Haji (gelar): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
SkullSplitter (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
SkullSplitter (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
Salah satu lawan tangguh [[Belanda]] pada saat itu adalah [[Pangeran Diponegoro]], pemimpin [[Perang Jawa]] (1825-1830). Dalam Babad Dipanegara disebutkan Pangeran Diponegoro pergi ke medan [[perang]] dengan mengenakan pakaian berupa celana, jubah, dan penutup kepala berwarna putih. Di kesempatan lain, dia mengenakan pakaian hitam dalam gaya Arab dan serban hitam atau hijau, terlebih setelah dia mengundurkan diri dari kehidupan istana dan mengembara ke pedesaan. Menurut Dijk, masa itu, seiring kepopuleran [[Wahabi]] di [[Mekah]], kalangan ulama memang kerap menggunakan busana jubah dan sorban.
 
Di Pulau [[Sumatra]], [[Imam Bonjol]] yang memimpin [[Perang Padri]], dan pasukannya, juga mengenakan pakaian gaya Arab serba putih. Kaum Padri, seperti juga kaum Wahhabi di Arab, menekankan pada pelaksanaan [[syariat Islam]] secara ketat. Dalam hal pakaian, mereka mengharuskan perempuan memakai [[jilbab]] dan laki-laki mengenakan pakaian putih bergaya Arab, dari sinilah muncul istilah “kaum“[[kaum putih”putih]]”.
 
Pemerintah Hinda Belanda akhirnya menjalankan [[politik]] Islam, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola masalah-masalah Islam di [[Nusantara]] pada masa itu.<ref>Politik [[Hindia Belanda]] Terhadap [[Islam]] (1985, LP3S) karya Prof. Dr. [[Aqib Suminto]].</ref> Maka sejak tahun [[1911]], pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk [[pribumi]] yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di [[Pulau Cipir]] dan [[Pulau Onrust]], mereka mencatat dengan detail nama-nama jamaah Haji, baik nama maupun asal wilayah. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.
 
=== Kontroversi ===
Dalam penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk [[Asia Tenggara]], sering mendapatkan kritikan dari sebagian ulama [[salafy]], yang dianggap sebagai perbuatan [[riya]] dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi [[Muhammad]] dan para ''[[Pemeluk Islam pertama|as-sabiqun al-awwalun]]''.<ref>Fatwa Syaikh Shalih As-Suhaimi hafizhahullah, seorang pengajar di [[Masjid Nabawi]], [[Madinah]].</ref> Ada ulama yang mengatakan bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan adanya gelar yang pernah disandang oleh rasulallah dan para sahabatnya, sebagai contoh H. Muhammad, [[Abu Bakar|H. Abu Bakar]], [[Ali bin Abu Thalib|H. Ali bin Abu Thalib]] dan seterusnya.<ref name="Al-Ustadz Hammad">Penjelasan Al -Ustadz Hammad Abu Mu’aawiyah hafizhahullah.</ref>
 
AdaKemudian yangulama tersebut mengatakan berpendapatbahwa di antara 5 [[rukun Islam]] hanya haji yang menggunakandigunakan sebagai gelar, dan mengapa ketika orang [[salat]] tidak beri gelar salat, orang yang memberi [[zakat]] tidak diberi gelar zakat, dan kalau orang puasa tidak diberi gelar puasa.<ref name="Al-Ustadz Hammad" />
 
== Gelar para raja ==