Hidayatullah II dari Banjar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 28:
Beliau diangkat langsung oleh [[Sultan Adam]] menjadi Sultan Banjar untuk meneruskan pemerintahan [[kesultanan Banjar]] menggantikan sang [[kakek]] (Sultan Adam). Hidayatullah menjadi satu-satunya pemimpin rakyat Banjar antara tahun [[1859]] sampai [[1862]]<ref>http://web.raex.com/~obsidian/seasiaisl.html#Bandjarmasin</ref> pasca Hindia Belanda memakzulkan abang tirinya Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar versi Belanda pada [[25 Juni]] [[1859]]. Walaupun menurut [http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2008/02/13/surat-wasiat-sultan-adam-untuk-pangeran-hidayatullah/#comment-762 surat wasiat Sultan Adam] ia ditetapkan sebagai Sultan Banjar penggantinya kelak, tetapi masih banyak rintangan yang menghalanginya, oleh Belanda ia hanya mendapat posisi mangkubumi sejak [[9 Oktober]] [[1856]]. Langkahnya sebagai pengganti Sultan Adam menjadi lebih terbuka pada pada [[Februari]] [[1859]], Nyai Ratu Komala Sari (permaisuri almarhum Sultan Adam) beserta puteri-puterinya, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Sebelumnya Nyai Ratu Komala Sari sempat mengusulkan satu-satunya puteranya yang masih hidup yaitu Pangeran Prabu Anom sebagai pengganti Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan pada bulan [[September]] [[1859]], Pangeran Hidayatullah II dinobatkan oleh para panglima sebagai Sultan Banjar dan sebagai mangkubumi adalah Pangeran Wira Kasuma, putera Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman dengan Nyai Alimah.
 
Ayah beliau adalah Pangeran Ratu [[Sultan Muda]] [[Abdur Rahman dari Banjar|Abdurrahman]] bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah, sedangkan ibu beliau adalah Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi Nata yang juga bangsawan keraton Banjar (golongan ''tutus/purih'' raja). Pangeran Hidayatullah mewarisi darah biru keraton Banjar (berdarah ''kasuma'' alias ningrat murni) dari kedua orangtuanya, karenanya menurut adat keraton sebagai kandidat utama sebagai Sultan Banjar dibandingkan Pangeran Tamjidullah II yang berasal dari isteri selir (Nyai) yang bukan tutus (bangsawan keraton Banjar). Kandidat yang lain (yang diusulkan permaisuri Sultan Adam) adalah Pangeran Prabu Anom putera almarhum Sultan Adam dengan Nyai Ratu Komalasari, pangeran ini diasingkan Belanda ke Jawa dengan surat yang ditandatangani oleh Sultan Tamjidullah II, sehari setelah pengangkatannya oleh Belanda menjadi Sultan Banjar. Peristiwa diasingkannya Pangeran Prabu Anom / paman Sultan Hidayatullah dan pengasingan Pangeran Tamjidillah membuat geram Sultan Hidayatullah dan bangsawan lainnya. Campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Banjar berkaitan status Kesultanan Banjar yang menjadi tanah pinjaman (daerah protektorat) dari VOC-Belanda sejak [[13 Agustus]] [[1787]] di masa [[Tahmidullah II]].
 
Pangeran Hidayatullah adalah [[Sultan Banjar]] yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda ditangkap dan kemudian diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya ke [[Cianjur]]. Di sana beliau tinggal dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di [[Cianjur]]. Sultan Hidayatullah pada tahun 1999 mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.