworejo datang terlambat. Ia melarang Bupati memasuki tempat upacara. Kasus tersebut dilaporkan kepada Departemen Perang, ternyata Oerip disalahkan. Kemudian ia dipindahkan ke Gombong, karena merasa tidak bersalah, melalui telepon ia minta berhenti dari dinas militer.
 
Bersama-sama, Soedirman dan Oerip berhasil mengatasi ketidaksepahaman antara mantan tentara PETA dan KNIL. Sementara itu, pemerintah mengganti nama angkatan perang sebanyak dua kali pada bulan Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakyat, kemudian diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada 23 Februari 1946, Oerip ditunjuk untuk mengepalai Panitia Besar Reorganisasi Tentara, yang dibentuk melalui keputusan presiden. Setelah berunding selama empat bulan, pada 17 Mei panitia menyerahkan rekomendasi kepada Presiden Soekarno. Oerip ditugaskan untuk menangani proses perampingan angkatan perang, sedangkan Menteri Pertahanan diberi kekuasaan birokrasi yang lebih besar. Soedirman tetap dipertahankan sebagai panglima angkatan perang.{{sfn|Anderson|2005|pp=372–373}}{{sfn|Imran|1983|pp=80–81}}
Setelah PD II, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan mobilisasi. Ia mendaftarkan kembali dan disserahi tugas memimpin depo Cimahi. Tahun 1942 semua tentara Belanda ditawan Jepang, termasuk Oerip. Setelah Oerip dibebaskan, Jepang menawarkan jabatan sebagai komandan polisi namun ia menolaknya.
 
Setelah [[Menteri Pertahanan Republik Indonesia|Menteri Pertahanan]] [[Amir Sjarifuddin]] mulai membentuk kelompok-kelompok pro-kiri dalam tubuh militer, Oerip mulai curiga{{sfn|Imran|1983|pp=82–84}} dan mengecam upaya pemerintah yang memanfaatkan militer untuk kepentingan politik.{{sfn|Said|1991|p=46}} Meskipun demikian, ia dan Soedirman terus berupaya untuk memastikan bahwa pasukan [[paramiliter]] (laskar), yang muncul dari kalangan masyarakat umum, adalah bagian dari militer. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil pada tanggal 3 Juni 1947, ketika pemerintah mengumumkan untuk mempersatukan laskar dan TRI menjadi organisasi militer baru bernama [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI). Sementara itu, Oerip mendirikan sebuah [[akademi militer]] di Yogyakarta.{{sfn|Imran|1983|pp=82–84}}
Saat Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia masih berada di Gentan ( rumah beliau sekarang menjadi Kantor Kepala Desa Sardonoharjo Ngaglik Sleman), tidak jauh dari Yogyakarta. Sementara teman-temannya bekas KNIL yang berada di Jakarta mengusulkan kepada Pemerintah agar ia diangkat menjadi pimpinan TKR.
 
Untuk memenuhi ancaman Belanda, Oerip berniat untuk menyerang Belanda di saat mereka masih menyusun kekuatan, namun rencana ini digagalkan oleh upaya pemerintah dalam diplomasi. Oerip sendiri lebih menyukai taktik [[gerilya]] ketimbang konflik militer resmi, ia pernah bercerita kepada bawahannya bahwa serangan terbaik bisa dilakukan dengan seratus penembak jitu yang bersembunyi di belakang garis musuh.{{sfn|Imran|1983|p=85}} Oerip dengan lantang menentang hasil [[Perjanjian Renville]]; perjanjian tersebut menyebabkan ditariknya 35.000 tentara Indonesia dari Jawa Barat dan diresmikannya [[Garis Van Mook]], yang memisahkan wilayah kekuasaan Belanda dan Indonesia.{{sfn|Adi|2011|pp=79–80}} Ia memandang perjanjian tersebut, yang disahkan pada 17 Januari 1948, sebagai taktik mengulur-gulur yang memberi Belanda kesempatan untuk memperkuat pasukannya.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=104}} Sementara itu, Amir Sjarifuddin&nbsp;– yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri&nbsp;– mulai merekrut tentara yang berhaluan kiri.{{sfn|Imran|1980|pp=42–45}} Muak dengan sikap pemerintah yang menurutnya kurang percaya pada militer, Oerip mengajukan pengunduran dirinya,{{sfn|Imran|1983|p=87}} namun tetap bertugas sebagai penasihat Menteri Pertahanan sekaligus Wakil Presiden, Muhammad Hatta.{{efn|Sjariffudin dipaksa mengundurkan diri karena ketidaksetujuan publik atas hasil Perjanjian Renville {{sfn|Imran|1980|pp=42–45}}}}{{sfn|KR 1948, Let. Djen. Urip Meninggal}}
Selanjutnya Oerip mengumpulkan teman-temannya bekas KNIL untuk bersama-sama membuat atau mengeluarkan pernyataan tidak terikat lagi dalam dinas KNIL. Pernyataan itu ditandatangani 13 orang.
[[File:Grave of Oerip Soemohardjo.JPG|left|thumb|Makam Oerip di Yogyakarta.]]
[[File:Patung urip.jpg|thumb|Patung Oerip di ...]]
 
Setelah beberapa bulan berada dalam kondisi lemah dan menjalani perawatan dari Dr. Sim Ki Ay,{{sfn|Imran|1983|p=88}} pada malam 17 November 1948 Oerip ambruk dan wafat di kamarnya di Yogyakarta akibat [[serangan jantung]]. Setelah disemayamkan selama semalam, ia dikebumikan keesokan harinya di [[Taman Makam Pahlawan Kusumanegara|Taman Makam Pahlawan Semaki]] dan secara anumerta dipromosikan sebagai jenderal.{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo}}{{sfn|KR 1948, Let. Djen. Urip Meninggal}}{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=108–111}} Saat Soedirman mengancam akan mengundurkan diri pada tahun 1949, ia menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah selama revolusi-lah yang menyebabkan kematian Oerip, dan juga penyebab penyakit TBC yang diidapnya.{{sfn|McGregor|2007|p=129}} Oerip meninggalkan seorang istri dan putri angkat bernama Abby. Abby meninggal dunia karena [[malaria]] pada Januari 1951,{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=120}} dan Rohmah wafat pada tanggal 29 Oktober di Semarang; ia dimakamkan di [[Ungaran]].{{sfn|Tempo 1977, Meninggal Dunia}}
Tanggal 15 Oktober ia diangkat menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat letnan jenderal. Tugas yang dihadapi cukup berat, yaitu jumlah tentara yang cukup banyak serta organisasinya belum teratur.
 
==Peninggalan==
Dalam keadaan demikian, TKR masih belum mempunyai pimpinan tertinggi yang bertanggungjawab secara penuh. Untuk mengatasi hal itu, pada bulan November 1945, ia mengundang para komandan divisi ke Yogyakarta untuk mengadakan rapat. Acara tunggal ialah memilih seorang panglima TKR. Tokoh yang terpilih ialah Kolonel Soedirman, komandan Divisi V Banyumas.
Oerip menerima sejumlah [[Daftar tanda kehormatan di Indonesia|tanda kehormatan dari pemerintah]] secara [[anumerta]], termasuk [[Bintang Sakti]] (1959), [[Bintang Mahaputra]] (1960),{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo}} [[Bintang Republik Indonesia Adipurna]] (1967),{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia}} dan [[Bintang Kartika Eka Paksi|Bintang Kartika Eka Pakçi Utama]] (1968).{{efn|Bintang Sakti adalah tanda kehormatan militer tingkat tinggi bagi yang menunjukkan keberanian melampaui panggilan tugas.{{sfn|UU No. 20/2009|pp=4, 10, 23}}. Bintang Mahaputra adalah tanda kehormatan tingkat tinggi bagi orang-orang yang telah membantu pembangunan Indonesia, menjadi ahli dalam bidang tertentu, atau secara luas diakui atas pengorbanan mereka bagi negara.{{sfn|UU No. 20/2009|pp=4, 9, 23}} Bintang Republik Indonesia adalah tanda kehormatan tertinggi yang diberikan bagi warga sipil; hanya delapan tokoh yang telah menerima kelas Adipurna.{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia}}{{sfn|Saragih 2012, SBY bestows honors}} Bintang Kartika Eka Pakçi Utama adalah tanda kehormatan militer tingkat rendah yang dianugerahkan kepada orang-orang yang telah membantu pembangunan tentara melampaui panggilan tugas. Utama adalah kelas tertinggi.{{sfn|UU No. 20/2009|pp=4, 10, 23}}}}{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo}} Pada tanggal 10&nbsp;Desember 1964, Oerip ditetapkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Soedirman juga dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh keputusan yang sama.{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Daftar Nama Pahlawan}}
 
Pada tanggal 22&nbsp;Februari 1964, akademi militer Indonesia di Magelang mendedikasikan sebuah tugu untuk dirinya, dan menggambarkan Oerip sebagai "seorang putra Indonesia yang mengagungkan karya daripada kata, yang mengutamakan Dharma daripada minta."{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=135–136}} Gereja Katolik di akademi tersebut juga mempersembahkan sebuah dedikasi untuk Oerip sejak tahun 1965, yang berawal dari perbincangan antara Rohmah dan teman misionarisnya.{{sfn|Imran|1983|p=90}} Beberapa jalan juga dinamakan untuk menghormati Oerip, termasuk di kampung halamannya Purworejo, {{sfn|Google Maps, Purworejo}} di Yogyakarta,{{sfn|Google Maps, Yogyakarta}} dan di ibu kota Jakarta.{{sfn|Google Maps, Jakarta}}
Peristiwa ini merupakan hal yang unik dalam sejarah perkembangan TNI, yaitu panglimanya tidak diangkat oleh pemerintah namun dipilih oleh anggota-anggotanya sendiri.
 
Ini memperlihatkan pula bahwa pemerintah pada masa itu kurang menaruh perhatian terhadap pembinaan tentara . Hal ini sangat disesalkan oleh Oerip. Satu bulan kemudian, pemerintah baru menyetujui dan tanggal 18 Desember 1945 Kol. Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal. Oerip tetap sebagai Kepala Staf Umum dengan pangkat letnan jenderal.
 
Untuk penyempurnaan lebih lanjut dibentuk Panitia Besar Reorganisasi Tentara. Oerip duduk sebagai anggauta. Di sini buah pikirannya banyak dipakai. Hasil kerja panitia itu disetujui pemerintah, untuk kedua kalinya pada tanggal 20 Mei 1946 Letjen Oerip dikukuhkan sebagai Kepala Staf Umum TRI.
 
Hubungan antara TRI dengan laskar-laskar ini tidak selalu berjalan lancar. Seringkali terjadi persaingan antara keduanya dan tentu saja keadaan itu merugikan perjuangan. Banyak komandan divisi tidak bersedia menyerahkan kekuasaan kepada penggantinya seperti yang sudah ditetapkan oleh Panitia Besar Reorganisasi. Hal itu cukup memusingkan Oerip.
 
Oerip menentang kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu menilai rendah Angkatan Perangnya sendiri. ia mengundurkan diri dari jabatan Kepala Staf Angkatan Perang dan dinas militer. Namun pemerintah masih mengangkatnya sebagai penasehat militer presiden.
 
Apa yang sejak semula diduga dan dicoba Oerip dan Soedirman untuk mencegahnya, akhirnya terjadi pula. Tanggal 18 September 1948 PKI melancarkan pemberontakan di Madiun. Angkatan perang terpecah. Sebagian berpihak kepada pemberontak, sebagian lagi tetap setia kepada Pemerintah. Oerip tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus istirahat di rumah sakit, kemudian meninggal dunia, Sebagai pengahargaan atas jasa-jasanya, pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Kemerdekaan.
 
Penataan Angkatan Perang di awal Kemerdekaan bukan perkara yang mudah bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Begitu pula penataan di tubuh TNI dan POLRI setelah lengsernya Soeharto ! Ya, di bidang apa pun masa-masa peralihan dan penataan kembali pasti dihadapkan oleh berbagai kepentingan. Keadaan seperti ini bisa menjadi terpecah-pecah dan melahirkan kawan menjadi lawan. Begitu pun sebaliknya !-->
== Catatan ==
{{notelist}}
Baris 372 ⟶ 364:
 
[[Kategori:Jendral Indonesia]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh dari Purworejo]]
[[Kategori:Tokoh militer Indonesia]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]