Haji (gelar): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
SkullSplitter (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
Dalam gelombang propaganda anti VOC pada [[1670]]-an di [[Banten]], banyak orang meninggalkan [[pakaian adat]] [[Jawa]] kemudian menggantinya dengan memakai pakaian Arab.<ref>[[Kees van Dijk]] dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, yang termuat dalam ''Outward Appearances'': Trend, Identitas, Kepentingan.</ref>
 
Salah satu lawan tangguh [[Belanda]] pada saat itu adalah [[Pangeran Diponegoro]], pemimpin [[Perang Jawa]] (1825-1830). Dalam [[Babad Dipanegara]] disebutkan Pangeran Diponegoro pergi ke medan [[perang]] dengan mengenakan pakaian berupa celana, jubah, dan penutup kepala berwarna putih. Di kesempatan lain, dia mengenakan pakaian hitam dalam gaya Arab dan sorban hitam atau hijau, terlebih setelah dia mengundurkan diri dari kehidupan [[istana]] dan mengembara ke pedesaan. Pada masa itu, seiring kepopuleran [[Wahabi]] di [[Mekah]], kalangan [[ulama]] memang kerap menggunakan busana jubah dan sorban.
 
Di Pulau [[Sumatra]], [[Imam Bonjol]] yang memimpin [[Perang Padri]], dan pasukannya, juga mengenakan pakaian gaya Arab serba putih. Kaum Padri, seperti juga kaum Wahhabi di Arab, menekankan pada pelaksanaan [[syariat Islam]] secara ketat. Dalam hal pakaian, mereka mengharuskan perempuan memakai [[jilbab]] dan laki-laki mengenakan pakaian putih bergaya Arab, dari sinilah muncul istilah “kaum putih”.
 
Pemerintah Hinda Belanda akhirnya menjalankan [[politik]] Islam, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah [[Islam]] di [[Nusantara]] pada masa itu.<ref>Politik [[Hindia Belanda]] Terhadap Islam (1985, LP3S) karya Prof. Dr. [[Aqib Suminto]].</ref> Maka sejak tahun [[1911]], pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk [[pribumi]] yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di [[Pulau Cipir]] dan [[Pulau Onrust]], mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.
 
=== Kontroversi ===