Bagindo Aziz Chan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 40:
'''Bagindo Azizchan''' ({{lahirmati|[[Padang]]|30|9|1910|[[Padang]]|19|7|1947}}) merupakan [[Wali Kota Padang]] kedua setelah kemerdekaan, yang dilantik pada tanggal 15 Agustus 1946 menggantikan [[Abubakar Jaar|Mr. Abubakar Jaar]].<ref>Husein, Ahmad (1992). ''Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau 1945-1950''. Volume 1. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau. ISBN 978-979-405-126-9.</ref> Ia meninggal pada 19 Juli 1947 dalam usia 36 tahun, setelah terlibat dalam sebuah pertempuran melawan [[Belanda]]. Jasadnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Bahagia, [[Bukittinggi]]. Gelar Pahlawan Nasional Indonesia telah disematkan kepadanya pada [[9 November]] [[2005]].
 
Lahir pada 30 September 1910, Bagindo Azizchan mengenyam pendidikan [[Hollandsch-Inlandsche School|HIS]] di Padang, [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs|MULO]] di [[Surabaya]], dan [[Algemeene Middelbare School|AMS]] di [[Batavia]]. Tamat dari AMS dan sempat dua tahun duduk di ''Rechts Hooge School'' (RHS), ia sempat membuka praktik pengacara dan aktif di beberapa organiasi, di antaranya sebagai anggota pengurus Jong Islamieten Bond di bawah pimpinan [[Agus Salim]]. Kembali ke kampung halamannya pada tahun 1935, ia mengabdi sebagai guru di beberapa sekolah di Padang dan berkali-kali pindah mengajar ke luar kota. Ia sempat aktif di [[Persatuan Muslim Indonesia]] (Permi) sampai organisasi itu dibubarkan pada tahun 1937. Setelah [[proklamasi kemerdekaan Indonesia|proklamasi kemerdekaan]], ia ditunjuk sebagai Wakil Wali Kota Padang pada 24 Januari 1946 dan pada 15 Agustus 1946 dilantik sebagai wali kota menggantikan [[Abubakar Jaar|Mr. Abubakar Jaar]], yang yang pindah tugas menjadi residen di [[Sumatera Utara]].
 
Di tengah situasi pasca-kedatangan [[Sekutu]] di Padang pada 10 Oktober 1945, ia menolak tunduk terhadap kekuatan militer Belanda yang berada di belakang tentara Sekutu.<ref>Kahin, A. (1999). ''Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity''. 1926-1998. Amsterdam University Press. ISBN 90-5356-395-4.</ref> Ia terus melakukan perlawanan dengan menerbitkan surat kabar perjuangan yang bernama ''Republik Indonesia Jaya'', bahkan turun langsung memimpin perlawanan terhadap Belanda sampai akhirnya meninggal pada tanggal [[19 Juli]] [[1947]].<ref>Sudarmanto, J. B. (2007). ''Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia''. Grasindo. ISBN 978-979-759-716-0.</ref> Menurut hasil visum (yang dilakukan di Rumah Sakit Tentara Dr. Reksodiwiryo Ganting sekarang), ia meninggal karena terkena benda tumpul dan terdapat tiga bekas tembakan di wajahnya.