Yang Dipertuan Pagaruyung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 180.242.42.92 (bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh 180.244.6.130
Baris 9:
Selain itu penyebutan ''tuan'' juga sudah diperkenalkan pada zaman Aditywarman, pada salah satu prasastinya, [[Ananggawarman]] sebagai ''yuvaraja'' (putra mahkota) menyebut bapaknya sebagai ''Surawasawan'' atau "Tuan Suruaso". Sedangkan dalam [[Pararaton]] dan ''Kidung Panji Wijayakrama'' Adityawarman juga disebut sebagai ''Tuan Janaka'' bergelar ''Mantrolot Warmadewa''.<ref>Mangkudimedja, R.M., (1979), ''Serat Pararaton'', Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP, Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.</ref>
 
Selanjutnya pengaruh [[Islam]] dan perubahan politik kemungkinan juga memengaruhi struktur kekuasaan, dari tambo disebutkan bahwa hirarki kekuasaan raja Minangkabau terbagai atas ''[[Raja Alam]]'' di Pagaruyung, kemudian tingkatan berikutnya adalah [[Raja Adat]] di [[Buo, Lintau Buo, Tanah Datar|Buo]] dan [[Raja Ibadat]] di [[Sumpur Kudus, Sijunjung|Sumpur Kudus]]. Bersama-sama mereka bertiga disebut ''[[Rajo Tigo Selo]]'' (Tribuana Raja), artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Alam. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam [[Bahasa Minang]] ialah ''tigo tungku sajarangan''. Adanya pembagian kekuasaan ini juga diperkuat oleh [[Tomé Pires]] dalam [[Suma Oriental]] yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, yang menyebutkan bahwa di pedalaman Minangkabau terdapat tiga raja dan salah seorang dari mereka telah menjadi [[muslim]] sejak 15 tahun sebelumnya.Tercatat yang pernah memakai gelar raja alam diantaranya adalah Puti Sipanjang rambuik 2 dengan gelar Yang Dipertuan Putri Raja Alam Minangkabau, dan putranya Remondung dengan gelar Dang Tuanku Syah Alam Raja Alam Minangkabau.Dan dua-duanya menghilang dari alam minangkabau dalam sebuah kisah tragedi cindur mato.
 
Sementara dalam sistem pergantian raja di Minangkabau telah menggunakan sistem [[patrilineal]]<ref>{{cite journal |last=Benda-Beckmann |first=Franz von |title=Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra |journal=Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde | issue =86 |year=1979|pages=58 }}</ref> berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan ''suku'' yang masih tetap pada sistem [[matrilineal]].<ref name="Dt">{{cite book |last=Batuah |first=A. Dt. |coauthor=Madjoindo, A. Dt. |title=Tambo Minangkabau dan Adatnya |publisher=Balai Pustaka |year=1959|location= Jakarta}}</ref>