Ca-bau-kan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k menambah poin
k perbaikan kecil
Baris 1:
:''Artikel ini mengenai [[film]] tahun [[2002]]. Untuk [[novel]]nya, lihat [[Ca-Bau-Kan: (Hanya Sebuah Dosa)]].''
{{Infobox Film
| movie_title = Ca-bau-kan
Baris 27:
}}
{{wikiquote|Ca Bau Kan|lang=id}}
'''''Ca-bau-kan''''' (Internasional: '''''The Courtesan''''') adalah [[film drama romantis]] tahun [[2002]] dari [[Indonesia]] yang diangkat dari novel ''[[Ca-Bau-Kan: (Hanya Sebuah Dosa)]]'' karya penulis Indonesia [[Remy Sylado]]. Film ini mengangkat budaya [[Tionghoa Peranakan]] di [[Hindia Belanda]] dan Indonesia, dengan latar cerita yang mencakup zaman [[Sejarah Nusantara (1800-1940)|kolonial Belanda]] pada tahun 1930-an, [[Sejarah Indonesia (1942-1945)|pendudukan Jepang]] pada 1940-an, hingga [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|pasca-kemerdekaan]] tahun 1960. Istilah ''Ca-bau-kan'' sendiri adalah [[Bahasa Hokkian]] yang berarti "perempuan", yang saat zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang [[Tionghoa]]. Pada zaman kolonial Hindia-Belanda, banyak ''Ca-bau-kan'' yang sebelumnya bekerja sebagai [[pelacur|wanita penghibur]] sebelum diambil sebagai [[selir]] oleh orang Tionghoa.
 
''Ca-bau-kan'' dianggap cukup kontroversial saat pertama kali dirilis, karena beberapa hal, selain karena dibesut sutradara wanita yang masih jarang di perfilman Indonesia pada masa itu. Pertama karena film ini adalah film Indonesia pertama yang menggunakan judul bahasa asing ([[Hokkian]]) yang tidak akan boleh digunakan pada era [[Orde Baru]]. Dan juga karena film ini adalah film Indonesia pertama yang sarat dengan tema budaya dan bahasa Tionghoa Peranakan yang kental pada zaman kolonial Hindia Belanda. Film ini juga adalah film Indonesia pertama yang menggambarkan peran orang Peranakan dan etnis Tionghoa dalam [[Sejarah Indonesia (1945-1949)|perang kemerdekaan 1945-1949]]. <ref>http://books.google.com.au/books?id=9_PmysZli1cC&pg=PA104&lpg=PA104&dq=ca+bau+kan+meaning&source=bl&ots=-09vhHn6zP&sig=mT3J9Mg4CI0DECdaNAZCUGBnXbI&hl=en&sa=X&oi=book_result&resnum=4&ct=result#PPA100,M1 Ciecko, AT. 2006. ''Contemporary Asian Cinema''. Penerbit Berg. Diakses 2 Februari 2009</ref>
Baris 39:
Cerita dimulai dari pulangnya Giok Lan ([[Niniek L. Karim]]), seorang wanita lanjut usia yang dulu dipungut anak dan tinggal di [[Belanda]], ke Indonesia. Ia kembali ke Indonesia untuk mencari tahu asal usul dan latar belakang hidupnya dan keluarganya yang sebenarnya. Ia akhirnya tahu bahwa Ibu kandungnya adalah wanita [[betawi]] [[pribumi]] tadi yang bernama Siti Noerhajati, yang kerap dipanggil "Tinung" ([[Lola Amaria]]), seorang ''Ca-bau-kan'' yang sering menghibur orang Tionghoa pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Ayah kandungnya adalah Tan Peng Liang, seorang pedagang tembakau [[Tionghoa Peranakan]] dari [[Semarang]]. Mereka berdua adalah orang tua kandung dari Giok Lan, sang [[narator]] film.
 
Cerita berpindah ke masa lalu, pada tahun [[1933]]. Tinung menjadi seorang ''Ca-bau-kan'' di daerah [[Kalijodo]], [[Batavia]], dan tak lama kemudian Tinung pun menjadi sangat populer dan terkenal karena kecantikannya. Karena kecantikannya tersebut, Tinung sempat dijadikan wanita simpanan oleh seorang ''tauke'' ([[juragan]]) pisang Tionghoa berperangai kasar yang bernama Tan Peng Liang ([[Moeljono]]). Tinung hidup dengan nyaman dan bahkan mengandung anak lagi. Namun kemudian Tinung melarikan diri karena tidak tahan dengan lingkungan rumah Tan Peng Liang yang diwarnai kekerasan.<br />
 
Tinung kemudian melanjutkan profesinya sebagai wanita penghibur di Kalijodo, namun tak bertahan lama karena kondisinya yang berbadan dua. Saodah yang juga bekerja sebagai penari [[cokek]] kemudian membawa Tinung dan memperkenalkan Tinung ke dunia tari dan nyanyi cokek di bawah naungan Njoo Tek Hong ([[Chossy Latu]]), seorang musisi Tionghoa. Dalam sebuah festival, dia bertemu dengan Tan Peng Liang ([[Ferry Salim]]), seorang [[pengusaha]] [[tembakau]] ''[[Kiau-Seng]]'' (Tionghoa Peranakan) dari [[Semarang]] yang berkarakter sangat berbeda dengan Tan Peng Liang sebelumnya, dan mereka berdua pun saling menyimpan perasaan.<br />
Baris 101:
Menurut Koran Tempo, Nia di Nata cukup selektif dalam tim yang terlibat dalam pembuatan film ''Ca-bau-kan''. [[Fotografi]] ditangani oleh [[German G. Mintapradja]], yang biasa menangani fotografi bersama [[Garin Nugroho]] dalam [[Anak Seribu Pulau]] dan juga juara ketiga ''The Best Short Breda Film Festival'' Belanda tahun [[1996]]. Posisi [[penata artistik]] dipegang oleh [[Iri Supit]], yang pernah menangani ''Art'', [[kostum]] dan make-up beberapa film [[Teguh Karya]].
 
Untuk menyamakan arah cerita dan agar cerita film bisa dipahami, Nia di Nata mewawancarai semua tim yang akan terlibat dan selalu memberikan buku ''[[Ca-bauBau-kanKan: Hanya Sebuah Dosa]]'' untuk dibaca lebih dulu sebagai petunjuk bagaimana karakter tokoh yang akan diperankan. Nia di Nata membaca buku tersebut sampai delapan kali sebelum pembuatan film ''Ca-bau-kan''. Film ''Ca-bau-kan'' melibatkan 100 kru produksi, 30 pemain utama dan 500 figuran. Menurut Nia di Nata, kru produksi film juga diisi banyak personel wanita. Mulai dari posisi [[produser]], [[asisten manajer produksi]], sampai ''still photo''. Ada 45 perempuan dari 100 kru produksi.
 
=== Syuting ===