Kerajaan Larantuka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 69:
 
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://www.youtube.com/watch?v=BsBn2SAEEpc Trailer film Dokumenter "Bunda Reinha"]
* {{id}} [http://id.scribd.com/doc/40041879/Kekuasaan-Larantuka-Final Struktur Birokasi dan Sistem Kekuasaan Tradisional di Flores Timur]
 
{{Kerajaan di Sunda Kecil}}
Baris 102 ⟶ 103:
5. Bentuk-bentuk Organisasi Pemerintahan dan Aparatnya
Upacara ritual pengorbanan hewan menduduki posisi penting dan mernperigaruhi berbagal struktur dan proses sosial pada berbagal lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang dan damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.
Berfokus pada makna kedudukan dan fungsi di dalam upacara ritual pengorbanan hewan itu, raja mengidentifikasikan dirinya sebagai ‘Tuan Tanah Besar’ dan menjadi bagian dari keseluruhan sistem tuan tanah asli, karena raja adalah Koten Demon Lewo Pulo (koten artinya kepala dari kerajaannya). Akan tetapi, bagaimanapun, raja bukanlah tuan tanah satu-satunya karena di samping dia ada tuan tanah lain yang merupakan pemilik tanah, atau yang disebut raja tanah. Ada pula Koten yang merupakan pembantu utama raja (po suku lema) yang juga sebenarnya tergolong tuan tanah. Dalam studi Graham (1985:130), disebutkan bahwa istilah 'raja tanah' sesungguhnya mengekspresikan derajat penghormatan raja terhadap tuan tanah pribumi, yang akhirnya diabdikan pula kepada raja. Dalam struktur pemerintahan tradisional, tuan tanah pribumi (tana alant) ini juga menjadi kepala kampung. Dalam kompleks perkampungan pusat kerajaan di Lewonama, tuan tanah pribumi itu pun bertindak sebagai kepala kompleks. Jadi tuan tanah itu berperanan baik dalam hal administrasi kerajaan maupun sebagai imam kerajaan. Dalam pola pandangan seperti ini, Graham (1985:130) menyimpulkan bahwa ‘Raja memiliki kekuasaan temporal tertinggi, tuan tanah memiliki kekuasaan spiritual terbesar, dan dengan demikian relasi timbal-balik yang harmonis terjadi antara agama dan politik kerajaan, pusat dan daerah, urusan jasmani dan urusan rohani..