Sejarah Indonesia (1965–1966): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k perbaikan kecil
k perbaikan kecil bg2
Baris 6:
Pada tanggal 30 September 1965, enam perwira paling senior TNI tewas dalam sebuah aksi yang disebut "[[Gerakan 30 September]]", sebuah kelompok dari dalam TNI sendiri. Aksi ini kemudian dicap oleh pemerintahan Soeharto sebagai "percobaan [[kudeta]]". Dalam beberapa jam, [[Soeharto|Mayor Jenderal Soeharto]] memobilisasi pasukan di bawah komandonya dan menguasai [[Jakarta]]. Golongan anti-komunis, yang awalnya mengikuti perintah TNI, melanjutkan [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|pembersihan berdarah dari komunis]] di seluruh negeri, diperkirakan menewaskan setengah juta orang, dan menghancurkan PKI, yang secara resmi telah dipersalahkan atas krisis tersebut oleh Soeharto.<ref>{{cite video | people =Chris Hilton (writer and director) | title =Shadowplay | medium =Television documentary | publisher =Vagabond Films and Hilton Cordell Productions |date = 2001 }}; Ricklefs (1991), pages 280–283, 284, 287–290</ref><ref>{{cite journal |title=Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965-1966 |author=Robert Cribb |journal=Asian Survey |volume=42 |issue=4 |year=2002 |pages=550–563 |doi=10.1525/as.2002.42.4.550}}; Friend (2003), page 107-109, 113.</ref>
 
Soekarno yang telah lemah secara politik kemudian dikalahkan dan dipaksa untuk mentransfer kekuatan kunci politik dan militer Indonesia pada Jenderal SuhartoSoeharto, yang telah menjadi kepala angkatan bersenjata Indonesia. Pada bulan Maret 1967, [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara]] (MPRS) menyatakan bahwa Jenderal SuhartoSoeharto adalah presiden Indonesia. Soeharto kemudian resmi ditunjuk sebagai presiden Indonesia satu tahun kemudian. Soekarno hidup dalam tahanan rumah sampai kematiannya pada tahun 1970. Berlawanan dengan teriakan nasionalisme, retorika revolusi nasional, dan kegagalan-kegagalan ekonomi yang merupakan ciri awal 1960-an di bawah Soekarno, pemerintahan "[[Orde Baru]]" Soeharto yang pro-Barat menstabilkan ekonomi dan menciptakan pemerintahan pusat yang kuat.<ref>Schwarz (1994), pp. 2-3, 17-18; Friend (2003), pp. 87-93; Vickers (1995)</ref> Banyak dipuji karena perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintahan "Orde Baru" juga dikutuk karena catatan pelanggaran [[hak asasi manusia]] dan [[korupsi]] yang sangat tinggi.<ref>Ricklefs (1991), p.284.</ref> Menurut sejarawan Amerika Theodore Friend, "alih-alih mengisi perut [orang Indonesia], [Soekarno] mencoba untuk mengobarkan imajinasi mereka..." sedangkan Soeharto melanjutkan dengan "... mengolah perut penuh [namun] semangat kosong".<ref>Friend (2003), p. 93.</ref>
 
== Latar belakang ==
Baris 38:
=== Gerakan 30 September ===
{{Utama|Gerakan 30 September}}
[[Berkas:Suharto at funeral.jpg|thumb|Sebagai Mayor Jenderal, SuhartoSoeharto (di kanan muka) menghadiri pemakaman umum para jenderal yang tewas dalam G30S, tanggal 5 Oktober 1965 (Foto oleh [[Departemen Penerangan Republik Indonesia|Departemen Penerangan Indonesia]]).]]
 
Pada malam [[30 September]] - [[1 Oktober]] 1965, enam jendral senior TNI diculik dan dieksekusi di Jakarta oleh batalyon tentara dari [[Resimen Tjakrabirawa]] (Pengawal Presiden) dalam sebuah aksi yang kemudian disebut oleh Soeharto sebagai "percobaan kudeta". Faksi sayap kanan TNI yang membawahi enam jenderal tersebut hancur, termasuk Panglima Staf Angkatan Darat yang paling berkuasa, [[Ahmad Yani]]. Sekitar 2.000 personil tentara dari kelompok tersebut menempati tiga sisi [[Lapangan Merdeka]], dan menduduki [[Istana Merdeka]], kantor [[Radio Republik Indonesia]], dan pusat telekomunikasi, tetapi tidak menempati sisi timur, tempat markas [[Kostrad]].<ref name="Ricklefs 1991, p. 281">Ricklefs (1991), p. 281</ref> Menyebut diri mereka "[[Gerakan 30 September]]" (disingkat "G30S"), kelompok ini mengumumkan di radio RRI sekitar pukul 7:00 [[WIB]] bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh [[Central Intelligence Agency]] (CIA) [[Amerika Serikat]] yang direncanakan untuk menghapus Soekarno dari kekuasaan.<ref name="Ricklefs 1991, p. 281"/>
Baris 44:
Mereka mengumumkan telah menangkap beberapa jenderal yang tergabung dalam konspirasi tersebut, yaitu anggota "[[Dewan Jenderal]]", yang telah merencanakan kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Mereka kemudian menyatakan bahwa kudeta ini sejatinya akan berlangsung pada "[[Hari Angkatan Bersenjata]]" (5 Oktober) dengan dukungan dari CIA, dan bahwa Dewan Jenderal kemudian akan membentuk sebuah [[junta militer]] yang memegang tampuk kekuasaan Indonesia.<ref name="RICKLEFS">Ricklefs (1982)</ref><ref name="ROOSA">Roosa (2007)</ref> Setelah itu, kelompok ini memproklamasikan berdirinya sebuah "[[Dewan Revolusi]]" yang terdiri dari berbagai perwira TNI terkenal dan pemimpin sipil yang akan menjadi otoritas tertinggi di Indonesia. Selain itu, mereka menyatakan bahwa [[Kabinet Dwikora]] Presiden Soekarno sebagai "demisioner" ("tidak valid").<ref name="SEKNEG_94App9">Sekretariat Negara Republik Indonesia (1994) Appendix p19 (verbatim record of radio announcement)</ref>
 
Menurut salah satu terduga konspirator gerakan tersebut, yaitu Letnan Kolonel [[Abdul Latief (kolonel)|Abdul Latief]], Resimen Tjakrabirawa tidak mencoba untuk membunuh atau menangkap Mayor Jenderal SuhartoSoeharto, komandan [[Kostrad]] (Komando Strategi dan Cadangan TNI Angkatan Darat) saat itu, karena Soeharto dianggap sebagai loyalis Soekarno.<ref name="Latief279">Latief (1999) p279</ref> Soeharto, bersama dengan Jenderal [[Abdul Haris Nasution|Nasution]] yang selamat, membuat tuduhan-balik bahwa G30S adalah sebuah gerakan pemberontak yang berusaha untuk menggantikan pemerintahan Presiden Soekarno dengan pemerintahan Komunis. Setelah mendengar pengumuman radio tersebut, Soeharto dan Nasution mulai mengkonsolidasikan kekuatan mereka, berhasil mendapatkan loyalitas Komandan Garnisun Jakarta Mayor Jenderal [[Umar Wirahadikusumah]] dan Kolonel [[Sarwo Edhie Wibowo]], komandan pasukan khusus tentara RPKAD ([[Resimen Para Komando Angkatan Darat]]).
 
Selama petang 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan Bangunan Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para tentara personil G30S telah mundur kembali ke Markas [[Bandara Halim Perdanakusuma|Halim Perdanakusuma]] [[TNI AU]]. Pasukan RPKAD menyerbu Markas Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari tanggal 2 Oktober, tapi dicegat oleh tentara G30S dalam baku tembak sengit di mana beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi. Sebuah perintah langsung dari Presiden Soekarno berhasil mengamankan penyerahan tentara G30S siang harinya, setelah pasukan Soeharto menduduki markas tersebut. Pada tanggal 3 Oktober, tubuh para jenderal faksi sayap kanan TNI yang terbunuh oleh G30S ditemukan di lokasi [[Lubang Buaya]] dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.<ref name="Ricklefs_287"/>