Serangan Umum Surakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Db84x (bicara | kontrib)
Db84x (bicara | kontrib)
Baris 90:
* Bertekad tetap bertanggung jawab menjaga keselamatan dan ketenteraman rakyat.
* Apabila Belanda mengganggunya, maka komandan-komandan sektor harus bertindak di daerahnya masing-masing (Ofensif TNI Empat Hari di Kota Sala dan Sekitarnya, 137.)
 
Demikianlah, pada satu sisi, terdapat perintah untuk menarik mundur pasukan dengan kembali ke posisi semula (pos-pos), pada lain pihak masih memegang teguh perintah untuk menempati posisi yang berhasil direbut. Di tengah situasi sebagaimana dipaparkan di atas, di kediaman Ir. Seseto Hadinegoro, atau Istana Banowati di jalan Bayangkara, berlangsung kontak resmi antara Komandan Pasukan Belanda, Kolonel Van Ohl, dengan Komandan Brigade V/II, Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Pertemuan sebagai tindak lanjut gencatan senjata berlangsung dari pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30. Pihak Belanda yang diwakili Kol. Van Ohl mengajak berunding dengan Letkol Slamet Riyadi agar semua pasukan TNI ditarik hingga batas kota dan barikade dibersihkan. Pihak Letkol Slamet Riyadi menerima syarat ini karena ada jaminan dari Van Ohl bahwa ada janji:
Baris 99 ⟶ 100:
* Penyerahan kota Sala akan diserahkan dalam bulan ini juga (Agustus 1949) (Ofensif TNI Empat Hari di Kota Sala dan Sekitarnya, 130).
Menindak lanjuti hasil pertemuan ini Letnan Kolonel Slamet Riyadi sebagai Komandan Wehrkreise I segera mengeluarkan Perintah Harian kepada seluruh jajarannya untuk menaati perintah Presiden Panglima Tertinggi/Panglima Perang tertanggal 3 Agustus 1949 tentang gencatan senjata, untuk dilaksanakan.
 
 
Sempat terjadi perbedaan pendapat antara Brigade V dengan Den II TP Brigade XVII.Mayor Ahmadi berpegang teguh pada perintah Panglima Divisi II Kol Gatot Subroto.Mayor Ahmadi menginstruksikan agar pasukan TP tetap dalam sektor masing-masing dengan posisi terakhir dan tidak bertanggung jawab terhadap penarikan pasukan ke batas kota dan memerintahkan apabila Belanda melanggar lagi agar ditindak oleh masing-masing sektor. Sedang pihak Brigade V berpegang teguh pada : Berlakunya gencatan senjata tanggal 3-10 agustus 1949, yang berminat berunding adalah Belanda yang sedang terdesak, dan mengurangi kekejaman pasukan Belanda terhadap sipil. Sebagai tanggung jawab seorang komandan, akhirnya Letnan Kolonel Slamet Riyadi mengeluarkan penjelasan secara panjang lebar tentang proses perundingan serta kesepakatannya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Penjelasan yang diberikannya disertai rasa tanggung jawab akhirnya dapat diterima dan dipercayai oleh pasukanya.
 
 
Di lain pihak, setelah mendengar laporan perkembangan situasi dari anak buahnya, Kepala Staf Gubernur Militer II, Letnan Kolonel [[Suprapto]] akhirnya mengambil dua tindakan, yaitu mengutus dua orang anggota TP untuk menemui dan meminta ketegasan sikap Gubernur Militer, tentang situasi mutakhir. Kedua, Kepala Staf mengeluarkan instruksi No. 16/In/Ks/8/I, tanggal 16 Agustus 1949, berisi; “secara formil, dengan didasarkan atas instruksi atasan yang tertentu situasi yang tercipta dalam hubungan kita dengan pihak Belanda belum dianggap resmi.”
 
 
Situasi ini akhirnya dapat didinginkan oleh Gubernur Militer II Kolonel [[Gatot Subroto]], setelah dikeluarkannya Perintah Harian No. 18/Ks/PH/8/I, tanggal 18 Agustus 1949, yang isinya memerintahkan kepada komandan Brigade V/Div. II, untuk menyerahkan penyelesaian dan penyelenggaraan akibat situasi yang dicapai dengan penghentian tembak-menembak, kepada komandan SWK 106 Arjuna. Dengan kewenangannya, Mayor Akhmadi menindak-lanjuti perundingan gencatan senjata dengan kesepakatan: pihak Indonesia menempati daerah yang telah didudukinya dan pihak Belanda di tempat semula. Pada tanggal 24 Agustus 1949 urusan keamanan kota diserahkan kepada Mayor Ahmadi selaku Komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo.