Christiaan Snouck Hurgronje: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
MRFazry (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2:
'''Christiaan Snouck Hurgronje''' ({{lahirmati|Tholen, [[Oosterhout]]|8|2|1857|[[Leiden]]|26|6|1936}}) adalah [[orientalis]] [[Belanda]]. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta [[Protestan]], Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke [[Universitas Leiden]] untuk mata kuliah Ilmu [[Teologi]] dan [[Sastra Arab]], [[1875]]. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat ''[[cum laude]]'' dengan disertasi ''Het Mekaansche Feest'' (Perayaan di [[Mekah]]). Tak cukup bangga dengan kemampuan [[bahasa Arab]]nya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekkah, [[1884]]. Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekkah, Snouck memeluk [[Islam]] dan berganti nama menjadi ''Abdul Ghaffar''.
 
Namun, pertemuan Snouck dengan [[Habib Abdurrahman Azh-Zhahir]], seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, kemudian "dibeli" Belanda dan dikirim ke Mekkah, mengubah minatnya. Atas bantuan Zahir dan [[Konsul]] Belanda di [[Jeddah]] JA. Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di [[Aceh]]. Sayang, saran-saran Habib Zahir tak ditanggapi Gubernur Belanda di Nusantara. Karena kecewa, semua naskah penelitian itu Zahir serahkan pada Snouck yang saat itu, [[1886]], telah menjadi dosen di Leiden.
 
Snouck seperti mendapat durian runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda. Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuwan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.
Baris 40:
Akhirnya taktik militer Snouck memang diubah. Memang pada 1903, kesultanan Aceh takluk. Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Sehingga Snouck terpaksa membalikkan metode, dengan mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata. Inilah yang menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam menyelesaikan Aceh. Snouck pula yang menyatakan bahwa takluknya kesultanan Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk.
 
Dalam lingkup internal mereka, perubahan paradigma ini memunculkan konflik kepentingan yang lain yaitu tentang posisi penguasa di Aceh. Pendekatan tanpa kekerasan, otomatis pengurangan pasukan harus dilakukan. Sedangkan Van Heutsz merupakan orang yang sangat menantang itu. Ia bahkan mengusulkan status di Aceh tetap dipegang Gubernur Militer.sehingga ia dimusuhi oleh rakyat aceh
 
== Kembali ke Belanda ==