Serangan Umum Surakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Db84x (bicara | kontrib)
Db84x (bicara | kontrib)
Baris 65:
 
Pada tanggal 7 agustus 1949 dimulai SU pada pukul 06.00 pagi. Pada hari tersebut pasukan SWK 106 Arjuna telah menyusup dahulu dan mulai menguasai kampung-kampung dalam kota Solo. Ketika waktu ditetapkan telah tiba pasukan TNI yang telah masuk kota menyerang dari semua penjuru, memaksa tentara Belanda terkonsentrasi di markas-markas mereka. Serangan itu meliputi markas komando KL 402 Jebres, sebuah pos di Jurug, Jagalan, kompleks BPM-Balapan, serta markas artileri medan di Banjarsari.
 
 
Pada hari kedua 8 Agustus 1949, pertempuran berlangsung hingga tengah malam, TNI membantu serangan itu dengan memasang berbagai rintangan di jalan-jalan di sekitar daerah Pasar Kembang. Namun Belanda mencium rencana itu, kemudian menangkapi orang-orang yang berada di sekitarnya. Terdapat 26 (dua puluh enam) orang, termasuk wanita dan anak-anak yang berhasil ditangkap pihak Belanda, 24 (dua puluh empat) di antaranya dihabisi. Ke 24 orang itu terdiri dari 10 (sepuluh) orang laki-laki, termasuk seorang anggota TNI/TP, 6 (enam) orang wanita, dan 8 (delapan) anak-anak. Pada saat itulah seluruh pasukan dari SWK (Sub Wehrkreis) 100 sampai 105 mulai dikerahkan untuk membantu serangan hari pertama dengan sasaran seluruh kota Solo dan Letnan Kolonel Slamet Riyadi mulai memegang komando mengantikan Mayor Akhmadi.
 
 
Tambahan pasukan ini semakin memperkuat serangan pasukan SWK 106 yang intinya dari DEN TP Brigade XVII.Akibatnya pasukan Belanda semakin terdesak karena pasukan dari Brigade V menyekat kekuatan lawan dan menghambat bantuan lawan di luar kota Solo. Konvoi Belanda dari [[Semarang]] bahkan tidak dapat memasuki kota Solo karena dihambat oleh pasukan TNI di [[Salatiga]].
 
 
Untuk membantu pasukanya yang terjebak di Solo, Belanda bahkan mulai mengerahkan 2 Bomber (tdk diketahui jenisnya) dan 4 pesawat [[P-51]] ditambah pasukan para yang diterjunkan ke Lanud Panasan ([[Adisoemarmo]] sekarang). Tapi bantuan ini gagal mengubah arah pertermpuran dimana Tentara Belanda di Solo makin terkepung dan hampir seluruh bagian kota Solo dikuasai oleh TNI.
 
 
Pada hari ketiga, 9 Agustus 1949 dikisahkan, Belanda semakin membabi-buta dalam membalas serangan, dibantu oleh pasukan KST (Korps Spesiale Troepen), menembak setiap lelaki yang dijumpainya. Dalam peristiwa ini, seorang komandan regu Seksi I Kompi I, Sahir gugur di daerah pertempuran Panularan.
 
 
Hari keempat, 10 Agustus 1949 sebagaimana diperintahkan oleh komandan Wehrkreise I Brigade V, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, TNI melaksanakan serangan perpisahan menandai akhir masa serangan umum empat hari. Dengan demikian meningkatkan moril pasukan gerilya TP. Pertempuran itu terus berlangsung hingga tengah malam, menjelang dimulainya masa gencatan senjata pada pukul 00.00 tanggal 11 Agustus 1949. Sementara itu pihak tentara Belanda, sebagai pembalasan atas tewasnya 2 (dua) anggota KL, pada hari yang semestinya sudah berlaku gencatan senjata, yaitu pukul 11.00, memaksa keluar rumah baik penduduk lelaki maupun wanita, untuk kemudian membantainya, serta membakar rumah mereka dengan alat penyembur api. Peristiwa ini terjadi di daerah Pasar Nangka. Tercatat 36 (tiga puluh enam) nyawa melayang akibat tindakan ini, termasuk 5 (lima) wanita dan seorang bayi.
 
 
Secara taktis, serangan hari keempat ini berhasil menguasai seluruh wilayah kota. Pada kesempatan itu, Letnan Kolonel Slamet Riyadi selaku komandan Wehrkreise I (Brigade V/II) memerintahkan kepada Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106, untuk menarik seluruh pasukan ke garis tepi kota, sebagai pelaksanaan ''ceasefire order'', atau gencatan senjata. Memang pada kenyataannya pelaksanaan gencatan senjata tidak sesegera itu berlangsung dengan aman. Masih terjadi beberapa insiden yang melibatkan kedua belah pihak yang bertempur. Satu di antaranya berlangsung di sebelah Timur Gapura Gading, berlangsung baku tembak dari arah pos Belanda ke arah 2 (dua) anggota TNI, yang mengakibatkan satu di antaranya gugur, satu luka ringan. Insiden ini berawal dari upaya pihak Belanda yang mencoba menambah pasukan dengan meminta bantuan dari Semarang, dalam hal ini pasukan khusus Baret Hijau (Green Cap) atau KST. Tanpa mengindahkan mulai berlakunya masa gencatan senjata, pasukan yang dikenal kejam ini pada sekitar pukul 2 atau 3 dinihari justru melakukan pembantaian di markas PMI (Palang Merah Indonesia), di wilayah Gading. Adalah kediaman Dr. [[Padmonegoro]], ketua PMI cabang Surakarta yang menjadi sasaran serangan itu, saat itu menjadi tempat mengungsi sebagian penduduk sekitar. Kekejaman tentara Baret Hijau Belanda ditunjukkan dengan membantai para pengungsi dengan tanpa melepaskan tembakan sama sekali, namun dengan cara menyembelihnya. Dalam pembantaian dini hari ini, tercatat 14 (empat belas) petugas PMI gugur, ditambah 8 (delapan) orang pengungsi tewas, sementara 3 (tiga) orang lainnya yang juga menjadi korban penyembelihan tidak sampai tewas.